6. Lelah yang Tidak Kunjung Habis

57 10 9
                                    

"Hanya satu detik dari sekian banyak menit yang ku habiskan untuk hari yang berat ini. Satu detik berharga itu, ku gunakan untuk bernapas. Karena entah mengapa, semakin bergeraknya waktu, bernapas pun menjadi sesuatu yang mahal untuk kita dapatkan."

6 Tahun Lalu.

Sepulang sekolah, Tera langsung ditarik oleh Wira ke ruang musik dan didudukkan di balik keyboard selagi sahabatnya itu menyetel senar gitar. Lentera terkekeh, mulai menekan-tekan tuts dan menyenandungkan beberapa lirik dari lagu yang akan mereka nyanyikan untuk pentas, lalu menoleh cepat saat pintu dibuka dengan kasar oleh Jodi dan Arnia. Kedua orang itu langsung mengambil posisi duduk di tengah ruangan dengan Arnia membuka selembar kertas dengan banyak tulisan, serta Jodi yang tampak memperhatikan penjelasan dari gadis itu.

Wira yang penasaran pun meletakkan gitarnya kembali sebelum ikut bergabung. Sedangkan Tera tetap duduk di balik keyboard sembari curi dengar pembicaraan anggota ekskulnya tersebut.

"Ada perubahan peraturan soal lagu. Harusnya tiap grup dapat tampil selama 8 menit, tapi sekarang jadi 6,5 menit doang. Mana udah mepet gini," Arnia melirik Tera sekilas, lalu mengela napas. "Terus Tera juga nggak bisa diajak latihan lama, kan? Jadwal les padet banget udah kayak metromini kalo sore."

Lentera menggigit bibir bawahnya, merasa tidak enak dan ingin balas perkataan Arnia dengan permohonan maafnya. Namun suara Jodi membuat cowok itu diam dan kembali memerhatikan.

"Jangan semuanya salah Tera, dong. Dia juga gabung, kan, atas ajakan Wira," cowok itu tersenyum tipis pada Tera untuk menenangkan temannya itu. Tetapi Lentera hanya memerhatikan dengan wajah tak banyak ekspresi. Layaknya robot yang segala aktivitas dan raut wajah telah diatur, Lentera tetap diam dengan pandangan fokus dan raut wajah datar namun dua jarinya yang masih sesekali menekan tuts untuk membayangkan suara yang akan cowok itu tampilkan nanti.

"Terus gimana?? Jodii, ini udah mepet tinggal dua minggu lagi! Mana cukup kalo ganti lagu, kan?"

Arnia sebagai asisten ekskul musik terlihat kesulitan dengan raut wajah semakin kusut. Gadis berambut sebahu itu kembali mengela napas lalu berdiri dengan membawa kertas berisi rundown fix dari panitia pentas seni sekolah dua minggu lagi. "Pokoknya nanti Bu Yuli dateng dan gue harap kalian semua kudu full team!" gadis itu menatap Lentera skeptis. "Lo, Tera. Awas kalo balik!" ia memperingati sebelum benar-benar keluar dari ruang ekskul disusul kedatangan anggota ekskul musik lain yang sejak tadi tidak berani masuk akibat mendengar omelan Arnia.

Wira mengela napas, sedangkan Jodi kini mengedikkan bahu dan keluar ruangan setelah izin ingin ke kantin.

"Gue bisa izin, Wirr. Santai," Lentera menangkan sahabatnya itu. Merasa tidak enak hati karena bagaimana pun, keputusannya bergabung sebagai anggota ekskul musik menjadikannya perlu bertanggung jawab. Papa tidak pernah mengajarkan Lentera untuk mengabaikan tugas dan membuatnya lalai dari tanggung jawab. Maka dari itu, tidak peduli guru les nya akan lapor ke Mama soal izin Lentera sore ini. Cowok berumur hampir 15 tahun itu sudah memutuskan.

Bahwa dia tidak mau meninggalkan tanggung jawabnya. Meskipun sebetulnya, Lentera sedang merasa lelah soal kehidupannya yang berputar pada belajar dan belajar. Sejak dulu, musik bagaikan hiburan menyenangkan yang selalu mampu menarik kelelahan Lentera dan membuangnya jauh-jauh.

Cowok itu tersenyum kecil saat wajah Wira masih protes soal keputusannya. "It's okay, Wir. Mama gue udah izinin, kok."

"Serius?" Wira tampak senang karena seumur hidupnya mengenal Tera, lelaki itu sulit sekali mendapatkan izin untuk bermain walau sekadar pergi ke warnet atau beli mie ayam di mall dekat sekolah.

GlowTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon