7. Harapan yang Sebetulnya Tidak Ada

72 9 11
                                    

"Musik bagiku adalah ketenangan, tempat aku bisa bernapas meskipun sebetulnya, itu hanyalah harapan yang tidak pernah ada."

6 Tahun Lalu.

Sejak les yang begitu mendadak di tengah suasana hati Lentera yang tidak baik. Cowok itu masuk ke dalam kamarnya kembali sehabis mengambil wudhu di kamar mandi. Ia menatap bentangan sajadah yang sejak tadi teronggok diam di hadapan sang pemilik yang berbibir kelu dengan tatapan kosong. Lentera mengela napas, memakai sarung dan mulai solat tiga rakaat di waktu maghrib yang lima belas menit lagi akan berakhir.

Di akhir solatnya, lelaki itu diam dan mengadah. Entah berdoa untuk apa dan mengenai apa, Lentera seperti sosok manusia berhati kosong yang melakukan kegiatan akibat diktaktor dari mesin panas di dalam tubuhnya, mengendalikan tubuh Lentera layaknya robot serba guna dan tahan banting. Ia menggeleng cepat, melepas sarung dan melipatnya bersama dengan sajadah sebelum ia letakkan di punggung kursi belajarnya, lalu kini Lentera kembali mebuka buku soal yang telah ditentukan Papa semenit setelah kegiatan les berakhir.

Sambil mulai mengerjakan soal, lelaki itu sesekali menggaruk puncak kepalanya yang tidak gatal namun teras sakit. Pandangan matanya mulai mengabur, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka lantas dia melihat Papa masuk dengan membawa secangkir susu putih beserta cemilan belajar sehat yang selalu beliau siapkan demi kualitas tubuh kedua anaknya.

Tubuh Lentera mulai bergetar hebat, napasnya tidak beraturan saat langkah pria paro baya itu semakin mendekatinya membuat napasnya mulai tercekik. Kedua tangannya terkepal, kepalanya terasa berdengung saat melihat gerakan tangan Papa yang seperti ingin menuangkan susu putih panas itu ke kepalanya yang terasa semakin sakit.

Cowok itu menutup kedua telinganya lantas berteriak keras. "AAAAAA!"

"Bang!"

Suara anak laki-laki dengan nada riang menyambut gendang telinga Tera sebelum lelaki itu menoleh dan menemukan sosok Zidan yang tersenyum lebar. Bocah berumur hampir 11 tahun itu meletakkan piring berisi kue kering rendah gula dna kalori, lantas menatap Abangnya bingung. "Abang nonton film horor, ya? Nanti diomelin Papa, loh, kalau Abang nggak belajar," nasihat dari Zidan yang lugu membuat Lentera tak dapat untuk tidak tertawa sebelum akhirnya menggeleng pelan.

"Bukan—Eh, tapi emang pas di sekolah tadi, Abang sempet nonton film horor sekilas. Terus jadinya keinget, deh," Tera beralasan. Mengambil satu buah kue dan mulai melahapnya dengan nikmat.

Zidan terkekeh. "Dih, cemen! Aku loh, Bang, malah nggak nangis waktu nonton film horor di rumah Sam. Tapi Samudera cengeng kayak Abang, jadi dia ketakutan sampe hampir ngompol," cerocosnya penuh dengan gaya cerewetnya membuat Lentera tidak dapat untuk tidak tertawa.

Lelaki itu mengusap kepala Zidan, tersenyum tipis. "Jangan diledekin, Dan. Samudera kan penakut, harusnya kamu tolongin dia, dong?"

"Iya, Abangg. Aku cuma bercanda bentar tadi, terus aku bantuin nenangin Sam bareng Lia, deh," sahutnya. "Yaudah, Abang mau aku temenin? Nanti kalau Abang teriak lagi, aku nggak konsen baca komik! Aku temenin di sini, ya, biar Bang Tera nggak takut lagi!" seru Zidan riang sembari berlari keluar menuju kamarnya. Sebelum kembali ke kamar Lentera dan mulai membuka komik. Ia melirik Lentera yang masih menatapnya aneh. "Udah, Bang. Jangan takut lagi, kan ada aku," ucapnya dengan begitu percaya diri.

Lentera cuma terkekeh, sebelum kembali mengerjakan soal sembari sesekali melirik Zidan yang perlahan-lahan mulai mengantuk. Lelaki itu bangkit untuk menyelimuti Zidan yang mulai tidur pulas di ats kasurnya. Ia berkata. "Terima kasih, Dek."

GlowWhere stories live. Discover now