28b. SERANGAN

439 75 7
                                    

Pancuran air dari shower terdengar dari kamar mandi. Joy sedikit tenang berada bersama Liliana di sini. Keamanan apartemennya bagus. Belum pernbah ada peristiwa seperti kemalingan. Satpam dilatih oleh POLRI langsung. Selain baris berbaris juga dibekali ilmu bela diri. Para satpam tidak punya izin menembak, teapi mereka terbiasa berkoordinasi dengan handy talkie. Setiap tower ada dua orang satpam yang berjaga bergantian. Pihak pengelelola punya akses langsung ke Polres jika ada yang mencurigakan. Joy membayar mahal untuk semuanya. Tidak masalah selama hasilnya sepadan.

Joy mengeklik aplikasi transportasi dan pengantaran langganannya. Si hijau yang baru saja merger dengan market place andalan Indonesia. Banyak sekali pilihan di sana. Joy sedikit bingung. Perutnya tidak lapar-lapar amat. Sebenarnya bukan makanan yang dia butuhkan, tetapi yang lain. Joy menggelengkan kepala. Kenapa harus ingat Leander lagi?

Sebelum pergi tadi mereka berciuman. Cara Leander berpamitan pun sungguh tak terlupakan. Sorot matanya yang biasanya tak terbaca itu kini menampakkan sedikit sinyal yang memancing Joy untuk menebak. Leander begitu misterius. Menakutkan juga menggoda.

Sadar sepenuhnya apa yang dia lakukan salah, Joy bertekad menghentikan segala jenis kontak fisik yang dia sendiri tidak yakin apakah dapat melakukannya. Sentuhan Leander begitu pas dengan tubuhnya. Salahnya sendiri, seharusnya Joy tidak memanjakan perasaan dengan berarut-larut.

Baiklah, lebih bagus jika dia mengisi perut. Siapa tahu makanan akan menyuplai energi untuk membantunya melupakan.

“Chinese food atau American food ya?” gumam Joy bingung sendiri saat menggulir layar.

Tanya Liliana saja kalau begitu. Joy melangkah menuju kamar mandi. Mengetuk pintunya dengan keras.

“Lil, lo mau makan Chinese food atau Amrik?”

Suara air berhenti. Liliana memutar keran. “Terserah lo. Gue ngikut saja.”

Bertanya pada Liliana tidak menyelesaikan masalah. Dia terlalu pasif dan terbiasa diatur Samuel sampai menentukan menu makanan saja tidak becus. Joy menahan sumpah serapah gemas. Kebiasaan Liliana tidak pernah berubah. Selalu saja menyerahkan nasib pada orang-orang yang sekiranya dapat menjamin hidupnya.

“Jangan terserah dong, Rosalinda. Gue juga bingung.”

Cukup di kantor saja Joy dipaksa memutuskan banyak hal. Kalau untuk urusan makan bersama teman, dia maunya ikut saja. Berpikir kan capek juga.

“Gue tamu, terserah nyonya rumah saja,” balas Liliana lalu kembali menyalakan shower.

Joy mendecak sebal. Dering telepon menghentikan pengembaraan jemarinya. Nomor tidak dikenal. Paling juga sales bank menawarkan kartu kredit. Joy punya dua kartu kredit dari bank lokal dan internasional. Maka dia menekan ikon merah, menolak panggilan.

Kembali asyik memilih-milih restoran, tetapi orang yang menghubunginya pantang menyerah. Kening Joy mengernyit saat melihat nama Liliana. Jadi sahabatnya meninggalkan ponsel. Kalau begitu yang menelepon pastilah….

“Kenapa, Sam?”

[Aku sudah di lantai bawah apartemenmu. Bawa Liliana turun.]

“Atau?” Joy menjawab dengan nada menantang.

[Saya tidak mau menyakiti perempuan.]

“Berhenti bersikap sok baik, Sam. Aku mengobati luka-luka Liliana. Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan ke dia? Kenapa kamu nggak ceraikan dia saja? Bukankah kamu sudah mendapatkan perusahaan orang tuanya? Mau sampai kapan kamu siksa dia?”

Samuel terdiam di seberang. Joy hanya dapat menebak suami sahabatnya mulai murka. Selama ini Joy menahan diri untuk tidak mencampuri kehirupan perkawinan Liliana. Joy menyesal terlalu sibuk sampai melupakan sahabatnya. Seharusnya dulu dia sering menjenguk Liliana di rumah Samuel, memastikan keadaannya baik-baik saja. Liliana sudah terlepas dari cengkeraman suaminya yang gila itu. Joy tidak akan melepasnya dengan mudah.

[Saya ingatkan, saya masih suaminya. Saya berhak atas Liliana. Jadi, sekali lagi saya minta baik-baik, serahkan istri saya. Saya ada di bawah.]

“Aku hanya akan mengantarkan Liliana bertemu kamu di pengadilan untuk bercerai. Selain itu, jangan harap.”

[Apa kamu pikir karena ayahmu adalah Felix Wiyono maka aku tidak berani bersikap tegas?]

“Apa karena kamu menyandang nama Lunggono maka kamu pikir bisa menyiksa orang sesukamu?” Joy membalas dengan menusuk. Tidak perlu berlama-lama bicara dengan Samuel. Joy memutus sambungan percakapannya.

“Siapa, Joy?” Liliana muncul sambil mengeringkan rambut. Tulang pipinya menonjol sehingga Liliana tampak bagaikan tulang berbalut kuit.

“Biasa, sales panci.”

“Sekarang cari uang susah ya sampai sales panci nelepon segala.” Liliana menjemur handuk di jemuran.

“Dari dulu juga susah deh. Kalau gampang, duit gue udah ngalahin Elon Musk,” jawab Joy asal sambil kembali memggulir layar ponsel. “Bantuin gue nyari menu dong. Gue bingung mau makan apa.”

Kepala Liliana menyembul dari sisi kanan, dari lengan Joy, melihat apa yang Joy kerjakan. “Kenapa kita nggak coba makan di bawah aja? Banyak resto kan tadi gue lihat.”

“Jangan!” cegah Joy buru-buru. Samuel menunggu di bawah. Sama saja menyerahkan diri ke mulut singa kalau begitu. “Udahlah di sini aja. Gue mager turun.”

Liiana menurut saja. Pada dasarnya dia memang orang yang tidak banyak tingkah. Cepat setuju dengan pemikiran orang lain. “Ya sudah, ini aja enak,” Liliana menunjuk sate ayam dan lontong.

“Masa cuma ini? Nggak kenyang, cuma nyelip di gigi aja. Yang lain dong.”

“Pesan burger deh, sama kentang juga oke.”

Joy senang Liliana mau buka suara untuk mengungkapkan keinginannya. Kalau mengingat nada bicara Samuel yang memaksa, terbayang betapa sulit menjalani kehidupan Liliana yang harus terus patuh.

“Oke, gue mau pesan yang kejunya banyak ah.” Joy mengeklik double beef burger. Setelah melakukan aktivitas bersama Leander dia jadi kelaparan.

“Pesannya banyak amat,” komentar Liliana.

“Kan biar sekalian sama makan siang dan malam. Gue belum sarapan lho. Nanti tinggal dipanasin di microwave.”

Joy memilih menu yang dia mau lalu memasukkan nama apartemennya. Tinggal tunggu, sebentar lagi akan sampai. Dia suka aplikasi ini. Benar-benar mempermudah hidup.

“Lo nggak pesan dessert kan?” tanya Liliana.

“Nggak, Lil. Gue mengurangi makanan manis. Gara-gara Juan sih yang rajin banget kirim WA gaya hidup sehat.”

“Iya, lo udah dapet asupan yang manis kan?” Liliana tersenyum lembut tetapi kilatan matanya jail luar biasa.

Mata Joy memicing dengan tatapan membunuh. Tentu saja dia tahu siapa yang Liiana maksud. Daripada meladeni ledekan Liliana yang bersemangat, Joy menyalakan televisi ukuran teaternya lalu menonton Netflix. Liliana bergabung bersama.

“Lo harus makan yang banyak. Gue nggak mau dituduh menelantarkan anak orang,” Joy mewanti-wanti.

“Gue jelek ya, Joy?” tanya Liliana tiba-tiba minder.

“Kok jelek? Gue nggak bilang gitu.”

“Udah jelek, kurus, mandul lagi.” Liliana tersenyum getir.

“Ya ampun, jangan bilang gitu.” Joy memeluk Liliana. Mereka menonton series musikal sampai bel pintu unitnya ditekan.

Joy beringsut dari sofa, mengambil dompet dan membuka pintu. Bukan hanya saru orang pengantar makanan yang menunggu. Ada dua orang lagi sehingga totalnya ada tiga. Bukankah biasanya pengantar makanan hanya satu orang? Joy mencium ada sesuatu yang tidak beres. Dia segera mencekal kerah baju laki-laki itu. Mereka memberikan perlawanan.

“Liliana, lari!” teriak Joy.

🔫 🔫 🔫

Hello Sexy Readers,

Saya mau up 2 chapter hari ini. Tapi untuk publish bab berikutnya, tunggu bab 1 sampai bab yang ini masing-masing mencapai 200 vote.

Buat yang nggak sabar nunggu, silakan ke Karyakarsa yaaa...

Love,

💋 Bella - WidiSyah 💋


The J8Where stories live. Discover now