5. Inikah Dosen?

469 12 54
                                    

Buku berisi puluhan soal langsung ditaruh di meja secara perlahan. Dia tidak mau membangunkan dosen yang memiliki jabatan penting di kampus. Kalau mendapatkan masalah dengan Pak Roni, maka riwayatnya di kampus ini akan segera lenyap.

"NGAPAIN KAMU DI SINI?"

Suara itu menggelegar. Memenuhi ruangan yang berukuran kecil ini dan membuat Arasya menjadi tersentak. Gadis itu menoleh sambil tersenyum hangat. Namun, dirinya tertegun kaget ketika melihat mata Pak Roni yang memerah.

"Kenapa kamu gak ketuk pintu dulu? Hah? Gak punya sopan santun, ya?" lanjut sang dosen dalam keadaan setengah sadar.

"Waw, ada primadona di sini," goda Pak Roni sambil berdiri tegap, masih dengan mata memerah.

"Pak? Mata Bapak kok merah banget, ya?" tanya Arasya dengan nada tegas, tapi sopan.

"Saya habis tidur, Cantik!" balas Pak Roni asal-asalan.

"Kalau Bapak cuma tidur, kenapa matanya semerah itu? Lagian, kenapa kemeja Bapak acak-acakan kayak gitu?"

Tidak mungkin Pak Roni hanya tidur karena pakaiannya pun terlihat sudah acak-acakan. Beberapa kancing tidak masuk pada lubang yang seharusnya. Rambut sudah tidak rapi seperti semula. Arasya menjadi panik dan kedua tangannya langsung dingin.

"Ah, kamu jangan kepo! Mana tugas kamu?" ucap Pak Roni sambil duduk kembali.

Gadis itu perlahan maju mendekati meja, masih dalam keadaan tangan terasa dingin bagaikan sedang di kutub selatan. Rasa takut membuat kakinya ikut bergetar.

Tatapan dosennya sulit ditebak dan terlihat cukup ganas kalau melihat gadis cantik. Bahkan, Arsya melihat Pak Roni meneguk liurnya sendiri ketika melihat tubuh Arasya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Semua tugas sudah saya selesaikan, Pak. Mohon diterima. Oh, ya, mau izin dulu keluar, ada urusan mendadak," ungkap Arasya.

"Ssstt! Jangan banyak bicara, Cantik!" pinta Pak Roni dengan nada centil, "kalau berisik lagi, saya cium nanti."

Memang siapa yang tidak panik saat dosennya sendiri mengucapkan kalimat seperti itu? Kalau boleh jujur, Arasya ingin segera kabur dari ruangan berbau rokok tersebut. Namun, tugas-tugasnya belum diperiksa sama sekali.

Ketika sedang menunduk lesu, Arasya malah tidak sengaja menemukan cangkang obat keras. Gadis itu segera meraihnya, kemudian mengamati dengan seksama.

"Ini cangkang apa, Pak?" tanya Arasya dengan ekspresi sok polos, padahal dia mengetahui semua hal tentang obat-obatan karena Ibunya adalah seorang Apoteker.

"Cuma obat tidur!" balas Pak Roni dengan ekspresi panik.

Meski kaki kanannya sedang cidera, Pak Roni memaksakan diri untuk berdiri tegap, kemudian merampas cangkang obat keras itu dari Arasya.

"Ibu saya adalah Apoteker, Pak. Saya tahu kalo obat ini adalah-"

"Cuma obat tidur aja, Cantik."

"Ini adalah obat keras yang berfungsi sebagai penenang, Pak. Orang yang sudah memakannya pasti akan mengalami gejala seperti teler dan matanya akan sedikit memerah."

"SAYA BILANG CUMA OBAT TIDUR! UDAH, JANGAN NGOMONG!" pekik Pak Roni dengan tatapan brutal.

Tangan kanan Pak Roni menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Suara dentuman kencang membuat Arasya tersentak kaget. Wajah dosennya sungguh menyeramkan. Kumis yang menghitam membuat gadis tersebut semakin merinding.

Arasya menoleh ke kanan-kiri. Tidak ada siapa pun di sini. Ruangan ini memang khusus untuk Pak Roni. Namun, setelah mendapatkan ruangan tersebut, Pak Roni seenaknya merokok dan mengerjai setiap Mahasiswa.

Gadis itu menyesal karena tidak membawa kedua temannya. Habibi dan juga Alvarios pasti akan melindungi Arasya dengan sekuat tenaga. Masalahnya, Arasya lupa bahwa HP-nya sudah mati karena baterainya habis.

"Kamu tahu gak kalo kepala saya itu lagi pusing! Jangan menambah emosi dalam hati saya! DENGAR?" teriak Pak Roni.

"Baik, Pak!" balas Arasya dengan nada gemetar.

Arasya menatap sang dosen dengan perasaan campur aduk. Marah, takut, sekaligus merinding. Bau rokok yang menyengat membuatnya menjadi semakin tidak nyaman.

Dosen berkumis tebal ini memegangi kepalanya sendiri, kemudian melirik wajah Arasya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gadis cantik itu masih tidak bisa pergi karena masih belum mengetahui nilai dari Pak Roni.

"Kamu mau nilai?" tanya Pak Roni dengan nada lebih tenang.

Arasya mengangguk. "Apa yang harus saya bantu supaya dapat nilai, Pak?"

Tangan kanan Bapak Roni mendadak menarik pergelangan tangan Arasya. Gadis ini tidak memberontak karena ketakutan sekaligus syok. Matanya sampai melotot karena tidak percaya terhadap kejadian ini, kejadian yang mengancam keselamatannya.

"Saya itu Dosen, jangan main-main sama saya!" perintah Pak Roni sambil menaruh tangan lembut Arasya pada kening botaknya.

"Bapak mau saya ngapain? Saya mau keluar aja deh, Pak. Tadi ada temen yang udah tungguin saya," balasnya dengan ekspresi panik.

"Lebih penting teman atau nilai?" tawar Pak Roni dengan senyum sinis, "pijat kening saya dulu kalau mau dapat nilai! Pijat yang lama dengan tangan lembut kamu, Arasya!"

"Ya Rob," gumam Arasya dengan suara pelan.

Mau tidak mau, Arasya pun memijat kening dosennya sesuai perintah. Dia tidak bisa menolak karena tatapan Pak Roni seperti memberi ancaman.

Dosen ini bisa membuatnya gagal lulus di semester ini gara-gara tidak mau memijat. Sungguh alasan yang konyol! Arasya harus bersabar. Dia tidak mau nilainya terancam.

"Tangannya lembut banget, Sya. Jarang bantu Mama di rumah, ya?" tanya Pak Roni dan Arasya hanya terdiam, "haha ... Bapak Roni emang ganteng, tapi kamu jangan grogi gitu kalau sama Bapak!"

Arasya masih enggan menjawab. Dia merasa mual kalau mencium aroma rokok terlalu lama. Meskipun Bapak Roni tidak mengisap rokok, baunya tetap tercium menyengat.

Gadis ini berusaha keras untuk tidak mual maupun muntah, tetapi Arasya tidak bisa bertahan lama di ruangan ini. "Pak, saya mau pulang! Badan saya lagi kurang vit," ucapnya dengan tangan dingin.

Setelah sepuluh menit berlalu, tangan Arasya sudah tidak kuat memijat lagi. Pak Roni membiarkan Arasya pergi. Gadis cantik ini menjauhi meja dosen dengan tangan serta kaki gemetar.

Saat di dekat pintu, Arasya melihat Pak Roni sedang tersenyum meledek. Sepertinya Pak Roni puas mengerjai serta memenuhi hasratnya untuk bisa berdua dengan gadis cantik dalam satu ruangan selama beberapa menit.

Brak!

Tanpa basa-basi lagi, Arasya langsung menggebrak pintu, kemudian kabur menuju kantin. Dia masih melihat Habibi dan Alvarios sedang tertawa riang. Wajah kedua temannya sungguh ceria. Arasya menyeka air mata di pipinya dan berpura-pura tersenyum lebar saat menghampiri meja Alvarios dan juga Habibi.

"Aman?" tanya Alvarios saat Arasya sudah duduk di sampingnya.

"Aman apanya?" tanya Arasya dengan nada lirih.

"Mata lo sembab, pasti ada sesuatu. Lo menyembunyikan apa dari kita berdua?" Alvarios kembali meminum kopi pesanannya.

Arasya menggeleng pelan. "Gak, gapapa!"

"Hey, jangan kayak gitu, Ukhty! Mau cerita atau enggak, kita pasti tetap tahu penyebab ente menangis," ujar Habibi, "Pak Roni udah ngelakuin apa sama ente? Kenapa ente diam aja?"

"Gue cuma kesandung terus nyungsep di ruangan Pak Roni," canda Arasya. Sudah jelas kalau dia sudah bohong.

"Hahaha ... kalo jalan, jangan lupa istigfar supaya nggak kesandung kodam sendiri," sela Habibi.

"Kalo kenapa-kenapa, jangan sungkan untuk lapor ke gue! Awas aja kalau ada yang sakiti anak Harlubis!" gertak Alvarios dengan ekspresi berani.

"Kalau perlu, ane keluarkan jurus naga pasir supaya orang lain enggak mengganggu ente, ukhty!" sambung Habibi dengan cengkok arab yang khas.

"Ha, ha, kalian mah bawel!" balas Arasya dengan begitu santai, "udah, cepat habiskan makanan kalian! Kita mau masuk sebentar lagi."

SKANDAL KAMPUS. (TAMAT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें