18. Mencoba untuk Lebih Kuat

53 7 7
                                    

"Kalau orang bilang teman dapat menguatkan, aku akan berkata sebaliknya. Teman tidak pernah menguatkan. Tidak ada yang dapat menguatkan kamu, kalau kamu saja masih tidak percaya bahwa kamu itu kuat."

4 Tahun Lalu.

Tidak ada hari yang paling buruk, tapi juga tak ada hari yang sempurna untuk Lentera. Entah mengapa akhir-akhir ini dirinya menyadari bahwa dia tidak sempurna seperti yang kebanyakan orang katakan. Lelaki itu benar-benar buruk, tapi dia tidak suka terlihat seperti itu. Dia tidak suka dengan kenyataan bahwa dia tidak sempurna seperti yang Papa inginkan. Dia perlu kesempurnaan itu untuk membuktikan dirinya adalah anak terbaik Papa. Bukan Zidan, bukan si bocah laki-laki penuh cahaya yang menyilaukan itu.

Setelah mobil berhenti, lelaki itu memilih turun lebih dulu diikuti Zidan yang tampak riang di belakangnya. Begitu pula Mama yang tersenyum lebar dengan gaun terbaiknya dan Papa yang begitu berwibawa dengan jasnya. Keluarga itu tampak sempurna—meskipun Lentera tahu bahwa keluarga ini cukup buruk dalam banyak hal. Sesuatu yang akan terus dilindingi Papa untuk tetap menjadi yang terbaik di antara anggota keluarga lain.

Pesta akhir tahun keluarga besar merupakan salah satu pesta yang buruk untuk berbanyak hal. Di sana hanya aka nada orang-orang yang berlomba-lomba menjadi yang terbaik di hadapan Eyang yang sudah sepuh di atas kursi roda dengan asisten yang berdiri takzim di depannya.

Lentera hanya ingin pulang. Selamanya. Tak akan kembali lagi.

"Wih, Lentera si juara dua OSN! Kok turun, sih?" Om Randi mendekat, menepuk bahu Lentera singkat seraya menatap keponakannya dengan sedih—meskipun semua orang tahu tak ada yang sedih atas kekalahan Lentera. Karena semua orang bisa menjadi yang pertama jika Lentera jatuh.

Remaja itu tersenyum tanggung. "Lagi pengin ngalah aja," jawabnya singkat, tak mau terus mengobrol dengan Om-nya itu karena Randi pasti akan mencoba membanggakan Trisna, anak sulungnya yang tahun depan akan memulai kehidupan menjadi siswa SMA. "Oh, iya, bilang ke Trisna jangan keseringan main game, Om. Kemarin bukannya anak Om dapet nilai jauh di bawah KKM?" entah mengapa, Lentera mulai menjadi sosok yang begitu berani serta sombong. Bukan lagi Lentera satu tahun lalu yang masih lemah dan selalu diam saja ketika sedang dibicarakan keburukannya.

Pria itu berubah menjadi orang yang paling tempramen, tak mau dianggap lemah, dan juga egois. Sifat barunya ini seakan-akan memang sejak dulu tertanam jauh dan baru muncul di permukaan.

Om Randi tersentak, menjauhkan diri dari Lentera dimana remaja berumur 17 tahun itu berjalan mendekati Papa yang sedang berbicara dengan Eyang. Lentera ingat bahwa dirinya harus selalu memberi salam pada pria tua yang waktunya sudah terlalu banyak dihabiskan di bumi. Remaja lelaki itu membungkuk sekilas, sebelum mencium punggung tangan Eyang dan menyapnya dengan sopan.

"Malam, Eyang."

Pria tua itu, pria tua yang bahkan tidak ingat letak kamar tidurnya itu tersenyum lemah. "Malam, Zidan. Kok kamu sudah besar?"

Bahkan meskipun Lentera tahu bahwa Eyang sempat menyebut Papanya sebagai Thoriq—Salah satu Om-nya yang sudah tidak pernah hadir ke acara keluarga—Lentera benar-benar benci jika dia disamakan dengan Adiknya yang bahkan sudah bergabung bersama keponakan lain sembari memakan berbagai macam kue. Lelaki berlekung mata tajam itu mengepalkan tangan, hendak marah namun Papa lebih mendahului emosinya yang masih tersekat di tenggorokan.

"Pa, ini Lentera. Zidan sudah lari pergi tadi," Papa mencoba menjelaskan dengan intonasi lembut. Cukup berbeda jika Lentera mengingat kembali kemarahan pria itu beberapa bulan lalu. Hari ketika Lentera kalah dalam OSN—hari yang membuatnya merasakan benci namun tetap menyukai wanita sialan itu. Rafika.

GlowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang