29b. PENGORBANAN JOY

627 71 23
                                    

Pemilik motor berteriak minta tolong. Tak ayal Leander dikejar warga sekitar. Menggeber motor sampai batas kecepatan maksimum, mencari celah sempit di permukiman padat penduduk, bersenggolan dengan warga sekitar dan pedagang, untuk sementara Leander berhasil meloloskan diri dari pengejarnya.

Samuel jelas tidak akan tinggal diam jika istrinya kabur begitu saja dari pengawasannya. Tersangka utama dalam penyerangan Joy hanya dia.

Begitu sampai di apartemen, Leander langsung menuju tower unit Joy. Lorong di lantai itu begitu lengang. Semua pintu tertutup. Jam khayalan di kepala Leander berdetak, seakan dia berpacu dengan waktu yang semakin menipis.

Leander sangat hafal letak unit Joy. Dia berlari secepat mungkin untuk menggapainya. Begitu sampai, Leander mendorong. Akan tetapi tidak bergeming, seakan ada benda berat yang menahannya dari dalam.

Leander membenturkan badannya, berharap dapat mendobrak. Setelah mencoba beberapa kali, barulah pintu itu terbuka sedikit.

Suara ribut-ribut terdengar. Ada pekikan, lalu benda jatuh, lalu makian. Leander mendorong terus sampai buffet yang mengganjal pintu bergeser.

Joy dikeroyok tiga orang laki-laki. Satu, yang berambut cepak, menyerang dari belakang, Joy memiting tangannya ke depan lalu menjatuhkannya melalui kepala. Erangan pendek membahana, tetapi pria itu berhasil bangkit.

Laki-laki berjaket hijau yang menyamar sebagai pengemudi ojek, mengarahkan kepalan tangan ke dagu Joy. Berhasil menunduk untuk menghindar, Joy berdiri lalu mengarahkan tendangan ke wajah lawannya hingga terjajar.

Leander menyerbu laki-laki berambut gondrong. Dia mengeluarkan sepucuk pistol Glock 17 dari balik jaket, mengarahkan kepada Joy. Leander menendang tangannya hingga senjata laras pendek itu terpental.

"Joy, di belakangmu!" seru Leander sambil menghajar perut si rambut cepak.

"Thanks, Le!"

Joy menekuk tangannya hingga sikutnya menusuk leher si jaket hijau sampai terjatuh. Joy menindihnya di lantai, mengunci leher lawan dengan lengan bawah dan atas membentuk segitiga.

Sepertinya lawan mulai kehabisan napas merasa tercekik, tetapi si jaket hijau membantunya, menarik Joy lalu menyeretnya ke tembok.

Leander maju, mencoba menggapai pistol, tetapi si Jaket hijau menendangnya ke arah rambut cepak. Leander menggeram marah ketika si rambut cepak berhasil mengambil pistol dengan telapak tangannya.

Leander hendak merebutnya, akan tetapi si rambut cepak menembakkan satu peluru ke atas, begitu menggelegar hingga semuanya berhenti bergerak.

"Berhenti," kata si rambut cepak. Dia sangat muda. Usianya awal 20-an. Perawakannya langsing, tapi berotot. Dia mengarahkan moncong Glock kepada Joy. Keringat mengalir di wajahnya yang merah padam. Dia berkata, "telepon Liliana sekarang dan suruh dia ke sini."

"Bilang pada Samuel, jangan ganggu Liliana," sembur Joy murka.

Si rambut cepak mendekati Leander yang tidak dapat bergerak karena tertahan si jaket hijau di dinding.

"Kamu lebih suka pacarmu mati," ancam si rambut cepak.

Joy dan Leander saling bertatapan. Sama-sama berpikir bagaimana cara meloloskan diri tanpa menyeret Liliana. Monster seperti Samuel tidak berhak mendapatkan istri yang hanya akan dirusak. Joy meneguhkan hati untuk bertahan.

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

Joy mengingat ayat dari Injil Yohanes. Lebih baik mati daripada mengkhianati sahabat. Leander, meskipun tidak sereligius Joy, meyakini hal yang sama. Pantang baginya menikam sahabat demi keselamatan sendiri. Dia dididik untuk melindungi rekan, bukan menyerahkan pada musuh.

Joy berhitung, jarak si rambut cepak lebih dekat darinya daripada dari Leander. Si rambut cepak mengangguk, menyadari Joy tidak akan memenuhi permintaannya. Maka dia menarik pelatuk.

Joy berlari. Hanya sepersekian detik menamengi Leander. Senjata itu meledak, memuntahkan peluru yang menembus punggung Joy. Kejadiannya begitu cepat. Joy jatuh di hadapan Leander dengan luka menganga.

Para penyerang lari tunggang langgang dari tempat kejadian. Berhamburan kabur menuju lift.

Leander mendekap Joy, menekan lukanya yang terasa basah.

"Joy, bernapaslah, tapi jangan bergerak."

Leander merogoh sakunya mengambil ponsel. Dia menelepon ambulans dengan satu tangan.

"Aku memang nggak bisa bergerak," bisik Joy. Air matanya menetes.

Di telepon, Leander menyebutkan nama apartemen, lantai dan unit Joy.

"Tunggu sebentar lagi bantuan akan datang," kata Leander, memeluk Joy, menekan lukanya dengan kedua tangan.

"Thanks sudah datang, Le," bisik Joy.

"Kenapa kamu melakukan itu?" Leander menggertakkan rahang.

"Aku lebih suka mati daripada melihat kematian. Lagipula aku nggak punya apa-apa yang menahanku di dunia."

Leander tidak dapat berkata apa-apa, hanya mengeratkan dekapannya. Bukankah dia membenci wanita ini, lalu kenapa harus panik melihatnya meregang nyawa? Seharusnya Leander senang karena tidak perlu membunuhnya dengan tangannya sendiri. Anggap saja impas. Nyawa almarhum Serka Imam dibayar nyawa Joy.

"Kenapa kamu tidak serahkan Liliana agar mereka bawa?"

"Aku nggak bisa gitu, Le. Apa kamu pikir aku bakal hidup tenang kalau ada orang mati padahal aku tahu bisa melindunginya?"

Jantung Leander serasa berhenti berdetak. Berarti, Joy tidak pernah sengaja mengorbankan Serka Imam, atau mungkin dulu dia merasa bersalah sehingga kini bertobat?

"Leander, peluk aku. Dingin," pinta Joy dengan suara melemah.

Air mata Leander jatuh. Dia melingkarkan lengannya agar Joy merasa hangat. Namun wanita itu tetap menggigil. Darahnya terkuras banyak membasahi telapak tangan Leander.

"Leander, kamu tahu nggak? Kamu ganteng banget kalau lagi berantem."

Kelopak mata Joy menutup perlahan. Leander berteriak dalam tangisan.

🔫🔫🔫

Hello Sexy Readers,

Gimana nasib Joy?

Baca kelanjutan The J8 di Karyakarsa atau tunggu kelanjutannya di Wattpad dengan sabar yaaaa.

Love,

💋 Bella - WidiSyah 💋

The J8Where stories live. Discover now