Zahin bisa merasakan tangannya di genggam lebih erat oleh Robin. Dia tertegun, ternyata ada sisi lain dari manusia yang menjabat sebagai pacaranya.

Mata Hazel sudah berkaca-kaca, ia berjalan mendekat. "Kamu lebih milih gadis itu daripada Mama? kamu lebih milih gadis yang baru kamu tau beberapa bulan daripada Mama yang udah besarin kamu?"

Robin menggigit bibir bawahnya. Mungkin memang sekarang waktunya untuk Robin speak up, jika tidak sekarang maka tidak akan pernah. Jika tidak sekarang maka Zahin akan terlepas, seperti Minah.

"Besarin? Mama kapan besarin aku? bukannya Mama hanya biayain, terus aku bisa Mama atur sesuka hati?" tanyanya menohok.

Robin menghela nafas panjang, pundaknya bahkan sampai naik turun. Dia kembali menatap Hazel yang terdiam.

"Jujur, aku bahagia saat Mama pulang. Tapi aku juga takut akan ada sesuatu yang Mama renggut atau Mama paksakan masuk ke kehidupan aku."

"Terkahir kali Mama kesini, Mama pecat Bunah-"

"Jangan panggil pembantu dengan sebutan ibu!" sergah Hazel dengan tegas.

Mamanya masih sama. Robin manggut-manggut saja, tidak asing juga dengan kata-kata itu. Ia menyesal karena dulu tak bisa menjadi perisai untuk Minah, padahal perempuan paruh baya itu selalu menjadi temeng bahkan pedang untuknya.

"Kenapa Mama repot-repot memperebutkan hak asuh kalo aku aja nggak pernah di asuh?!" nada bicara Robin sudah tidak sehalus tadi.

"Kenapa Mama nggak biarin aku sama Papa aja? kalau bukan Bunah-"

"Jangan-"

"Bunah! Bunah! Bunah!" tegas Robin dengan mata yang sudah memerah. "Aku akan terus panggil dia ibu. Bagi aku dia ibu aku, dia ajarin aku jalan, ajarin aku bicara. Terus Mama dimana? Waktu yang Bunah luangin buat aku bahkan lebih banyak daripada waktu yang dia luangin buat anaknya. Tapi Mama... " Robin tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Hazel berdecak, berjalan mendekati anaknya. "Dia lakuin itu karena di bayar! dia juga kerja buat anaknya. Dia lebih milih rawat kamu karena di bayar daripada rawat anak kandungnya. Terus apa bedanya sama Mama?!"

Mulut Robin tertutup rapat, ia tak terpikirkan sampai sana. Apa dia terlalu egois jika meminta ibu orang lain menjadi ibunya?

"Jangan sama kan ibu sama Nyonya. Ibu beda, ibu selalu luangin waktu buat aku, ibu selalu pulang ke rumah walaupun udah tengah malam. Setiap hari ibu selalu berusaha buat ketemu aku."

Zahin akhirnya ikut bicara karena membawa-bawa ibunya. Tadinya ia ingin terus diam karena ini masalah Hazel dan Robin, bahkan seharusnya ia tidak di sini jika Robin tidak mencegahnya.

Anak laki-laki itu menatap Mamanya sebentar, Hazel menggeleng-entah apa maksudnya. Robin merubah arah pandangannya ke samping, memegang pelipisnya yang mulai terasa berdenyut.

Ternyata Minah lebih hebat lagi, dia bisa memposisikan pekerjaan rumah dan pekerjaan di luar rumah dengan baik. Namun Mamanya yang tidak tau apa-apa, membandingkan dirinya dengannya.

Kedua tangan Robin memegang kepalanya, melihat ke atas. Tidak membiarkan setetes air mata jatuh di kedua pipinya. Dia berteriak keras, ingin meluapkan emosi yang campur aduk.

Hazel memegang kedua pundak putranya. Tatapannya sendu bertemu dengan tatapan kosong. "Robin, kamu kenapa?"

Robin yang Hazel kenal tidak pernah menolaknya, tidak pernah berbicara lebih keras daripada dirinya. Anaknya selalu menurut, karena tau yang dia pilih adalah untuk yang terbaik.

Tapi semenjak kepergiannya dengan Zahin yang bahkan tidak sampai sehari telah merubahnya seratus delapan puluh derajat. Robin yang tertunduk hormat, telah berani menegakkan kepalanya, telah berani berkata tidak, bahkan membantahnya.

Robin menyunggingkan senyum kecil. "Aku memang begini, aku selalu ingin bilang semua ini ke Mama tapi aku nggak bisa. Bukan karena nggak berani tapi karena Bunah yang minta aku buat patuh sama Mama."

Robin mundur beberapa langkah membuat kedua tangan Hazel yang memegang pundaknya terlepas. "Karena Mama orang yang lahirin aku. Tapi Bunah yang didik aku. Mama hanya sebatas nyelahirin, tapi nggak ngebesarin."

Robin menatap Hazel dari bawah ke atas, hal yang jarang dilakukan karena biasanya ia hanya melihat ke bawah.

"Mama hanya ngatur mana yang menurut mama baik padahal belum tentu baik buat aku. Sekolah, cita-cita, teman, pasangan hidup, hobi, cara berpakaian, bahkan warna kesukaan aku juga diatur." Ia menjeda kalimatnya. "Aku suka warna hitam, bukan putih. Kenapa Mama selalu bilang aku suka warna putih? biar sama kaya Mama? buat apa Ma? di mata Mama aku ini apa?" suara Robin sampai serak.

"Apa aku dilahirakan cuma dipamerkan? Aku dilahirkan buat jadi penerus perusahaan? Perusahaan lebih penting daripada aku? waktu yang Mama habiskan buat besarin perusahaan juga lebih banyak daripada besa-nemui aku."

Hazel tak sanggup lagi memupuk air matanya. Sungai kecil langsung terbentuk di kedua sisi pipinya. Dia memeluk Robin, ia benar-benar sudah tidak bisa berkata apa-apa. Hanya suara tangis keras yang bisa ia lakukan.

Sedangkan Robin mencoba mengontrol nafasnya yang tidak teratur, melihat ke samping dimana Zahin berada. Gadis itu tersenyum, lalu membuat sebuah lingkaran-mengode Robin untuk membalas pelukan Hazel.

Laki-laki itu menurut, menaruh kepalanya di pundak sang Mama. Melingkarkan kedua tangannya di tubuh Hazel, menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali. Ada rasa lega di dalam tubuhnya, seolah-olah dasi yang selalu mencekik lehernya telah dilonggarkan.

Zahin menghela nafas lega, ia kembali tersenyum melihat pemandangan yang jarang, ralat bukan jarang lagi tetapi memang tak pernah dilihatnya.

Gadis itu berjalan mendekati Robin, sekilas mengacak rambut kekasihnya. Robin yang sadar langsung menegakkan kepalanya, dan Zahin langsung membentuk finger heart di bawah matanya.

Robin menahan tawanya dengan menggigit bibir bawahnya, Robin tau ini pasti karena Mesa dan dunia Korea-nya.

Zahin berubah finger heart menjadi sebuah lambaian, ia ingin memberikan ruang antara anak dan ibu yang telah melewati masalah beratnya. Semoga saja terus seperti ini, saling mengerti bukan hanya ingin dimengerti.

Sayangnya Robin kembali menghentikan langkahnya. Dia mencekal tangan Zahin. Dan satu tangannya kembali menepuk-nepuk pelan pundak Mamanya.

Zahin mencoba melepaskan genggaman tangan Robin tapi justru semakin erat. Dia bahkan berniat menggigit tangannya tapi takut Robin menjerit dan merusak momen ibu dan anak.

"Maaf... " kata Hazel pelan setelah tangisannya mereda.

Hazel menegakkan kepalanya, sedikit terkejut saat tangan Robin dan Zahin kembali bertautan. Ia masih belum terbiasa dengan pemandangan ini.

Hazel kembali memegang kedua pundak putranya. "Mama nggak tau kalo kamu setertekan ini, Mama kira kamu nurut karena kamu setuju. Kamu nggak nolak karena kamu terima."

Hazel menangkup sebelah pipinya. "Mama akan luangin waktu buat kamu. Hari ini Mama batalin semua pertemuan."

"Kalo penting nggak perlu dibatalin Ma," sergah Robin. Ia tak mau menjadi beban untuk Mamanya, dia ingin waktu bukan berarti harus 24 jam. Laki-laki itu menghapus kedua air mata di pipi Hazel secara bergantian.

"Kamu lebih penting."

Robin tersenyum begitu pula Hazel, bahkan Zahin ikut tersenyum. Di jadi ingin bertemu dengan ibunya, terakhir kali hubungannya juga tidak baik-baik saja gara-gara perdebatan tentang penyakit Minah.

"Mulai sekarang kamu bisa ambil keputusan yang menurut kamu benar."

Robin seketika melirik Zahin, Hazel langsung menganggukinya.

***

Capek bangat nulis part ini
Lupa update soalnya nggak diingetin ayang:v

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now