Bab 15: Saatnya Merenung

Start from the beginning
                                    

Embusan napas kasar keluar dari mulut Lintang. Soal positive thinking, Dini memang juara, gadis periang yang seolah tidak mempunyai beban hidup. Apa pun yang terjadi, selalu hamdalah yang terlontar dari bibirnya. 

Pernah Dini kecopetan. Dengan santainya Dini berkata, “Alhamdulillah cuma uang di dompet yang ilang. Jadi aku masih ada uang buat ongkos bus.” 

Satu hal yang paling membuat Lintang takjub ketika Dini kecelakaan dan dengan wajah tenang dia berkata, “Alhamdulillah cuma tanganku yang patah, Lin. Jadi aku masih bisa jalan.”

Kini, ketika kepercayaan Lintang pada Satya berada di titik nadir, Dini masih terus saja mengembangkan harapan. Salah satu sisi hati Lintang membenarkan ucapan Dini, tetapi sudut lain hatinya diterkam rasa takut jika perasaannya memang tidak akan berbalas dan ia takut terbanting ketika itu terjadi. “Bertepuk sebelah tangan itu sakit, Kawan!” Kalimat itu selalu berdengung di telinga, menjajah pikiran dan membekap hatinya. 

“Boleh aku minta satu hal, Din?” Akhirnya Lintang bersuara setelah Dini menyudahi rentetan khutbah pagi.

Dini bergeming, menatap Lintang dengan sorot mata bertanya. 

“Aku butuh merenung,” lanjut Lintang. “Aku butuh berpikir tentang masalahku dengan Mas Satya. Aku harap kamu nggak ngomongin soal itu lagi. Biar hatiku yang memilih, mau lanjut atau berhenti sampai di sini.” 

“Oke.” Dini tersenyum, mencoba mengerti perasaan Lintang. “Sorry banget kalau aku kelewatan.” Ia mengacungkan jari manis. “Aku janji nggak ngomongin Satya lagi.” 

Lintang menautkan jari manisnya. “Makasih udah bantu aku melewati hari-hari yang berat ini.” 

Keduanya saling melempar senyum lalu membereskan piring dan gelas bekas sarapan. Lintang harus segera pergi. Ia tidak ingin terlambat dan ditolak Prof. Kathrina. 

“Good luck, dear.” Dini mengacungkan jempol saat Lintang pamit. 

“Thanks.” Lintang melambaikan tangan lalu bergegas pergi. 

Sinar matahari pagi yang menyirami bumi mengiringi laju motor Lintang. Ia tiba di depan ruang kerja Prof. Kathrina lima menit sebelum dosen yang selalu tampil modis itu datang. 

“Saya sudah oke, Lin. Data dan analisisnya sudah lengkap. Good job, dear.” Prof. Kathrina menyodorkan satu bendel kertas pada Lintang. Senyum puas terkembang sempurna di wajah cantiknya. 

“Alhamdulillah.” Lintang menarik napas lega lalu mempersembahkan senyum semanis cokelat hangat. “Makasih banyak, Prof.” 

“Kamu cek ke Pak Razi. Kalau beliau oke, kamu langsung saja minta waktu kosong beliau dan daftar ujian. Saya ngikut saja jadwal Pak Rozi. Yang penting, sebelum saya berangkat ke Jerman, kamu sudah ujian,” tambah Prof. Kathrina.

“Tinggal dua minggu lagi, Prof,” ujar Lintang sedikit cemas ketika melihat buku catatan. 

“Makanya kamu segera janjian sama Pak Razi saja,” sahut Prof. Kathrina. 

Lintang mengangguk. Kebetulan hari ini ia sudah membuat janji dengan Dr. Razi. 

“Oke, sampai ketemu saat ujian. Siapkan presentasi sebaik mungkin.” Prof. Kathrina menutup pertemuan pagi itu. 

“Oh iya, Lin.” 

Lintang yang baru saja memasukkan draft skripsinya ke dalam ransel mendongak. 

“Ada program shortcourse di Wageningen University. Coba kamu apply. Siapa tahu rezeki kamu.” 

Sepasang mata sewarna madu milik Lintang berbinar. “Baik, Prof. Saya pasti bakal apply.” 

“Ambil konservasi air yang sesuai dengan riset kita selama ini. Kalau ada yang kamu nggak ngerti, konsul saja sama Elard.” 

Seketika matahari seolah bersinar lebih terang di mata Lintang. Ia belum pernah menginjakkan kaki ke negeri kincir angin, tetapi sering membaca dan melihat foto-fotonya sembari melangitkan doa suatu hari akan mencicipi kuliah di salah satu universitas di sana. Hari ini, semesta memeluk mimpi dan doa-doanya. 

Gegas, Lintang pamit dan berjalan cepat menuju perpustakaan untuk mengecek berkas-berkas yang harus disiapkan untuk mendaftar kursus singkat itu. Ia pulang ke kost Dini setelah bertemu Dr. Razi. Keberuntungan benar-benar sedang berpihak padanya. Doktor seusia Satya itu juga sudah menyetujui draft skripsinya. Hari itu juga jadwal ujiannya sudah ditentukan. 

“Selamat, Lin. Kamu memang keren.” Dini memeluk Lintang hangat ketika sahabatnya menceritakan nasib baiknya hari ini. 

“Aku telepon paklik dan bulik dulu. Minta doa restu mereka dan belum bisa pulang sampai dua minggu lagi.” 

Lintang meraih ponsel dari meja belajar lalu mengembalikan nomor lama yang sempat ia simpan demi bersembunyi dari Satya. Debar jantung mengiringi jemarinya yang membongkar ponsel. Lintang taksabar ingin segera mendengar suara dua orang yang telah menjadi pengganti orang tuanya itu. 

Layar ponsel di tangan Lintang berkedip-kedip begitu ia menekan tombol power dan terkoneksi dengan jaringan internet. Ponselnya terus bergetar dan notifikasi dari pesan WhatsApp berderet seperti rangkaian gerbong kereta Argo Lawu tujuan Yogyakarta. 

Mata Lintang terpaku pada nama Satya di layar. Ratusan pesan dari suaminya terus masuk. Telunjuknya bergetar ketika menyentuh nama Satya. Lintang terduduk di ranjang. Matanya berembun membaca ratusan pesan dari lelaki yang telah menorehkan luka di hatinya itu. 

“Kenapa, Lin?” Dini menatap sahabatnya khawatir. Ia duduk di samping Lintang dan menatap ponsel di tangan Lintang. 

Tarikan napas panjang Dini terdengar di telinga Lintang. Keduanya saling bersitatap. 

“Dia hanya pura-pura merayuku, Din. Dia nggak sungguh-sungguh. Aku nggak boleh tertipu,” ujar Lintang. Gerimis jatuh dari kedua bola matanya. 

Mulut Dini terkunci rapat sementara hatinya berusaha menahan deretan kata yang mendesak ingin segera dikeluarkan. Namun, ia ingat janjinya untuk tidak mengatakan apa pun tentang Satya. 

Lintang menarik napas panjang lalu menghapus jejak air mata di pipi. Sigap ia menutup aplikasi WhatsApp dan mencari nama Paklik Heri di daftar kontak. Belum sempat ia menyentuh nama sang paman, layar ponselnya berganti tampilan. Nama Satya tertera di layar tengah memanggilnya. 

Perempuan Masa Lalu Suamiku (Tamat di Karyakarsa)Where stories live. Discover now