24. Penyesalan yang Selalu diakhir

80 7 2
                                    

"Pada kenyataannya, hidup itu berisi penyesalan yang tidak ada habisnya. Lucunya, orang-orang tahu bahwa penyesalan selalu ada di akhir. Tetapi mereka tidak perduli, mereka tetap melakukan kesalahan dan menyesal sesudahnya. Begitu terus. Sampai ia mati."

Situasinya hampir menyerupai bagaimana hari dimana Lentera berada di sana, tengah menjalani operasi setelah kecelakaan yang membuatnya kehilangan penglihatan dan ingatannya. Akan tetapi hari ini, di siang hari menjelang sore, lelaki bersurai hitam dengan bola mata menukik tajam itu duduk di kursi rodanya dengan wajah merunduk sedih. Di sampingnya ada Mama yang terus menangis, begitu pula Ami yang selalu menenangkannya untuk menjaga kondisi cowok itu agar tidak lepas kendali. Apalagi kepalanya mulai berisik, menampilkan sebait dua bait kata yang sangat dia kenali bersama suara yang tidak pernah terasa asing.

"Anak gila!"

"Begitu saja tidak bisa, Tera?"

"Tera! Adik kamu kecelakaan!"

"Adik kamu sakit karena kamu!"

"Kamu penyebab Adik kamu sakit!"

"Tera," Ami memanggil pria itu yang mulai mengernyit sembari menarik beberapa helai rambutnya. "Tenang, ini bukan salah kamu, kok," ucap perempuan bermata bulat dengan rambut diikat satu itu itu. Ami sudah seperti sahabat terdekat Lentera semenjak dirinya masuk ke dalam rumah rawat. Bahkan karena umur mereka yang sama, membuat perempuan itu yang mengajukan dirinya sebagai pendamping Lentera selama masa penyembuhannya sehingga wanita itu tahu persis kapan Lentera mulai diganggu oleh suara-suara itu.

Rasanya Ami ingin membagikan perasaan nyamannya setiap hari untuk lelaki berlengkung mata tajam itu, tetapi nyatanya Lentera selalu menatap Ami dengan senyum tipis dan berkata "Makasih," kemudian bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap dirinya.

Gadis itu mengela napas pelan, melirik langkah kaki yang mendekat sebelum Tante Dewi menoleh kaget dengan wajah berubah dari cemas menjadi amarah. "Ngapain kamu?" ia menatap pria dengan kemeja putihnya yang sudah acak-acakan dan jas yang tersampir di bahunya. "Puas kamu liat Zidan menderita, kan? KAMU PUAS MEMBUAT KEDUA ANAK KU MENDERITA?!"

"Dewi! Kamu tidak sadar, bahwa ini juga ulah mu!" teriak pria itu arogan, masih pada egonya untuk tidak mau disalahkan terhadap apa yang terjadi siang tadi.

"Ted," Mamanya berjalan mendekati Papa yang berdiam kaku, dimana Lentera yang tengah menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi tanpa sepengetahuannya itu pun hanya dapat ditenangkan oleh Ami yang memeluknya dari samping. "Cukup, Ted. Cukup sampai sini aja, mereka bukan kamu! Lentera, Zidan, dua-duanya gak sekuat kamu! Mereka bukan kamu..." tampaknya Mama menangis karena Lentera mendengar suara perempuan itu berubah parau dan isak tangis terdengar.

Cowok itu menggerakkan kursi rodanya dibantu Ami, lantas mencari keberadaan Ibunya sebelum memeluk wanita itu dengan lembut dan air matanya kembali mengalir. Dia tidak tahu seperti apa Papa di matanya, atau dia bahkan sudah tidak peduli jika Papa kembali membentaknya dan menyebutnya anak buangan, gila, sampah, tidak berguna. Dia sudah cukup puas dengan dirinya sekarang, tapi dia menyadari bahwa Mama dan Zidan masih berada di tempat yang sama.

Oleh sebab itu, dengan tubuh yang bergetar hebat, Lentera menatap ke depan dengan tatapan kosong meskipun tahu betul bahwa dia tidak mendapatkan keberadaan Papanya. Setidaknya cowok itu mulai melepas ketakutannya. Dibantu oleh Ami yang selalu memberinya kekuatan ketika Lentera mencoba untuk tidak terpengaruh oleh suara-suara itu.

Suara-suara Papa yang dia buat sendiri dalam pikirannya.

"Papa sedih gak lihat Zidan sekarang?" dibandingkan kemarahan, Lentera lebih penasaran oleh perasaan Papanya itu. Ingatannya jatuh pada masa kecil mereka, dimana Zidan yang jatuh sakit akibat tipes dan Lentera yang ikutan sakit demam biasa. Saat itu, Mama tampak sedih karena melihat dua anaknya mengalami sakit yang sama, sedangkan Papa tampak biasa saja meskipun raut wajahnya terlihat lelah. Lentera lupa kapan pastinya, tapi cowok itu tahu bahwa Papa pernah menangis sewaktu Zidan lahir. Sehingga sekarang lelaki berumur 21 tahun itu penasaran bagaimana perasaan Papa terhadap Zidan, bahkan terhadap Lentera yang telah menjadi seperti ini.

GlowOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz