Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen

42.2K 6.2K 286
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Malam ini, di taman dekat sungai kecil-Hanan dan Wisnu masih sibuk memandangi hamparan langit gelap dari bawah. Duduk di sepeda masing-masing yang baru saja sengaja Hanan sewa untuk menemani malam sendunya bersama sang kakak.

Dulu, saat masih bersama di panti, Hanan tak pernah abses bermain sepeda di halaman rumah dengan Wisnu dan anak-anak yang lain. Ingat saat dimana Hanan jatuh, Wisnu tanpa aba-aba langsung membopong tubuh Hanan yang justru lebih berat 3 kg dari dirinya sendiri. Tidak apa-apa, asalkan lukanya bisa segera diobati.

Berbanding terbalik dengan sekarang. Sudah terlalu lama Wisnu membiarkan luka di Hati dan fisik Hanan terus berkembang dan bertambah. Tidak seperti dulu yang selalu sigap ketika fisik Hanan dinodai oleh luka bahkan pasir sekalipun. Wisnu sadar, kehadirannya memang sangat terlambat. Tapi tuhan, bolehkah ia egois sedikit saja? Egois tentang apapun untuk Hanan, termasuk kesembuhan.

Wisnu tidak banyak mau, yang dia harapkan hanya kesembuhan untuk sang adik. Dan selebihnya, Wisnu serahkan semua pada tuhan.

Dalam lamunan panjang malam ini, di bawah pohon beringin besar nan dingin, Wisnu menatap wajah Hanan dari arah samping. Terlihat jelas sekali Hanan kehilangan banyak berat badan, lebih kurus dibandingkan hari terakhir saat mereka bertemu. Dan demi apapun hatinya sakit, sakit sekali apalagi ketika Hanan mulai menoleh dengan senyuman khas yang selalu berhasil mengoyak habis seluruh bagian hatinya.

"Kenapa, bang? Ada sesuatu di muka Hanan?" tangan nya bergerak, ia usap seluruh bagian wajahnya.

Melihat itu Wisnu tersenyum, lantas ia ambil tangan Hanan yang semula masih mengusap wajah, kemudian Wisnu genggam sembari sesekali ia usap lembut punggung tangan nya. Menatap dengan jarak sedekat ini, Wisnu jadi ingat saat dimana tangan itu sangat berisi. Tangan nakal yang selalu mencubiti pipinya kala susah untuk bangun pagi, tangan lembut yang selalu mengusap air matanya ketika ibu panti memarahi, dan tangan berisi yang begitu Wisnu rindukan sentuhannya.

"Nan.."

Hanan mengangguk, fokusnya masih terarah pada sang kakak. Sedangkan yang di tatap malah sibuk memainkan tangan Hanan.

"Sembuh, ya." tanpa sadar pelupuk mata Wisnu mulai berkaca-kaca, "Abang sakit lihat kamu sakit, Nan."

Tidak ada jawaban, Hanan justru malah membuang pandangan ke sembarang arah tanpa sudi menatap kembali ke arah Wisnu. Sakit, Hanan juga sama sakitnya dengan Wisnu.

Keduanya sama-sama dipermainkan oleh semesta. Yang mana permainan itu tak akan pernah bisa mereka lewati dengan akhir bahagia.

"Andai abang bisa gantiin posisi kamu, Nan. Biar abang aja yang rasain semua sakitnya, kamu jangan." Wisnu kembali berucap dengan suara lirih, terlalu takut mengangkat wajahnya yang begitu memalukan untuk Hanan lihat.

Tinta Terakhir ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang