5b. PENYERANGAN SERKA IMAM

294 57 6
                                    

Enam Tahun yang Lalu, Tiga Hari Yang Lalu

Serka Imam keluar dari markas setelah mendapat tugas mengintai gerombolan separatis Kalimantan (GSK). Berdasarkan informasi yang didapatkan dari intel, orang penting GSK bertemu dengan pemasok senjata di Ritzo Café Yogyakarta. Jauh dari Kalimantan agar kesepakatan mereka tidak terendus.

Serka Imam memesan bir yang dari tadi hanya membasahi bibirnya, tetapi tidak sampai ditelan. Dia tidak boleh mabuk-mabukan agar kesadarannya tetap terjaga. Alunan lagu dari Tulus yang tidak terlalu keras, memungkinkan untuk mendengarkan percakapan penuh kata sandi.

Dua orang pria bermata sipit bertemu dua orang pria berwajah melayu. Senjata rakitan mereka ganti namanya menjadi duku Palembang. Granat mereka ganti namanya menjadi timun suri. Sekilas, orang awam yang tidak memahami akan menyangka mereka adalah pebisnis yang membahas ekspor-impor buah-buahan.

Serka Imam mengenakan pakaian sebagaimana pengunjung lain. Kaus dilapis jas semi formal, dan celana panjang. Sangat mirip eksekutif muda yang patah hati ditinggal kawin sang kekasih lalu mencari pelarian dengan cara minum-minum. Penampilannya tidak mencurigakan sama sekali. Dia mengantongi pena yang berfungsi sebagai perekam. Semua informasi telah masuk.

Para pria bermata sipit dan pria Melayu akhirnya selesai. Mereka tertawa tanda kesepakatan yang menguntungkan terjalin. Mereka membayar minuman lalu hengkang dari mejanya.

"Dua merpati dan dua gelatik sudah terbang," ucap Serka Imam melapor pada rekannya melalui ponsel khusus.

Rekan yang menerima laporannya bersiap mengikuti target.

[Elang siap mengejar.]

Misi Serka Imam telah terlaksana. Dia keluar dari Ritzo Café saat jarum jam menunjukkan pukul satu dinihari.

Sayup-sayup terdengar suara wanita berteriak, "Tolong!"

Tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Serka Imam batal mengendarai motornya, tetapi mencari asal suara. Bagian belakang café adalah tanah kosong. Semak belukar belum dibersihkan. Suara minta tolong semakin jelas. Kali ini disertai suara orang terjatuh.

Meskipun pencahayaan cenderung remang-remang, Serka Imam memastikan seorang wanita berambut sebahu dikeroyok delapan orang laki-laki.

"Aurea Joy Wiyono, nama yang bagus untuk diukir di batu nisan," kata seorang laki-laki diikuti tawa mengejek.

"Sayang sekali kalau langsung dihabisi. Lebih baik kita ajak main dulu," sambar suara laki-laki lain tak kalah menjijikkan.

"Jahanam!" Kali ini suara wanita yang berteriak murka.

Di tempat persembunyiannya, Serka Imam mengawasi enam orang pria merangsek mendekati si wanita. Biadab sekali. Tentu Serka Imam tidak dapat tinggal diam. Bukannya bersikap sok pahlawan, tetapi dia tidak mungkin membiarkan seorang gadis dijadikan santapan hyena kelaparan.

Serka Imam mencabut bayonet dari pinggang, mengarahkan ke para penyerang yang kaget akan kehadirannya. "Mbak, pergi saja dari sini, biar ini jadi urusan saya."

"Tapi, Pak...."

"Cepat, Mbak. Jangan buang-buang waktu." Serka Imam tidak menunggu persetujuan si gadis. Dia langsung menyerang salah satu pria dengan bayonetnya, melukai lengannya hingga tersungkur.

Tidak terima temannya dilukai, ketujuh orang lain yang tersisa menyerang Serka Imam secara membabi buta. Si gadis, Aurea Joy Wiyono, mundur dari arena pertarungan, mengambil ponselnya yang terselip di saku celana panjang.

"Brian, tolong ke Ritzo Café. Bawa personel sebanyak mungkin. Saya diserang."

Bertepatan dengan selesainya instruksi Joy, terdengarlah jerit kesakitan Serka Imam. Perutnya tertusuk pisau. Darah segar merembes membasahi kausnya. Joy mendatangi Serka Imam, melepaskan jas semi formalnya untuk membelitkan ke tubuhnya.

[Ibu Joy cepat pergi dari situ. Kami akan segera ke sana.]

"Ada yang terluka. Penyerang saya sudah pergi, justru orang yang menolong saya yang ditusuk."

[Ibu pergi saja. Kita tidak tahu dia siapa. Belum tentu niatnya baik.]

"Dia orang baik, orang yang menolong saya."

[Cepat pergi, Bu. Kami yang akan urus. Tinggalkan saja]

Serka Imam terbaring di rerumputan. Darah terus mengucur dari luka yang menganga.

"Bapak ini siapa?" tanya Joy dengan suara masih terdengar oleh Brian.

Serka Imam tidak menjawab. Dia tidak mungkin membocorkan siapa dirinya karena terlalu berbahaya. Dia belum tahu siapa wanita ini.

[Ibu Joy, cepat pergi. Mungkin dia salah satu dari mereka.]

Sesungguhnya Joy tidak ingin meninggalkan Serka Imam dalam keadaan kritis, tetapi keselamatannya lebih penting.

"Maaf, saya harus pergi." Joy meninggalkan Serka Imam begitu saja.

The J8Where stories live. Discover now