31.

1K 103 14
                                    

"Langit tak akan pernah memeluk bumi."














































































Nadia menunggu di depan Gereja sedangkan Danendra sudah masuk sejak 1 jam lalu, gadis itu hanya duduk diam di depan Gereja sesekali melirik ke belakang tapi pintu Gereja tertutup.

"Kok nggak masuk Dek?" Nadia mengadah menatap seorang pendeta yang tengah berjalan menghampirinya.

Nadia tersenyum simpul lalu menggelengkan kepalanya. "Maaf, saya hanya menunggu seseorang." ucapnya sembari menatap Pendeta tadi.

"Danendra bukan?" tanya Pendeta tersebut, pertanyaan tadi membuat Nadia membulatkan kedua bola matanya.

"Anda kenal dengan Kak Danendra?" tanyanya pada Pendeta tersebut.

"Pemain musik disini, Ayahnya juga Pendeta, tapi beda Gereja, Danendra sedang mengajar musik." Nadia menggangguk paham dengan senyuman tipis.

Pendeta itupun tersenyum tipis. "Kenapa kamu malah melirik ke Gereja, kamu seorang gadis muslim yang jatuh hati kepada anak Tuhan."

Nadia menggelengkan kepalanya. "Saya juga tidak mengerti kenapa saya jatuh kepadanya? Lebih tepatnya kenapa harus dia? Apa Tuhan ingin meminta saya untuk memilih siapa yang lebih saya cintai?"

Pendeta tersebut menganggukkan kepalanya. "Mungkin Tuhan ingin kamu lebih dekat dengan-Nya mungkin saja Tuhan ingin kamu agar kamu tegak dijalan agama mu, aturan yang sudah ditetapkan sejak dahulu."

"Tapi, saya harus bagaimana?"

"Tegak dijalan ajaran yang agama mu tetapkan, karena semua ajaran agama itu baik dan tidak ada yang menjerumuskan umat-Nya, lebih dekat dengan Tuhan mu maka kamu akan tahu jawabannya, bertanyalah pada-Nya melalui hatimu, ikatan batin antara Tuhan dan Umat-Nya itu sangat dekat."

"Tidak ada yang dapat menghalangi ikatan antara Tuhan dan Umat-Nya, bahkan Tuhan mengampuni dosa yang dibuat oleh Umat-Nya jika mereka kembali dijalan-Nya."

Pendeta tadi lalu tersenyum sebelum melangkahkan kakinya menuju Gereja dengan Nadia yang menatap jalanan di depannya, cepat atau lambat akhir hubungan mereka pasti datang. Mereka hanya mengulur waktu.

Selang  30 menit Danendra keluar dari Gereja lalu menghampiri Nadia yang duduk di salah satu kursi di depan Gereja tersebut. "Maaf ya, kamu jadi nunggu lama."

"Nggak lama kok, nggak apa-apa." Nadia mengadah menatap Danendra yang tersenyum padanya ia membalas senyuman tersebut walau mati-matian menahan air matanya agar tidak menetes.

"Jalan-jalan yuk!" ajak Danendra dengan membawa tas milik Nadia yang awalnya gadis itu letakkan disisi kirinya.

Nadia mengangguk lalu berjalan disisi kanan Danendra dengan laki-laki itu membawa tasnya. "Ke taman yuk Kak tapi, yang ada ayunannya."

Danendra menatap Nadia sambil mengerutkan keningnya memikirkan dimana taman dengan terdapat ayunan. "Ayunan? Di belakang halte bus itu?" Danendra kembali mengingat peristiwa dimana ia dan Jihan bermain hujan-hujanan di taman tersebut.

"Yang mana aja asal ada ayunannya." Danendra mengangguk lalu kembali berjalan beriringan tak ada Danendra yang menggenggam tangan Nadia ataupun Nadia yang menggenggam tangan Danendra.

Mereka berdua tetap bersama entah kanapa? Sampai kapan Tuhan ingin mereka saling berbicara tanpa rasa canggung sedikitpun.

Saat menunggu di halte bus bahkan keduanya tak saling berbicara, Danendra sengaja tidak membawa motornya karena ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Nadia, dan Nadia tidak mempersoalkan hal tersebut.

Setelah bus datang Danendra masuk setelah Nadia masuk membiarkan gadis itu lebih dahulu dan tas Nadia masih dibawa oleh Danendra.

Mereka duduk bersama dengan Nadia yang duduk di dekat jendela. "Nanti pulang makan spaghetti mau?" Danendra yang tak kuat menahan kecanggungan itupun mulai membuka suaranya, ia tak terbiasa melihat Nadia yang lebih diam dari biasanya yang selalu berisik ada saja kalimat random yang keluar dari mulutnya.

Nadia menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 pagi. "Mau, tapi nanti boleh ke pameran seni nggak Kak? Katanya ada pameran seni disekitar UI."

"Ke Depok dong?"

Nadia mengangguk kecil. "Tapi, kalau nggak kesana nggak apa-apa-"

"Yang bilang nggak mau siapa? Kakak 'kan cuman tanya doang, ya udah nanti kita ke sana liat pameran seni." Nadia kembali mengangguk dengan tersenyum tipis.

Ia baru menyadari jika Danendra sejak tadi yang membawa tasnya, apalagi saat ini laki-laki memangku tasnya, tas berwarna biru telur bebek itu, seketika dirinya berkekeh. "Kak Danendra kenapa nggak bilang? Kalau tas aku dibawa kama Kak Danendra."

"Keliatan keberatan kamu tadi, ya udah Kakak bawa." Danendra tertawa pelan dengan menatap Nadia, keduanya sama-sama tertawa bahagia.

"Besok kita masih bisa ngobrol tanpa canggung gini lagi nggak Kak?" tak ada jawaban dari Danendra padahal itu hanya sebuah pertanyaan, satu pertanyaan dalam satu kalimat yang keduanya sama-sama tidak tahu jawabannya.

"Kata Pendeta tadi, aku harus lebih dekat dengan Tuhan, dan katanya kalau seseorang itu dalam kesulitan berarti Tuhan mau dengar kita berkeluh kesah ke Dia, karena Tuhan pengen dengar suara kita."

Danendra memegang kuat tas milik Nadia saat melihat gadis itu mulai memalingkan wajahnya ke jendela tanpa menatapnya. Baru semenit lalu mereka tertawa bersama, memang mereka harus segera menentukan akhir dari cerita ini.

"Kalau besok Kakak nggak bisa ngobrol bareng kamu lagi ataupun Kakak bersikap beda dari biasanya, kamu harus berpikiran kalau itu jalan yang terbaik buat kamu, kamu harus bahagia tanpa tekanan yang Kakak buat."

"Tapi aku ngerasa ini bukan tekanan. Kalau kita emang nggak bisa bersama, kita masih bisa temenan kan Kak? Kita masih bisa ngobrol tanpa canggung kan?"

Danendra menggelengkan kepalanya sembari tersenyum manis. "Nggak bisa Nadia, Kakak nggak akan kuat, nggak ada cowok yang bisa temenan sama cewek yang dia suka."

Nadia menatap nanar Danendra, kedua bola matanya berkaca-kaca. "Kamu pernah dengar opini tentang cowok dan cewek bisa sahabat tanpa rasa, kebanyakan opini itu keluar dari mulut cewek. Mungkin tanpa mereka sadari kalau ada rasa diantara cowok itu."

"Dan Kakak nggak akan bisa jadi teman kamu sampai kapanpun itu. Jalan terbaiknya kita nggak saling bicara untuk ke depannya, kalau hari itu tiba berarti kamu harus bahagia setiap saat, setiap detiknya, dan setiap kamu mengedipkan kedua bola matamu yang indah."

"Hari itu, jangan terlalu cepat datang aku masih belum terbiasa dengan semuanya." Nadia menyeka air matanya yang turun membasahi pipinya tanpa seizinnya yang berusaha menahannya sedari tadi.

Danendra mengelus rambut Nadia perlahan. "Kakak juga nggak tahu kapan hari itu tiba, tapi untuk saat ini Kakak masih ingin di dekat kamu, selalu."

Di luar sana dibalik kaca jendela mulai turun hujan, hujan pertama di bulan Desember ini hal yang selalu dibenci oleh Danendra, ia tak pernah menyukai hujan saat ia melepaskan seseorang, langit ikut bersedih membasahi dunia seakan mewakilkannya untuk menangis.

Tangisan yang saat ini ia tahan, melihat orang yang ia cintai menangis sudah membuatnya membenci seluruh semesta kenapa mereka dipertemukan hanya untuk sebuah tragedi.













Sun and Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang