17. Hidup dengan Masa Lalu

46 8 3
                                    

"Rasanya sudah terlalu jauh aku berlari tanpa berhenti untuk menarik napas. Sedangkan di belakang sana, semua orang berjalan biasa saja sambil menikmati kehidupan mereka. Tetapi apa kehidupan ku? Apa yang harus aku nikmati selain rasa sakit yang membuat ku semakin buruk."

4 Tahun Lalu.

Rasanya semua semakin melelahkan, memuakkan. Kegiatan yang hanya itu-itu saja, hingga suara yang semakin membuat cowok itu tersiksa. Hidup itu rasanya semakin tidak berguna, tetapi sayangnya baterai yang hampir abis itu terus dipaksa bekerja walaupun mereka tahu kinerja yang dihasilkan sudah tidak maksimal lagi. Lentera yang merasa hidupnya semakin melelahkan dan penuh penyiksaan itu mengela napas jengkel, melempar buku-buku di depannya dan berteriak. Meraung seperti kesetanan di tengah ruang kelas yang semula padam akibat tugas merangkum dari guru Sejarah Wajib yang kini kebingungan melihat seorang siswa yang tidak dapat dikontrol.

Terpaksa kelas berhenti sejenak, semua siswa 11 IPA 1 terlihat panik menatap teman sekelasnya itu terus meraung sembari merobek-robek kertas di sekitarnya atau melempar apapun yang ada di dekatnya. Sampai akhirnya ketika salah seorang siswa memberikan pukulan pada sosok Lentera yang terus meraung, cowok itu terbangun dalam keadaan tubuh penuh keringat dan ruang kamar yang berantakan. Di luar sana terdengar gaungan azan Subuh dan cowok itu sadar bahwa dia baru saja mimpi buruk.

Aneh sekali, semuanya terasa nyata sampai-sampai dia takut untuk membayangkannya lagi. Lentera keluar dari kamar dan bersitatap dengan Zidan yang sepertinya berdiri terlalu lama di depan kamarnya sembari memeluk guling erat.

"Kak, muka," bocah 12 tahun menunjuk dagu Lentera yang baru terasa perih ketika Zidan mengomentarinya.

Sedangkan remaja itu meringis, menyentuh lapisan darah kering di dahinya. Begitu pula jari tangannya yang menunjukkan sedikit bekas darah. Kali ini Lentera merasa pening dan mual.

"Kak, gapapa?"

Cowok itu melirik Adiknya tajam. "Gue bilang panggil gue Abang," sahut si lelaki remaja yang kini mendengkus keras. "Lo bisa nggak, sih, jangan masang muka sedih gitu? Gue nggak merasa kasihan sama lo. Jadi minggir!" Lentera mendorong tubuh kecil di depannya, tidak perduli ketika Zidan meringis saat sikutnya mengenai lantai dan Kakaknya terus berjalan tanpa mengidahkan panggilan lirih Zidan.

Di dalam kamar mandi yang tidak luas, setelah menyalakan air di bathup, Lentera duduk bersandar pada pintu putih gading itu. Dia merunduk, menarik tiap helai rambutnya kuat-kuat sembari menahan suara-suara berisik yang kembali mengganggu. Suara Bi Ima seakan tak dapat membuat cowok itu sadar sampai akhirnya dia tidak merasakan apa-apa lagi selain lantai kamar mandi yang dingin.

"Lo siapa?" dia bertanya pada ruang kosong itu, kamar mandi yang hanya ada dirinya beserta bathup yang airnya mulai penuh. "Gue kenapa, sih?" ia menutup wajahnya, menangis dalam diam sebelum berdiri tiba-tiba dan berjalan ke arah bathup seakan tidak pernah ada yang terjadi.

"Bentar. Gue mau ambil wudhu, bukan mandi," ia berkata, keluar dari bathup dalam keadaan basah dan berjalan ke arah keran kemudian memutarnya. Air mulai mengalir, dan Lentera hanyut pada kegiatan wudhunya dan keluar dari kamar mandi dalam keadaann baju yang sudah basah menetes. Di depannya ada Mama yang berdiri syok dan Bi Ima yang tampak khawatir.

"Tera?"

Lelaki itu memasang wajah datar. "Gue nggak apa, apa. Minggir," ia berjalan melewati dua orang itu, tidak perduli jika Bi Ima memanggil untuk memberikan handuk agar lelaki itu tidak demam. Tetapi remaja berumur 16 tahun tak mengidahkannya dengan masuk ke dalam kamar lalu menguncinya dari dalam.

GlowWhere stories live. Discover now