13. Pilihan yang Tidak Pernah Ada

43 7 7
                                    

note: sebelumnya terima kasih karena telah membaca cerita ini. aku mau kasih info bahwa minggu depan cerita Glow akan tidak update dulu karena satu dua hal, pokoknya berkaitan dengan kelanjutan cerita ini (ya betul aku pengin menyegarkan ide dulu biar bisa melanjutkan cerita ini kembali)

See u dua minggu lagi!


"Terkadang ketika ada pilihan di hidup kita hanya akan membuat kita kebingungan akibat tidak tahu harus memilih yang mana. Tetapi disaat tak pernah ada pilihan dalam hidup kita, kita kembali bingung. Apa benar hidup dijalani penuh dengan paksaan karena tidak diperbolehkan untuk memilih?"

5 Tahun Lalu.

"Bisa?"

Siang itu Lentera baru selesai pelajaran olahraga, dengan seragam yang lepek dan rambut lengket. Cowok itu memilih kembali ke kelas alih-alih kantin karena di mengejar ibadah Zuhur dengan mengganti atasan olahraganya dengan seragam putih, lantas berjalan bersama beberapa cowok dari kelasnya yang memilih salat terlebih dahulu dibandingkan makan nasi goreng kantin yang tengah promo 15 rebu dapat 2 dengan topping bebas.

Lentera yang tengah membuka kaus kaki pun menoleh saat Yoyo bertanya. "Bisa apanya?"

"Terrr," kini Marko geregetan. Teman sebangkunya itu sebetulnya hanya menemani Tera yang ibadah di masjid karena dia malas makan nasi goreng promo bayar 15 ribu untuk sendirian. Dia butuh Lentera sebagai pasangannya dan Tera pasrah saja diajak beli makanan diskonan.

"Gue ngajak futsal, Ter," Yoyo lantas berdiri dan mengajak Lentera ke area wudhu. Meninggalkan Marko yang sudah duduk sambil bermain ponsel demi mengisi kegabutannya menunggu Lentera selesai salat.

Sedang Lentera tersenyum canggung. "Minggu, ya? Gue ikut kelas tambahan.."

"Abis kelas tambahan, Tera," Adnan ikutan menyahut. Mengenal Marko di kelas yang satu tipe dengan Wira, cowok itu jadi dapat berbaur dengan cowok di kelasnya akibat Marko yang kadang suka mengajak Lentera bergabung dalam kumpulan anak cowok yang topik pembicaraannya tidak jauh dari games ataupun bola.

"Bukannya kelas tambahan tuh nggak wajib, ya? Apalagi yang diwajibin tuh buat anak kelas 12," ucap Yoyo setengah heran. Kelas tambahan yang dimaksud Lentera adalah persiapan ujian nasional dengan memberi pendalaman materi di materi-materi yang sekiranya muncul saat ujian. Kelas tersebut sesungguhnya hanya difokuskan pada kelas 12, tetapi tahun lalun sistem itu berubah dengan membuka kelas untuk anak kelas 10 maupun 11. Hal ini yang membuat Lentera perlu masuk ke SMA Bina Nusantara, sekolah yang menerapkan kegiatan belajar lebih ketat dibandingkan siapapun.

Meskipun tak banyak yang menyadarinya. Namun sistem belajar sekolah ini bisa dibilang gila bagi mereka korban eksploitasi orangtua mereka—salah satunya adalah Lentera. Sepuluh siswa kelas 10 yang mengikuti kelas tambahan MIPA 2 kali dalam sebulan, tepatnya di tiap hari Minggu.

"Gue didaftarin," ucap cowok itu singkat.

Baik Yoyo dan Adnan saling lirik, paham bahwa Lentera sebetulnya malas membahas hal yang membuatnya tidak pernah nyaman. Cowok paling pendiam dan pintar di kelasnya itu memang tipe orang yang tidak mudah bercerita pada orang-orang yang baru dikenalnya. Terutama Yoyo, Adnan, maupun Marko baru mengenal Lentera saat SMA selama 1 bulan. Sehingga tidak mudah mereka tahu apa yang Lentera alami selain kegiatan les yang hampir tiap hari serta orangtua yang begitu strict.

Pernah Adnan beralasan mengajak Lentera kerja kelompok dan rela mengobrol dengan Ibu Lentera selama 15 menit untuk diizinkan tidak mengikuti kelas privat di rumahnya. Tetapi baru saja kerja kelompok selama 1 jam dan ingin lanjut bermain PS, Lentera dibombardir oleh panggilan telepon Ibunya yang sangat mengganggu. Adnan serta Lea dan Fika yang jadi terganggu, sehingga kegiatan kerja kelompok Biologi itu benar-benar selesai.

GlowWhere stories live. Discover now