19. Mati Rasa

51 8 2
                                    

"Merindukan sesuatu yang bahkan tidak kamu ingat, jelas lebih menyakitkan dibandingkan merindukan seseorang yang kamu ingat betul wajahnya. Aku, dengan segala kesibukan yang aku alami, merindukan sesuatu, atau seseorang, atau apapun yang membuat ku sadar bahwa sedih dan senang adalah dua hal yang wajar kita rasakan di tiap kejadian hidup kita."

4 Tahun Lalu.

Awal kelas 12 yang umumnya akan santai tetapi lelaki itu langsung diberi daftar berbagai kelas tambahan yang dapat diikuti sehabis pulang sekolah. Mereka juga langsung dibagi per mata pelajaran minat yang akan diambil untuk ujian nasional, sehingga pelajaran mereka untuk ujian nasional tersebut akan jauh lebih banyak dibandingkan jam pelajaran umum atau yang tidak diambil saat ujian nasional. Cowok itu melirik Marko, teman sebangkunya yang sudah menginjak 2 tahun lebih, kembali duduk di sampingnya dengan rambut ikal yang sudah acak-acakan dan bola mata bulatnya yang sayu.

Kehidupan kelas 12 di sekolahnya sangat berbeda, atau memang Tera saja yang mulai merasa asing pada kehidupannya sendiri? Entahlah. Dia bahkan sudah jarang berkomunikasi dengan teman-temannya, cowok itu kadang hanya menanggapi Marko sekadarnya atau tersenyum kaku saat Adnan atau Yoyo memanggilnya. Ketika bertemu Wira maupun Jodi pun, lelaki itu hanya dapat membalas dengan raut wajah datar dan senyuman tipisnya sebelum pergi begitu saja sehingga sekarang Tera disebut manusia berhati batu. Tidak ada yang mencoba untuk mendekatinya lagi, atau sebetulnya mereka hanya dapat memandang lelaki itu dari jauh akibat tidak mau membuat Lentera mengamuk jika kegiatan belajarnya diganggu.

Di tengah kesibukan siswa yang sedang menonton demo ekskul, Tera duduk di salah satu kursi perpustakaan dan mulai belajar. Nilanya turun cukup jauh, dan peringkatnya bahkan ada di urutan ke delapan paralel sehingga Papa marah besar dua minggu lalu ketika mulai liburan kenaikan kelas.

Seumur hidupnya, Lentera baru menyadari bahwa dia memang tidak pernah pintar. Dia hanya sedang mencoba dan mencoba sampai akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Setidaknya.., sampai semua orang bilang bahwa dia terlalu menyedihkan untuk hidup.

Atau setidaknya hanya dia yang merasa demikian, dia yang merasa diasingkan. Dia yang merasa tidak berguna.

"Bodoh!"

"Cuma kayak gini, loh?"

"Gak bisa?"

"Kamu memang bisanya apa, sih?"

"Diam!" Tera berteriak, menatap sekeliling perpustakaan yang hanya diisi oleh Bu Tati yang melotot padanya sebelum kembali merapihkan buku. Remaja lelaki itu mengacak rambutnya yang tampak kusut, lantas kembali pada LKS-nya sebelum suara perempuan yang tidak asing membuatnya menoleh.

Dia adalah Rafika, gadis yang dia cintai tapi juga dia benci setengah mati. Entahlah, sampai saat ini dia masih dendam pada perempuan itu karena mengambil haknya. Kenapa Fika harus mendapatkan itu padahal selama ini hanya Tera yang mendapatkannya?

"Karena kamu itu anak bodoh!"

"Heuhh, berisik," desis Tera, membuat Fika menaikkan alisnya seraya menarik kursi sebelum perempuan yang rambutnya dipotong sebahu itu duduk.

Dia tersenyum. "Maaf, ya. Gue sebenarnya cuma mau ngasih ini," gadis itu mendorong selembar kertas berisi pilihan mata pelajaran untuk nantinya ujian nasional tahun depan. "Tadi wali kelas kita, Pak Suki yang ngasih. Lo gue cariin, kata Marko biasanya ke perpus, jadi gue samperin aja sekalian baca novel," kata gadis itu seakan-akan Lentera bertanya.

Padahal pria itu tidak pernah mau tau.

Atau setidaknya dia mau sedikit mengetahui tentang perempuan itu, tentang alasan kenapa Rafika terlalu baik untuk dirinya yang sangat menyedihkan. Tentang alasan kenapa harus Rafika yang harus dia kalahkan pada ujian terakhir ini.

GlowWhere stories live. Discover now