"Dih, mana bisa."

"Ya udah kasih tauuu!" gemas Zahin sambil menghentak-hentakan kakinya.

"Ga mau."

"Oke! aku mau tanya sama Ben aja!" Zahin sekarang sudah berdiri bahkan sudah mulai berjalan.

Kenapa juga dulu Robin bilang itu penyakit. Harusnya ia tak usah bilang apa-apa. Cringe banget kalo jawab pertanyaan Zahin. Tapi dia juga tak mau jika Ben yang menjawab pertanyaannya, bisa jadi ledekan seumur hidup.

Robin memejamkan matanya. "Oke gue jawab!"

Zahin tersenyum, ia berjalan mundur dengan tangan yang pura-pura menyupir. "Tin tin! Zahin siap mendengar!"

Kini dia sudah duduk silah di depan Robin. Memindahkan dua sisi anak rambut di belakang telinga, menaruh kedua telapak tangan di dagu-sangat siap mendengarkan.

Robin menghela nafas, membuka mulutnya. Lalu menggeleng, menggaruk kepalanya kuat-kuat.

"Buruannn!"

"Geli ngomongnya!"

"Emang ada yang gelitikin mulut Robin? mana coba yang gelitikin? sini aku liat." Zahin sudah memeriksa mulut Robin, tak ada tanda-tanda pengganggu.

"Nggak gitu," Robin menjawab lesu.

"Jadi apa?"

"Ci-aish! gue nggak bisa!"

"Kenapa?"

"Geli bilangnya, mikirnya aja udah risi sendiri!"

Zahin berpikir sejenak, lalu jari telunjuknya muncul. Ia menghirup udara segar bersiap berbicara cepat. "Kalau dalam hitungan ke tiga Robin nggak bilang aku tanya ke Ben. Tiga!"

"Cinta!"

Robin menepuk dahinya, mengutuk bibirnya yang kelewat cakep. Tangannya berpindah ke mulut dan menaboknya beberapa kali.

Zahin manggut-manggut. "Oh."

"Oh?"

"Oh."

"Cuman oh?"

"Iya oh."

"Ck."

"Emang harusnya gimana?"

"Gue ngomongnya susah-susah dan lo cuma jawab oh? oh?"

"Karena aku pikir, penyakitnya parah. Ternyata cuma cinta."

"Cuma cinta?" Robin terheran-heran dengan ucapan Zahin. Dia berdiri, wajahnya memerah hingga ke telinga. "Lo tau nggak banyak orang bunuh diri gara-gara cinta? banyaknya orang nangis gara-gara cinta? banyak orang sakit hati, over thinking, kecewa, bahkan gila gara-gara cinta?"

Zahin mendongak. "Kok marah-marah?"

Robin menghadap ke bawah. "Nggak marah, cuma kesulut emosi!"

"Emosi bisa kesulut?"

"Bisa! bahkan bisa meledak!" Robin melipat kedua tangannya di dada.

"Tuh kan marah lagi."

Zahin berdiri di belakang lelaki pemarah itu, mengambil jas hitam milik Robin dan di taruh di lengannya.

"Robin tau nggak? nggak semua cinta kaya gitu kok. Kadang... ada aja manusia yang nggak tau diri, udah tau cintanya bertepuk sebelah tangan masih aja dikejar ya jatuhnya bukan cinta, tapi sakit hati. Terus nanti nyalahin diri sendiri, benci sama diri sendiri, cari-cari kesalahan diri sendiri."

Zahin berdiri di depan Robin. "Kalo suka perjuangin, kalo nggak pantas di perjuangin tinggalin cari yang lain. Terlalu bodoh kalo mikir dia cuma satu-satunya, padahal manusia ada bermiliar-miliar."

Tangan Robin sudah tidak melipat di dada lagi. Suasana menjadi hening, entah karena perkataan Zahin yang tiba-tiba mengerti dunia perbucinan. Atau karena hal lain.

Zahin juga bingung dengan dirinya, apalagi gara-gara ucapannya atmosfer di tempat ini menjadi canggung, sunyi, senyap.

"Woah... kayaknya aku kemasukan Kunti yang dulunya reporter atau Kunti yang suka ghibah." usahanya tidak berbuah manis, tempat ini masih teramat canggung. Zahin menggigit bibir bawahnya, sepertinya ia salah bicara.

"Pacaran yuk."

Robin menatap Zahin, begitupun sebaliknya. Bibir bawah yang tadinya digigit terlepas dengan sendirinya.

"Yuk!" gadis itu tersenyum. Membuat Robin ikut tersenyum, saat ia akan menggenggam tangan Zahin... ia terpikirkan sesuatu.

"Eum, lo tau arti pacaran kan?"

"Nggak."

Sudah Robin duga.

"Terus ngapain di-iya-in?"

"Nggak di-iya-in tapi di-yuk-in."

"Ya pokoknya itu! kenapa?"

"Karena kamu ngajak," jawab Zahin enteng.

"Jadi kalo gue ngajak nyebur sumur mau?"

Zahin menganggukkan kepalanya beberapa kali, sambil tersenyum pula. "Mau."

"Janganlah!"

"Kenapa? kamu nggak mau ngajak aku liat hantu? katanya di sumur tuh banyak hantu tau! pelit banget sih liat hantu nggak ngajak-ngajak!" gerutu Zahin dengan segala pemikiran konyolnya.

"Bodoamat!"

Robin langsung berjalan terlebih dahulu, kakinya melangkah selebar mungkin.

"Robin tungguin! jadi pacaran tuh apa? bukan kembarannya acar kan? nggak mungkin Robin ngajak jadi acar. Nanti di potong kecil-kecil lagi!"

Zahin berlari sekuat tenaga, hingga sepatunya terlepas. Dia kembali lagi untuk mengambil sepatu milik Robin kemudian mengejarnya.

"Kena!" ujar Zahin saat kedua pundak Robin di pegangnya.

"ROBINNNN PACARAN TUH APA?" tanya Zahin tepat di depan telinga Robin.

Laki-laki itu langsung mengusap-usap telinganya yang hampir berdengung.

"Paacaaraann iituu aapaa, pacaran itu apa, pacaranituapa." Zahin sudah membuat lagu secara spontan.

Nyanyian Zahin terus memasuki pendengaran Robin, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ritual pemanggilan setan!" jawabannya random.

"Oke mauuu, yuk sekarang pacarannn!" Zahin mengangkat satu tangannya layaknya Superman.

Dia menutup kedua telinganya. Lindungilah telinga Robin dari suara-suara aneh Zahin. Robin terus berjalan walaupun di sampingnya terdapat kembaran kuntilanak yang terus menginterogasinya.

"Mulainya kayak gimana? caranya kayak gimana?"

"Nanti hantu yang pertama keluar yang mana?"

"Si lucu tuyul? si cantik Kunti? atau si males jalan suster ngesot?"

"Nggak sabar, nggak sabar, nggak sabar!" Zahin mulai gemas sendiri.

"Ayo mulai pacaran! aku suka pacaran! HANTUU!! ZAHIN DATANG!!"

***
Kamu kuat Bin!
Bisa yok semangat
Penuhin sabarnya
Kalo bisa sampai tumpah

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now