Bab 16: Digantung itu Nggak Enak

Start from the beginning
                                    

“Apa Mas Satya memang benar-benar nggak mau lanjutin pernikahan kita?” Lintang mengabaikan ucapan Satya dan memilih melontarkan pertanyaan yang selama ini menjajah pikirannya. 

Hening. Pertanyaan Lintang seperti anak panah yang dilesatkan dari busur dan tepat menancap di jantungnya. Sakit. Nyeri. Meski tidak berdarah. Pertanyaan yang jauh lebih sulit dari soal-soal dalam olimpiade matematika yang pernah diikutinya. Pertanyaan yang jawabannya seperti sebatang jarum di dalam tumpukan jerami. 

“Apa Mas Satya memang tidak ada niat untuk mempertahankan pernikahan kita?” Lintang mengulang pertanyaannya ketika Satya tak terdengar lagi suaranya. 

Satya mengganjur napas. “Apa aku harus menjawabnya sekarang, Lin?” 

“Saya kira lebih cepat lebih baik. Biar saya tahu kalau tidak ada tempat lagi buat saya. Jadi saya bisa pergi dari kehidupan Mas Satya secepatnya dan memulai hidup baru. Digantung itu nggak enak, Mas.” Lintang kembali memelesatkan anak panah dalam genggamannya. 

“Lin ….” Satya menggantung suaranya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan. “Aku pernah bilang kalau sebelum nikah sama kamu, aku sudah punya Hanum.” 

Awan kelabu yang bergelayut di mata Lintang luruh menjadi hujan. Lintang terduduk di atas ranjang. Kamar kost Dini seolah menyempit dan ia tergencet di dalamnya. Andai tidak ingat nasihat Dini, ia pasti menyudahi pembicaraan dengan Satya saat itu juga. Luka di hatinya semakin dalam. Sakit. Perih. Namun, ia harus kuat. 

“Dan aku sudah janji sama Hanum kalau tetap akan menikahinya seperti rencana awal kami.” 

Terpaksa Satya berterus terang. Ia berharap Lintang mengerti posisinya yang kini terjebak di antara dua perempuan. Memutus hubungan dengan Hanum berarti ia menjilat ludahnya sendiri. Namun, memutus ikatan pernikahan dengan Lintang berarti meninggalkan wasiat sang bunda dan ia khawatir mendiang ibunya akan mengutuknya dari alam kubur sehingga seumur hidupnya tidak akan tenang. 

 “Kalau janji kepada Hanum yang memberati Mas Satya, memangnya waktu ijab qabul Mas Satya nggak janji ke saya dan Paklik Heru juga?” 

Kedua tangan Lintang menghapus air mata dan berusaha berbicara setenang mungkin. Ia tidak boleh terlihat kalah di depan Satya. Meski mereka hanya berbicara lewat telepon, dari suaranya Satya pasti tahu kalau ia mulai oleng dan Lintang tidak ingin itu terjadi. Satya harus tahu kalau ia perempuan yang tidak mudah remuk hanya karena intimidasi dalam bentuk cerita masa lalu dengan Hanum. 

“Maksudmu?” 

“Mas Satya bilang, kalau sudah janji sama Hanum. Padahal waktu akad, Mas Satya sebenarnya sudah berjanji dengan saya dan Paklik Heru selaku wali saya. Dan yang paling penting, Mas Satya sebenarnya sudah membuat perjanjian dengan Allah.” Lintang melepas panah terakhir. Ia berharap, amunisi terakhirnya tepat mengenai sasaran.

“A-apa maksudmu, Lin?” Nada suara Satya terdengar bingung. “Kenapa Lintang bawa-bawa Allah dalam masalah ini?” batinnya rusuh. 

Lintang mengganjur napas. “Mas Satya pasti masih ingat lafal ijab qabul yang dulu sudah terucap, kan?” 

“Tentu saja masih ingat. Aku menghapalnya semalam suntuk.” 

“Nah, Mas Satya tahu nggak apa maksud kalimat ijab qabul yang diucapkan Paklik Heru dan dijawab Mas Satya?” 

Satya mendengkus. “Ayolah, Lin, ngomong aja langsung, jangan berbelit-belit gini. Kamu mau nguji aku?” seru Satya taksabar. Ia mulai kesal. 

“Waktu ijab, Paklik Heru telah menyerahkan perwalian saya kepada Mas Satya. Dan ketika Mas Satya berkata “saya terima nikahnya Lintang binti Hendra Hadiwijaya” maka saat itu juga Mas Satya sudah berjanji kepada Paklik Heru dan kepada Allah untuk mengambil alih tanggung jawab mendidik, melindungi, dan menafkahi saya.” 

Lintang menjeda kalimat dengan meneguk setengah gelas air putih demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia seperti tengah mengisi kajian di depan suaminya sendiri, mencoba membagikan ilmu yang didapat ketika mengikuti pre-mariage class. 

“Janji dengan siapa yang lebih berharga dan kuat ikatannya? Janji dengan Allah atau janji dengan Hanum?” pungkasnya. Semua anak panah telah ia lesatkan. 

“Aku belum pernah dengar tentang itu,” sergah Satya cepat. 

“Mas Satya mau bilang kalau saya mengada-ada? Modus gitu?” 

“Bukan, bukan gitu maksudku,” seru Satya. “Duh, kenapa Lintang jadi belibet gini, sih?” batin Satya heran. Ia pikir Lintang adalah perempuan penurut yang tidak banyak kata. 

“Kalau Mas Satya nggak percaya tentang itu, Mas Satya bisa buka buku-buku tentang pernikahan. Ntar di sana dibahas arti ijab qabul.” Lintang merasa di atas angin. Kini kunci permainan berpindah ke tangannya. 

Sepi, tidak ada jawaban dari Satya. 

“Tentang ijab qabul adalah perjanjian agung dengan Allah, Mas Satya juga bisa baca di buku-buku pernikahan. Ada juga dibahas di tafsir surah An Nisa ayat dua puluh satu. Allah sendiri yang bilang kalau pernikahan adalah janji suci yang agung manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah. Makanya Allah tidak menyukai perceraian.” 

Plong. Beban berat yang selama ini menghimpit dada seolah terangkat sempurna. Lintang menarik napas lega setelah mengatakan semuanya. Sekarang ia siap dengan apa pun jawaban Satya. Ia sudah berusaha meneteskan sebanyak mungkin air pada segumpal daging bernama hati. Lintang yakin, hati Satya tidak terbuat dari batu. Meski demikian, jika nanti jawaban yang didapat tidak sesuai keinginannya, Lintang sudah siap. 

“Lin ….” Suara Satya kembali terdengar setelah sempat terdiam sekian detik. “Beri aku waktu memikirkan semuanya. Aku juga harus memikirkan perasaan Hanum. Kamu pasti tahu dan ngerti, membatalkan janji itu nggak gampang.” 




Perempuan Masa Lalu Suamiku (Tamat di Karyakarsa)Where stories live. Discover now