Halaman keempat🍂; Rumah kedua.

93.2K 12.1K 1.4K
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading!


Sudah satu jam lamanya kota bandung diguyur hujan, rintik kecil yang jatuh secara bersamaan pada atap sekolah membuat beberapa dari mereka yang masih berdiri di depan kelas enggan untuk melangkahkan kaki, menerobos derasnya hujan sore ini. Sama seperti pemuda dengan pakaian pramuka yang masih berdiri menunggu hujan reda, padahal di dalam tasnya sudah tersimpan jas hujan berwarna coklat muda pemberian sang bunda, tapi entah kenapa tubuhnya tetap geming, manik kecoklatan itu menatap lurus pada setiap percikan dari air yang menghantam tanah dengan kasar.

Tangan kirinya kini bergerak, lantas ia tatap arloji di pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul enam lebih tiga puluh menit, tapi kenapa hujan belum juga reda, dan kenapa tidak ada satu keluarga pun yang menjemput atau bahkan peduli? Entah lah, Hanan juga bingung. Padahal sekarang tidak ada jadwal les, seharusnya ayah dan bunda menelpon dan menanyakan keberadaannya yang sampai semalam ini belum juga menginjakkan kaki di rumah.

Ah iya, Hanan hampir lupa kalau kehadirannya kadang tidak pernah di anggap. Senyuman kecut kini terlihat, Hanan menghembuskan napas kasar sembari mulai melangkahkan kakinya dan berlari secepat yang ia bisa menuju parkiran sekolah. Dengan napas yang terengah-engah Hanan merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motor, kemudian tanpa berlama-lama ia langsung menancapkan gas di atas rata-rata. Tidak pedulikan seberapa kencangnya angin yang menerpa tubuh kedinginan itu, yang terpenting  Hanan harus segera sampai.

Sekitar lima belas menit berlalu, tubuh basah milik Hanan kini berjalan dengan langkah gontai sebab kepalanya terlampau sakit dan tubuhnya menggigil hebat. Mata sayu itu mengerjap beberapa kali sebab pandangannya perlahan mengabur, sampai akhirnya dengan sisa tenaga yang ia punya, kaki itu berhasil sampai di rumah kayu dekat rel kereta, rumah kedua paling nyaman dan hangat yang Hanan punya.

“Assalamu'alaikum..”

Tak perlu menunggu lama, seorang pemuda yang terlihat lebih muda dari Hanan pun keluar, dan di detik itu juga tubuh Hanan jatuh tepat pada pelukan si pemuda yang kini terlihat begitu panik.

“Ya ampun, bang!” dengan suara serak nan berat ia lantas berteriak, “Bang Bian! Tolong, bang!”

Lantunan ayat suci yang sempat terdengar dari dalam alun-alun berhenti saat si paling muda berteriak, sampai-sampai sarung yang sedang ia gunakan hampir jatuh jika saja tangan itu kalah cepat.

“Astagfirullah, aya naon, Ji?”

Setelahnya iris gelap milik Bian langsung terarah pada tubuh Hanan yang semakin merosot kebawah.

“Berat, bang.. Cepet ini bawa ke dalem.” perintah Aji, selaku anak paling muda di dalam rumah.

Dengan cepat Bian mengangguk, mengambil alih tubuh Hanan untuk ia bopong ke dalam walaupun tenaganya hampir habis sebab tubuh Hanan lebih berat darinya. Tapi tidak apa-apa, demi Hanan, Bian rela berkeringat.

Tinta Terakhir ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang