Bab 16: Digantung itu Nggak Enak

545 27 6
                                    

Panggilan telepon dari Satya seperti mimpi buruk di sore hari setelah kabar bahagia memenuhi harinya. Lintang membiarkan suara dering ponselnya mengapung di udara. Salah satu sudut hatinya ingin menerima. Diakui atau tidak masih ada secuil rasa cinta di hati dan sedikit harapan untuk melanjutkan pernikahan. Namun, sisi yang lain menolak karena khawatir Satya hanya akan mencampakkannya. Lintang seperti berada di persimpangan jalan dan tidak tahu akan memilih arah yang mana. 

Dini menatap prihatin sahabatnya. Tangannya mengelus lembut punggung Lintang. “Boleh aku kasih saran?” tanyanya hati-hati ketika melihat Lintang meletakkan ponsel di atas ranjang. 

Lintang menoleh, menatap kedalaman mata setenang telaga milik Dini, lalu mengangguk. 

“Ada hal dalam hidup kita yang mesti diucapkan, dan ada pula yang hanya bisa kita simpan dalam hati.”  Dini meraih tangan Lintang dan menggenggam erat, mencoba mengalirkan energi positif. 

“Lari nggak akan menyelesaikan masalah. Menurutku, angkat saja telepon Satya. Kamu bisa ngomong baik-baik ke dia. Kalau dia minta dimengerti, kamu juga bisa memintanya untuk mengerti perasaanmu. Tapi kamu harus bilang ke dia, di bagian mana dia harus ngerti kamu. Kalau kamu nggak bilang, gimana dia mau ngerti?” 

Kedua sahabat itu bersitatap. Helaan napas panjang Lintang terdengar. Ia berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya demi mengurai sesak di dada. Dini benar, ia perlu bicara. Selama ini ia hanya diam kalau Satya menyebut-nyebut keinginannya untuk mengakhiri pernikahan.

“Kamu istrinya. Hakmu untuk meminta pengertian Satya dan kewajibanmu mempertahankan pernikahan kalian,” lanjut Dini. 

Dering ponsel Lintang kembali mengisi udara. Dini mengeratkan genggamannya. “Angkat dan bicara baik-baik. Buat dia ngerti perasaan dan keinginan kamu.” Dini tersenyum tulus lalu melepas genggaman tangannya. Ia bangkit lalu keluar kamar agar Lintang bisa bebas berbicara dengan Satya. 

Jika Lintang memilih kegiatan di biro konsultan lingkungan milik Prof. Kathrina, sejak semester dua Dini memilih untuk mengabdikan diri di LSM Sahabat Perempuan yang memiliki layanan konseling keluarga. Tidak heran, meski belum menikah, ia telah banyak berkutat dengan masalah rumah tangga. Perceraian yang dialami kedua orang tuanya mengantar Dini untuk membantu di sana. Menjadi anak dari orang tua yang bercerai itu tidak menyenangkan dan Dini tidak ingin anak-anak lain mengalaminya. 

“Lin …” Suara Satya terdengar dari seberang setelah tahu Lintang menerima teleponnya. 

Lintang bergeming, membiarkan sunyi meraja sekian detik demi meredam gemuruh di hati. 

“Kamu di mana?” 

Pertanyaan Satya seperti membentur tembok batu. Taksepatah kata pun keluar dari mulut Lintang. Hanya tarikan napasnya saja yang terdengar. 

“Kamu betah amat hidup tanpa hp. Lagi pindah ke gua, ya?” 

Satya mencoba mencairkan suasana demi menarik Lintang masuk ke dalam semestanya dan mulut Lintang belum juga terbuka. 

Putus asa, Satya kembali ke tujuan utamanya menelepon.  “Kamu ke mana saja? Aku cari di kost nggak ada, di Bantul nggak ada. Kamu masih di planet bumi, kan?” Ia pun merepet seperti bapak mengomeli anaknya yang bandel. Ia benar-benar gemas dengan sikap Lintang. 

“Aku tahu sudah salah ngomong sama kamu. Aku minta maaf.” Satya terus bermonolog. Ia sama sekali tidak memedulikan Lintang yang tetap bungkam. Misi utamanya minta maaf agar hidupnya tenang. 

Sesaat Lintang membiarkan kata-kata Satya yang meluncur deras seperti air hujan turun ke bumi disertai angin ribut. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan isi hati yang selama ini menggumpal di dada. 

Perempuan Masa Lalu Suamiku (Tamat di Karyakarsa)Where stories live. Discover now