2.1 | Awal Baru

Começar do início
                                    

Di rumah Gahar, Tanzil dan yang lain tengah berkumpul. Seperti biasa mereka.selalu menghabiskan waktu untuk sekedar berkumpul jika tidak ada jadwal bersama Devz.

"Zil, kapan-kapan ajak adik lo kesini dong." Boy  menggoyang-goyangkan lengan Tanzil yang tengah duduk bermain ponsel. "Gue nggak punya adik."

"Ciko! Ayolah Zil!" rayunya lagi.

Tanzil menggeleng tanda tak setuju. "Nggak!"

Boy langsung merebut ponsel Tanzil itu, dan mencari kontak Ciko untuk bisa di hubungi. Sungguh, ia sangat ingin bermain bersama anak itu.

"Hallo!"

"Bang Tanzil?! Wah mimpi apa Ciko semalam sampe-sampe di telfon Bang Tanzil!"

Boy tertawa mendengarnya. "Gue Boy. Kesini lo, di rumah Gahar. Cepetan, nanti gue kasih lolipop."

Setelah mengatakan itu Boy mematikan telepon secara sepihak. Lalu mengembalikannya pada sang pemilik, yang dibalas tatapan tajam oleh Tanzil.

"Zil," Varez tiba-tiba datang dari arah luar rumah, wajahnya terlihat panik menyiratkan sesuatu yang tak baik.

Tanzil menaruh hpnya di atas meja, menghampiri temannya itu karna penasaran. Tidak biasanya Varez bereksperi se-serius itu.

"Bo---"

Bugh!

Bugh!

Belum sempat Varez menyelesaikan ucapannya, Tama sudah datang dan langsung melayangkan bogeman mentahnya pada sang pirtra. Tanzil yang memang posisinya tidak siap, membuatnya jatuh tersungkur ke lantai.

"Saya sudah peringatkan padamu, ingat batasan kamu Tanzil Bagaskara!" wajah Tama terlihat memerah, tanda sang empunya tengah di penuhi amarah.

Tanzil bangkit. "Apa-apaan sih Pa?!" tanyanya tak terima. Tama mengabaikan pertanyaan putranya, ia menarik kerah baju Tanzil dan kembali memukul rahang cowok itu.

"Stop Tam! Stop!" Vino menengahi, segera menahan Tama saat pria itu hendak kembali memukul Tanzil.

"Kalian semua bawa Tanzil pergi dari sini."

Gahar, Boy dan Varez menurut. Mereka membawa Tanzil masuk ke dalam kamar Gahar. Jujur saja, ini kali pertama mereka melihat Tama semarah itu. Bahkan tidak pernah, Tama sosok pendiam yang mereka kenal.

"Zil? Lo salah apa anjir?! Kenapa bokap lo sampe se marah itu?!" Boy bertanya meminta penjelasan.

Tanzil menyeka darah yang keluar dari sisi kiri bibirnya. "Pantai." hanya kata itu yang Tanzil ucapkan, lalu kembali ke luar dan menghampiri sang ayah.

"Jangan pulang kamu malam ini!" sarkas Tama saat melihat Tanzil yang berdiri di depan dirinya. "Pa, Tanz---"

"Diam! Saya muak dengan tingkah kamu! Saya benar-benar tidak habis pikir, dengan jalan otakmu itu!" sela Tama.

Tanzil diam menuruti ucapan Tama, ia tahu jika melawan Tama sekarang bukanlah hal baik. Tama masih dibawah kendali emosi, dan kehancuran lah yang akan terjadi jika Tanzil melawan.

"Zil, pergi dulu. Jangan disini," Vino memberi saran. "Uncle, Tanz--" Vino menggeleng memberi Tanzil isyarat.

"SELAMAT SIANG ABANG-ABANG CIKO YANG TAMPANNNN!"

Ciko terdiam saat yang ia lihat adalah Tama dan Vino dengan wajah tak bersahabatnya, dan Tanzil dengan wajah babak belurnya.

"Kalian abis lawan maling?" tanyanya polos.

Vino menggeleng frustasi, ia mendekat ke arah Ciko dan menarik cowok itu untuk ikut bersamanya.

***

Satu minggu setelah kejadian pantai, Rora memang belum terlihat seperti biasanya. Gadis itu masih menyiratkan kesedihan, apalagi semalam Altas sudah kembali terbang ke luar negeri.

TANZIRAOnde histórias criam vida. Descubra agora