Menurut pengamatan Arsya mengenai sikap-sikap Divia selama ini, Arsya selalu mewaspadai satu sikap Divia yang menggelayut di lengannya, Karena sudah pasti Divia akan meminta hal aneh padanya.

" Pa... Bantu Divia pa." Bisik Divia pelan.

" Apa?" Tanya Arsya mengangkat sebelah alisnya.

" Papa kurung bunda di kamar gih." Usul Divia.

" Supaya Divia bebas dan Papa juga bisa mesra-mesraan di kamar." Lanjut Divia sepelan mungkin agar Alenza tidak mendengarkannya.

" Hm." Deham Arsya pelan.

Arsya menghampiri tempat duduk Alenza yang masih asik memakan buah Kedondong dengan penuh kenikmatan.

" Mas mau?" Tawar Alenza saat Arsya duduk di sampingnya sembari mengusap surai indah milik Alenza.

" Sudah makan berapa hm." Tanya Arsya mengalihkan tawaran Alenza.

" Emm.... Baru 7 ini mas." Ucap Alenza sembari memperlihatkan buah kedondong di tangannya.

" Sudah ya makannya." Ujar Arsya menyingkirkan beberapa buah kedondong yang belum tersentuh oleh Alenza .

Sontak Alenza melototkan kedua matanya dengan raut protes dan ketidakrelaan nya.

" Masss...." Isak tangis Alenza.

Divia dan Arsya dibuat kelimpungan dengan Alenza yang tiba-tiba menangis, tentu saja bukan sifat Alenza yang mudah sekali menangis.

" Bunda kok jadi cengeng!!" Seru Divia dengan polos.

Tatapan  Arsya sontak tertuju pada kepolosan mulut Divia yang tidak tahu kondisi. Sedangkan Arsya masih berusaha menenangkan Alenza.

" Kamu boleh makan lagi buah nya tapi nanti oke." Nego Arsya.

Alenza mengusap air matanya yang berderai sembari memberhentikan tangisannya.

" Gak mau buah kedondong lagi."

"Terus? bunda maunya apa?" tanya  Divia dengan wajah Cengo.

" Rumah sakit." Celetuk Alenza saat raut wajah menangisnya kini diganti dengan raut wajah meringis menahan sesuatu yang sangat perih di bagian perutnya saat ini.

"Oemjii!!!! Jangankan Rumah sakit bun, satu pulau pun Papa sanggup beli kalau bunda yang minta." Ujar Divia dengan gamblang.

" Bukan beli Div, tapi aku mau ke Rumah Sakit." Ujar Alenza membenarkan maksudnya.

"Ngapain ke rumah sakit bun? Siapa yang sakit?" Tanya Divia terheran.

" Kamu sakit?" Tanya Arsya cepat sembari memfokuskan tatapannya ke arah Alenza.

" Perut Alenza sakit mas." Ringis Alenza pelan sembari menggenggam jemari besar Arsya.

Hal itu membuat Arsya dengan sigap menggendong tubuh Alenza untuk membawanya segera ke Rumah Sakit karena kekhawatirannya. Bahkan Divia masih terdiam di tempatnya karena terkejut dengan tindakan spontan Arsya, saat ingin menyusul tetapi mobil sudah melaju terlebih dahulu meninggalkan kepanikan Divia mengenai kondisi sahabat dan Ibu barunya.

My Friend Is My MamaWhere stories live. Discover now