20. Kakak yang Merindukan Adiknya

81 8 7
                                    

"Kadang kita memang berharap ada orang yang peduli pada kita. Tapi pada kenyataannya, hidup dengan harapan pada seseorang merupakan hal paling bodoh. Karena apa? Karena tidak ada hasilnya. Semuanya hanya sekadar harapan yang pupus."

3 Tahun Lalu.

Menjadi manusia yang mengasingkan diri dari kehidupan sosial sudah jelas aneh. Tetapi kebiasaannya yang kadang tidak dapat dikontrol dan bagaimana kepalanya penuh oleh cemoohan yang terus berulang, membuat Tera tidak dapat untuk berkomunikasi secara baik. Bahkan bersama Marko, Adnan ataupun Yoyo sebagai teman sekelasnya selama 3 tahun terakhir yang tidak dapat mengembalikan perasaan nyaman dan tenang miliknya. Lelaki itu masih tetap dikelilingi oleh suara-suara itu, dimana kemunculannya menjadi lebih sering dari dugaannya selama ini dan tampaknya Tera mulai merasa muak.

Ketika suara-suara itu muncul, biasanya Tera akan mulai menarik tiap helai rambutnya dan menggeram. Mendapatkan tatapan aneh dari beberapa penghuni perpustakaan umum jelas adalah hal yang tidak ingin Tera hadapi. Tetapi pria yang bahkan sudah dicap gila oleh sang Ayah itu tidak dapat untuk berhenti dengan suara-suara yang semakin mengganggu. Dia hanya mendengar suara Papa, Mama dan juga salah satu dokter yang sebelumnya mendengarkan sebagian dari cerita Lentera sebelum suara itu dimulai.

"Lentera hanya perlu istirahat dan perawatan yang cukup, Pak. Setidaknya untuk mengurangi gejalanya, apalagi dampak bila hal ini terus berlanjut akan membuat Tera mulai kehilangan sebagian dari kehidupannya. Jadi saya minta kepada Bapak atau Ibu, untuk berhenti menuntut remaja lelaki itu. Dia sudah cukup merasakan sakit, dan jangan dibiarkan terus menerus sakit, Pak."

Papa yang Lentera lihat dari balik pintu dokter itu tampak pias, auranya tetap keras tapi lelaki itu tahu bahwa pria paro baya itu sangat tidak suka mendengar ucapan dokter di hadapannya. "Anak saya gila, Dok?"

Dokter tampak menggeleng. "Anak Bapak hanya sakit, bukan gila. Tidak ada orang gila di dunia ini. Mereka hanya sedang sakit, dan itu wajar bila dari awal sama sekali tidak Bapak perhatikan."

"Kalau begitu, dia harus diasingkan kemana, Dok?"

"Pa—"

"Benar, kan?" Papa melirik Mama. "Anak itu sakit, dan dia harus dirawat."

"Sakit."

"Dasar orang gila."

"Teriak terus, teriak! Kamu gila?"

"Saya cuma minta kamu belajar! Bukan jadi orang gila!"

"Anak tidak berguna!"

"Heuh, diem," Lentera mengambil botol berisi obat-obatnya, sebelum dia telan beberapa dibantu oleh air minum yang selalu dia bawa. Kemudian melirik buku soal yang di depannya, dia harus membuktikan bahwa dia pantas untuk ini dan tidak ada yang dapat menggantikan Lentera selagi napasnya masih ada dan jantungnya masih berdetak. Selagi matanya masih melihat dunia dan kedua tangan dan kakinya yang sehat, Lentera harus mendapatkan peringkatnya kembali. Dia tidak boleh membiarkan suara-suara itu terus menghantuinya.

Bahkan jika dunia ini hanya tinggal dirinya, dia tetap tidak mau terlihat kalah.

Kemarin dia berhasil menaikkan nilainya, mendapatkan kembali peringkat 3 besar paralelnya meskipun bukan dia yang pertama. Tetapi untuk ukuran Lentera yang selalu diganggu oleh suara-suara memuakkan, peningkatan itu cukup berarti. Bahkan cowok itu dengan sombong menunjukkan rapornya pada Papa, membuat pria itu menatap urutan nilai tersebut dan berkata.

GlowOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz