Bab 15: Saatnya Merenung

546 26 0
                                    

Dalam selembar daun yang jatuh diterbangkan angin, engkau menjelma 

Di bawah siraman cahaya matari, engkau mengada

Bersama kesiur angin yang mencumbu tubuh, engkau hadir

Dalam bayang di bening air, engkau menatapku, mengulurkan sekeping tanda mata bernama rindu!

***

Pagi yang bingar di kost Dini. Usai membaca Al Quran dan wirid pagi, Dini melantai di dapur. Kostnya memang menyediakan dapur yang setiap saat bisa dipakai para penghuninya untuk memasak maupun sekadar memanaskan makanan.  Sementara itu, Lintang sedang tidak bisa diganggu karena harus menyiapkan revisi skripsi dan pergi sebelum jam setengah tujuh. 

“Nasi gorengnya mantap, Din. Calon istri solehah, nih.” Lintang mengacungkan jempol. Sepiring penuh nasi goreng berhasil melewati rongga mulut. 

“Itu karena kamu lagi laper.” Dini terkekeh. “Lagian apa hubungannya nasi goreng dengan istri solehah?” 

Lintang mengibaskan tangan sembari berdecak. “Konon, laki-laki harus dipuaskan perutnya biar betah dan cinta.” 

“Nah, itu tahu teorinya. Coba kamu masakin Satya. Dijamin dia bakal jatuh cinta sama kamu sampai nggak bisa tidur.” 

“Mas Satya pengecualian kayaknya.” Lintang menyambar gelas berisi air putih. 

“Pengecualian gimana? Sama sajalah semua laki-laki.” 

“Ya selera dia kayaknya beda sama kita-kita gini. Hidup mewah sejak kecil pasti makanannya harus sekelas masakan chef.” Lintang mulai mengeluarkan teorinya. “Di rumah dia ada juru masak. Namanya Mbok Darmi. Masakannya jangan ditanya. Masakanku pasti bakal kebanting kalau dibandingin sama Mbok Darmi.” 

“Kayaknya masalah kamu sama Satya itu di kamu, deh, Lin.” Dini memasang wajah serius. Tangannya menyendok nasi sembari menunggu response Lintang. 

Lintang mendelik. Buru-buru tangannya menutup mulut, mencegah agar air yang berada di dalamnya tidak menyembur keluar. “Kok, bisa? Jelas-jelas yang salah itu Mas Satya. Dia nggak niat nikah sama aku dan pengen balik sama Hanum. Malah kamu nyalahin aku,” ujar Lintang sengit setelah mulutnya kosong. 

“Maksud aku, kamu terlalu under estimate sama diri kamu sendiri. Kamu bilang nggak secantik Hanum, nggak sepintar Hanum, masakannya nggak seenak Mbok Darmi, bla … bla … bla …. Itu apa namanya kalau nggak minder dan diri kamu yang bermasalah?” 

“Lha memang gitu kenyataannya. Trus aku harus bilang apa? Memang Hanum lebih cantik, lebih pintar ….” Nada suara Lintang meninggi. 

“Tapi kamu juga cantik, kamu juga pintar,” potong Dini cepat. “Allah itu kasih kita lebih dan kurang. Tugas kita mensyukuri kelebihan dan bersabar dengan kekurangan. Tapi nggak perlu banding-bandingin sama orang lain.” 

Lintang melengos. Setelah ia dilempar Satya seperti manusia tak berguna, sekarang giliran Dini yang menjatuhkannya. Mungkin kalau ia curhat ke Ustazah Dewi, ia akan semakin terlempar ke jurang paling dalam. Tidak ada orang yang benar-benar mengerti perasaannya. 

“Sorry, Lin.” Dini kembali bersuara setelah sempat menjeda kalimat dengan mengunyah nasi goreng. “Maksud aku, apa pun yang terjadi, jangan sampai minder sama diri kamu. Kamu itu istimewa. Kamu orang kepercayaan Prof. Kathrina, salah satu dosen perfeksionis di kampus.” 

Lintang menatap Dini lamat-lamat, menunggunya melanjutkan kalimat sambil menandaskan isi gelas. 

“Satya berbuat kayak gini cuma karena belum tahu kamu. Tugas kamu ngasih tahu dia. Aku yakin dia masih punya hati dan nuraninya pasti lama-lama bisa nerima kamu.” 

Perempuan Masa Lalu Suamiku (Tamat di Karyakarsa)Where stories live. Discover now