Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.

38.1K 6.4K 1.1K
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Ternyata setelah lihat bagaimana Hanan kesakitan dihadapannya juga sama sekali tidak membuat Jason merasa kasihan atau bahkan menggunakan hati nurani nya sedikit saja untuk pemuda yang baru membaringkan tubuh di atas kasur kamarnya itu. Tidak pedulikan bagaimana Hanan kesusahan ketika memasangkan masker oksigen, Jason malah semakin terlihat kesal saat melihat air mata Hanan terus jatuh tanpa henti.

Sedangkan Hanan setelah berhasil meneguk beberapa butir obat, langsung menyandarkan kepalanya pada tiga bantal yang sudah sengaja ia tumpuk. Pandangannya kebawah, terlalu takut melihat manik sang ayah yang masih memberikan sorot mata tajam untuknya dari beberapa menit lalu. Takut, takut sekali kalau Jason kembali main tangan–sebab Hanan ingat betul sorot mata itu, sorot mata yang membuat punggungnya memar dan berakhir di kurung di loteng malam-malam.

“Jangan nangis! Pengang telinga Ayah dengar kamu nangis, Hanan!” akhirnya apa yang Hanan takutkan terjadi. Jason membentaknya kembali setelah melihat air mata Hanan terus jatuh akibat menahan sakit.

“Maaf..” dengan segera Hanan usap air mata nya, berusaha sebisa mungkin agar cairan bening itu tidak kembali jatuh di hadapan sang ayah.

Rasanya takut, sakit, lemas, mual, pusing, sesak, semuanya bercampur menjadi satu. Hanan sendiri tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan rasa sakitnya dengan kata-kata. Sampai akhirnya mata itu terpejam, telinganya berdengung, napasnya panas, air mata kembali jatuh dengan sendirinya.

“Bisa gila ayah ngurus kamu yang kaya gini, Hanan. Menyusahkan, bikin pikiran, bikin pusing!” tangan Jason mengepal kuat-kuat, sebelum akhirnya kepalan tangan itu mendarat kasar pada tembok kamar Hanan.

Dan saat itu juga mata Hanan kembali terbuka, mendengar suara pukulan yang cukup kencang membuat tubuh Hanan gemetar seketika. Ia tatap sang Ayah yang masih berdiri di samping ranjangnya dengan napas yang memburu dan keringat dimana-mana.

“Maaf, ayah, maafin Hanan..” suara Hanan terdengar begitu pelan dan tak bertenaga, pupilnya bergetar menahan tangis, tangannya mencengkeram dada kuat-kuat di balik selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas leher.

Sebenarnya hanya untuk membalas ucapan ayah pun Hanan tidak sanggup, tapi entah kenapa rasanya Hanan takut kalau terus diam tanpa mengucapkan apapun, ayah akan merasa di ledek nantinya. Padahal Jason tahu Hanan sedang kesakitan setengah mati, tapi lagi-lagi amarahnya selalu tidak bisa di kontrol, Jason seolah dikendalikan oleh dirinya yang lain.

“Sialan, jangan nangis! Berisik!!”

Satu pukulan kembali Jason layangkan, kali ini pada meja samping ranjang Hanan,–tepatnya dimana gelas dan obat tersimpan rapih disana. Sampai akhirnya tubuh Hanan semakin bergetar hebat saat suara pecahan kaca terdengar jelas di telinganya.

Tinta Terakhir ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang