14. Kita Manusia Robot

44 8 0
                                    

"Manusia tidak pernah jauh dari kesalahan. Begitu pula robot yang masih dapat melakukan kesalahan akibat mesin yang terkena virus hingga jaringan yang eror. Tetapi manusia yang melakukan kesalahan dapat memperbaiki dirinya sendirian, sedang robot harus bersama pemiliknya. Robot adalah mesin yang dirancang harus tanpa kesalahan."

4 Tahun Lalu.

Sejujurnya Lentera sempat merasa dirinya makhluk sempurna yang diciptakan oleh Papa sejak 10 tahun lalu di saat Lentera menginjak kursi kelas 5 SD. Tetapi, perasaan sombong itu perlahan berubah menjadi rasa takut akan kesalahan sehingga Lentera tidak lagi mencap dirinya sebagai orang yang sempurna. Dirinya ternyata makhluk yang lemah, hampir gagal, dan bergantung pada bangunan kokoh yang bisa saja runtuh esok harinya. Paling menyebalkannya lagi, perasaan takut akan ketidaksempurnaannya semakin melebar kalau melihat Adiknya sendiri.

Sungguh, kadang Lentera ingin memaki dirinya. Mengapa dia takut? Apa yang ditakutkan? Itu hanya Zidan. Bocah laki-laki yang cengeng dan selalu membutuhkannya dalam segala kegiatan.

Sekolah juga sama saja bagi Lentera, tidak ada yang spesial. Meskipun kelasnya tidak pernah di rolling seperti kelas IPA lainnya dan Fika masih ada di satu ruangan yang sama dengannya, tetapi tidak ada yang spesial. Ketakutannya di kelas 11 sudah berbeda lagi dibandingkan saat kelas 10. Mereka masih bisa bermain-main, tidak peduli tugas kelompok yang harus dikumpulkan tepat waktu atau mengenai ujian sekolah yang bagi sebagian teman Lentera hanya sebersit debu yang menempel di seragam sehingga dengan mudahnya mereka singkirkan. Tetapi kelas 11 semacam ajak unjuk rasa, unjuk kegiatan lomba sana ke mari dan Lentera lelah bagaimana tiap harinya dia dipacu untuk belajar dan memersiapkan lomba debat Bahasa Inggris sampai OSN Fisika yang saat ini mampu meledakkan isi kepala Tera.

Lelaki itu di jam istirahat berakhir pada perpustakaan yang senyap, dengan debu-debu yang jarang dibersihkan sampai membuat bersin saat tak sengaja dua buku saling beradu, atau suara detak jarum jam yang bergerak tiap detiknya di sela Lentera menyelesaikan soal mengenai hukum Newton tentang gerak dan gravitasi.

Lelaki itu menempelkan pipinya pada buku soal yang terbuka, menatap sisi kosong di samping kirinya dengan tatapan nanar, sebelum suara-suara asing mengacaukan konsentrasinya yang sempat terancang dalam bait-bait memori di dalam otaknya yang saling terhubung.

"Bodoh banget!"

"Cuma segitu, loh. Itu tinggal diselesain!"

"Kamu benar-benar nggak bisa diandalkan, ya, Tera!"

"Nggak," Lentera meracau. "Aku anak hebat, aku bisa kok. Aku bisa selesain ini aku bisa, aku—"

"Ter."

Lelaki itu membuka kedua bola matanya yang sempat menutup. Dia bahkan tidak menyadari buku soalnya yang robek di halaman yang terbuka, sedang Lentera meremas kertas yang sudah tidak sempurna itu dan mengeluarkannya dari kepalan tangan. Cowok itu menatap Fika yang kembali duduk di kursinya yang kosong seraya membetulkan letak kacamata santainya—gadis itu yang bilang bahwa kacamata yang ia gunakan hanya kacamaa biasa, cuma untuk bergaya.

"Eh, iya," cowok itu kembali melihat soal untuk persiapan lomba cerdas cermat 1 bulan lagi dalam festival sekolah, penentu apakah Lentera pantas bersaing kembali pada OSN seperti tahun lalu saat dirinya masih di kelas 10. Sedangkan Fika adalah pasangan lombanya untuk kali ini. Gadis itu memang sejak dulu pintar, dan Lentera untuk pertama kalinya merasa tersaingi dan ketakutan.

Rafika, gadis yang begitu misterius di tengah ketakutannya akan sebutan tidak sempurna tapi juga sosok yang dapat mencerahkan sebagian dari hari Lentera yang buruk.

GlowWhere stories live. Discover now