Bab 10: Ceraikan Aku, Mas!

640 28 4
                                    

Sepeninggal Satya, Lintang tertegun sesaat. Ia khawatir Satya sebenarnya tidak setuju sang bunda membagi warisan untuk mereka berdua sehingga meninggalkannya begitu saja tanpa banyak bicara. Padahal, ia tidak keberatan jika harus mengembalikan pemberian Bu Sekar kepada Satya. Toko batik dan spa itu sama sekali tidak menarik minat Lintang. Ia juga tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha. Lintang memutuskan akan membicarakannya esok pagi dengan Satya. Saat ini, ia tidak punya cukup keberanian untuk mengganggu suaminya. 

Rasa lelah dan kantuk menyebabkan Lintang tertidur dengan cepat. Ia bahkan tidak tahu kapan Satya masuk ke dalam kamar. Perempuan bertubuh tinggi itu berjengit saat matanya terbuka sempurna dan melihat sang suami tidur di sofa. Rupanya Satya benar-benar memilih tidur di sofa ketimbang memeluk mimpi di ranjang yang empuk dan nyaman ini.

Lintang bangkit lalu mengambil selimut yang jatuh di lantai dan menutupkannya ke tubuh Satya. Dalam ia mengamati wajah sang suami yang terlihat damai. Hampir saja jemarinya menyentuh wajah Satya, tetapi buru-buru ditahannya. Bagaimanapun juga lelaki itu belum menerimanya sebagi istri. Hati Satya hanya untuk Hanum dan tidak ada sedikit pun kesempatan untuk menggeser kedudukan perempuan itu. 

Lintang menarik napas panjang kemudian bangkit dan mengambil wudu. Taklama kemudian, Lintang sudah berada di musala dan berada di sana hingga azan Subuh berkumandang. Ia baru keluar dari musala setelah menyelesaikan zikir pagi dan setengah juz sisa bacaan Quran yang belum diselesaikan usai salat malam. 

Suara dengkuran halus tertangkap telinga Lintang ketika ia membuka pintu kamar. Rupanya Satya masih meringkuk di atas sofa. Lintang pun membangunkan menepuk-nepuk tubuh Satya seraya memanggil namanya. 

Satya membuka mata perlahan setelah panggilan kelima. “Ada apa, Lin?” tanyanya malas ketika dilihatnya sang istri berjongkok di samping sofa. 

“Sudah salat belum, Mas?” 

“Jam berapa memangnya?” Satya menaikkan selimut hingga leher. Matanya kembali terpejam. 

“Setengah enam.” 

“Ya, Tuhan!” Dikibaskannya selimut dengan cepat lalu berlari ke kamar mandi. Tergopoh Satya menuju musala untuk salat Subuh. 

“Kok udah beres-beres, Lin. Mau ke mana?” Satya menatap heran istrinya yang tengah berkemas. 

Lintang menghentikan pekerjaan lalu menatap wajah Satya yang terlihat segar. “Saya mau balik Jogja sekarang, Mas. Barusan Prof. Katrin menelepon kalau besok sebelum jam tujuh harus ke kantornya untuk konsultasi.” 

“Tapi aku nggak bisa antar kamu pagi ini, Lin. Aku ada janji dengan CEO dan manajer Hadipranoto Group jam sembilan nanti.” Rasa sesal terlihat di wajah Satya. 

“Nggak apa-apa, Mas. Saya naik bus saja,” ujar Lintang Santai. 

Satya menggeleng. “Biar  Kang Pardi antar kamu sampai kost.” Satya mengambil ponsel dan menelepon Pak Pardi agar menyiapkan mobil pagi ini. 

“Oh iya, Mas, ada yang ingin saya tanyakan.” Lintang menutup reitsleiting ransel kemudian duduk di tepi ranjang. Ia menatap Satya yang duduk di sofa. “Apa Mas Satya keberatan atas keputusan bunda tentang toko batik dan spa itu?” tanya Lintang hati-hati. 

Sebenarnya, Lintang merasa lega dengan keputusan Bu Sekar. Kelima toko dan spa itu akan mengikat dirinya dan Satya. Harapannya untuk melanjutkan pernikahan yang sempat meredup, kembali bersinar. 

Satya terdiam sejenak. Lintang mungkin merasa tidak enak dengan sikapnya semalam. Padahal hatinya rusuh karena ia tidak mungkin mengabaikan wasiat Bu Sekar. Di sisi lain, ia terika janji dengan Hanum. 

“Tidak, aku tidak keberatan dengan keputusan bunda, Lin,” jawabnya kemudian. “Aku tahu bunda sangat menyayangimu. Kukira pemberiannya sangat wajar,” lanjut Satya lalu memperlihatkan selarik senyum semanis cokelat hangat yang berhasil membuat jantung Lintang berdetak lebih cepat. 

Perempuan Masa Lalu Suamiku (Tamat di Karyakarsa)Where stories live. Discover now