Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen

Start from the beginning
                                    

"Kalau pun bisa, Hanan ngga akan pernah mau berbagi sama abang."

Mendengar itu Wisnu langsung mengangkat wajahnya setelah ia usap air mata di pelupuk mata.
"Kok bilang gitu?"

Hanan menggeleng, ia tatap manik gelap milik sang kakak sembari susah payah menahan tangis.
"Hanan ngga akan pernah biarin abang ngerasain itu, sakitnya bukan cuma di fisik, bang, tapi hati juga."

Setelah Hanan mengucapkan itu, keheningan langsung menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama bungkam untuk beberapa detik, sampai akhirnya hembusan napas Wisnu langsung menarik atensi Hanan yang semula masih berusaha mengontrol emosinya.

Dengan napas tidak beraturan, Hanan menoleh ke arah sang kakak yang kini tengah tersenyum ke arah nya.

"Abang punya sesuatu buat Hanan."

Tangannya merogoh kantong kecil yang sengaja ia bawa dari rumah tadi. Kemudian ia keluarkan gelas kecil bermotif matahari di bagian tengahnya. Entah apa yang ada dipikiran Hanan saat ini ketika melihat benda itu, tapi jujur saja hatinya perlahan menghangat, apalagi ketika Wisnu menjelaskan apa kegunaan benda tersebut.

"Nanti kalau mau minum obat, kamu pakai gelas itu, ya? Sengaja abang belikan buat kamu supaya lebih semangat minum obat nya."

"Hanan suka, ngga?"

Begitu katanya, sedangkan disini Hanan sedang mati-matian menahan senyuman sekaligus air mata. Merasa sangat beruntung mempunyai kakak seperti Wisnu. Ternyata setelah belasan tahun lamanya mereka berpisah, itu tak sedikitpun mengurangi rasa sayang keduanya untuk satu sama lain. Malah kalau boleh jujur, rasa sayang Wisnu akan terus bertambah setiap harinya, tanpa ada jeda sedikit pun.

Kalau pun dianggap berlebihan oleh sebagian orang, tidak masalah. Yang terpenting tuhan maha tahu atas segala sesuatu.

Dengan anggukan cepat Hanan tersenyum, menandakan kalau ia begitu suka dengan hadiah yang baru saja Wisnu berikan untuknya. Hadiah yang Hanan yakini akan menjadi saksi bagaimana perjuangan Hanan selama ini. Bagaimana tangisan dan rasa sakit yang Hanan simpan seorang diri.

"Makasih banyak, bang. Gelasnya bakalan Hanan pakai setiap hari."

Dengan gerakan lembut Wisnu usap puncak kepala Hanan sembari sesekali ia sisir poni yang menghalangi mata.

"Pulang ya udah malam, Hanan harus istirahat." sembari berucap Wisnu usap keringat dingin di kening Hanan.

"Pusing?"

Mendengar pertanyaan itu dengan cepat Hanan menggeleng,
"Ngga, badan Hanan memang selalu keringetan kalau malam."

"Nan, kalau ada apa-apa bilang sama abang, ya? Sesekali ngeluh sama abang ngga pa-pa. Abang malah sedih kalau Hanan ngga pernah cerita apapun sama abang. Abang merasa ngga berguna, Nan.."

Wisnu benar-benar mengucapkan kalimat itu dari hati yang paling dalam, sebab jujur saja, dengan Hanan yang tidak pernah sekali pun mengeluh tentang rasa sakitnya membuat Wisnu tak jarang merasa tidak berguna.

Padahal sebenarnya bukan itu maksud Hanan. Hanan hanya tidak mau menambah beban pikiran sang kakak, tidak mau membuat Wisnu khawatir berlebihan seperti saat itu, saat pertama kali tahu kalau Hanan sakit.

Tinta Terakhir ✔ Where stories live. Discover now