8. Mimpi Adalah Sebuah Ilusi

58 9 10
                                    

"Katanya mimpi itu bebas dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Tetapi sayangnya gue bukan si siapa saja. Gue adalah robot yang hidup dengan mesin yang telah diatur. Robot tidak pernah punya mimpi."

6 Tahun Lalu.

Pagi itu Lentera terbangun di tengah kasur yang dipenuhi kertas-kertas not yang sudah koyak. Lelaki itu duduk termenung, meratapi not musik yang seharusnya tinggal setengah jalan lagi sebelum ia rangkum dan menjadi lagu dengan melodi santai. Tera mengambil satu per satu potongan kertas yang bertebaran di kasurnya, mengumpulkan semuanya di atas meja belajar lalu mulai dia susun dengan menyatukannya kembali menggunakan solasi bening yang selalu tersedia di laci meja belajarnya. Selain suka menghancurkan barang yang berhubungan dengan musik seperti alat pemutar musik yang sekarang Lentera simpan di dalam almari, Papa juga suka merobek note berisi lagu buatannya. Pria paro baya itu memang tidak pernah suka apa pun yang berhubungan dengan musik, dan Lentera tidak dapat melawan Papanya meskipun cowok itu menginginkannya.

Pukul 6 pagi, Lentera baru selesai mandi dan sekarang terburu-buru berpakaian dan tidak berminat ikut sarapan. Lelaki itu akan semakin telat meskipun harum nasi goreng buatan Bi Tuti cukup membuat perutnya bergemuruh, lelaki itu tetap pada pendiriannya untuk tidak sarapan dan lebih memilih segera masuk ke dalam mobil.

"Tuan, Tuan, tunggu dulu," Bi Mimi tertatih membawakan kotak makan berisi nasi goreng yang telah disiapkan majikannya, mendatangi Lentera yang masih setengah sadar dari kesedihannya akibat note musik yang koyak. "Ini buat sarapan di jalan, Tuan. Nyonya bilang, biar Tuan Tera nggak kena maagh," ucap wanita paro baya itu.

Lentera tersenyum tipis. "Makasih, Bi," lantas dia menutup pintu mobilnya lalu Pak Deni pun mulai menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah Lentera yang bisa dibilang paling luas di antara rumah-rumah lain di kompleks.

Dengan setengah malas, Lentera mulai menyuapi satu per satu nasi goreng yang sungguh paling enak di antara nasi goreng mall yang sering Lentera makan jika sedang pergi bersama keluarganya. Tera cukup jarang beli nasi goreng gerobak, padahal Wira dan Jodi suka menggodanya soal nasi goreng di daerah Pancoran yang terkenal enak dengan toping suwir ayam hingga sosis dan baksonya yang banyak. Bahkan mereka bisa request sepedas apa nasi gorengnya.

Sungguh, Lentera ingin hidup layaknya burung gereja yang bebas terbang ke mana pun. Lelaki itu bosan terkurung di dalam sangkar besi dan dilepas sebentar lalu dipanggil kembali untuk segera masuk di tengah kebanyakan orang masih dapat bermain riang ke sana ke mari.

Mobil toyota itu berhenti di depan gerbang sekolah yang diramaikan oleh murid-murid yang datang mendekati bel masuk. Lentera segera turun setelah berpamitan pada Pak Deni, melangkah dengan santai dan meninggalkan nasi goreng yang hanya dapat dia makan 3 suap akibat nafsu makannya yang pagi ini bisa dibilang surut. Cowok itu baru berbelok menuju tangga, sebelum tangan Wira merangkulnya ringan dan merapatkan tubuhnya pada tubuh lelaki itu yang sedikit lebih tinggi darinya.

Sahabatnya itu tersenyum lebar, menyapa. "Pagi, Ter. Tumben dateng jam segini," dia setengah heran, lantas bertanya. "Pasti mikirin si Fika, ya?" sekarang Wira meledek.

Lentera mendorong wajah Wira yang menyebalkan untuk menjauh seraya mendengkus. "Bukan, Wir. Cuma belajar doang semalem," balasnya cukup santai. Padahal kata belajar bagi Sawira Dendis itu cukup asing dan bikin otak pening.

Maka Wira menggeleng heran. "Gila," katanya. "Lo emang temen gue paling keren dan paling ambis se dunia, Ter," sekarang cowok itu mencerocos lebai.

Tera tertawa ringan. "Apaan, deh. Emang temen lo ada berapa, sih?"

"Banyak, bro. Kalau kata matematika sih, tidak terhingga."

GlowOnde histórias criam vida. Descubra agora