Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?

Start from the beginning
                                    

“Ayah..”

Jason menoleh mendengar suara tak bertenaga itu, kemudian ia tatap manik sayu milik Hanan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Makasih banyak.”

Tidak ada jawaban, Jason malah mengalihkan topik pembicaraan yang membuat Hanan bungkam detik itu juga.
“Cepat sembuh, satu bulan lagi ujian sekolah, ayah ngga terima alasan apapun nanti. Harus di peringkat pertama, kalau masih di peringkat kedua, jangan harap ayah biayai pengobatan kamu lagi.”

Dengan langkah tegas dan cepat Jason melangkah keluar dari kamar sang anak, tak pedulikan Hanan yang kini sedang mati-matian mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan untuknya.

Dan untuk kesekian kalinya air mata jatuh dari pelupuk mata Hanan, pemuda itu semakin menarik selimut sampai sebatas hidung.
“Janji, Yah.. Hanan janji bakalan masuk peringkat pertama demi ayah.”

Hembusan napas panjang dari arah depan sukses menarik atensi Hanan, maniknya menatap eksistensi bi Ama yang baru saja membuka pintu kamar. Wajah yang selalu menampilkan senyuman itu kini terlihat begitu sendu, Hanan tidak tahu apa penyebabnya, tapi yang jelas, melihat bi Ama seperti itu semakin membuat hati nya gelisah.

“Hanan mau bibi buatkan apa?”

Dengan langkah tak bertenaga bi Ama menghampiri Hanan dan langsung mendudukkan bokongnya di tepian kasur.
“Cepat sembuh, ya?”

Satu usapan lembut sukses mendarat di kening Hanan.
“Bibi do'akan semoga Hanan bisa dapat peringkat satu saat ujian nanti.”

Senyuman nampak begitu jelas, Hanan mengangguk kecil tanpa mengucapkan sepatah katapun, sebab entah kenapa rasanya air mata akan segera jatuh jika ia sampai mengeluarkan suara.

“Kalau Hanan mau sembuh, jangan terlalu banyak pikiran, ya? Ingat, ayah itu ingin yang terbaik untuk Hanan, ayah sebenarnya sayang sama Hanan.”

Hening, setelah bi Ama mengucapkan kalimat itu, kedua nya sama-sama bungkam. Hanan masih berusaha mencerna setiap kata yang bi Ama ucapkan, sedangkan bi Ama malah sibuk menatap Hanan dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Bi..”

Seketika fokus bi Ama langsung tertuju pada manik kecokelatan milik Hanan.

“Saya bisa sembuh, kan..” terdengar Hanan terkekeh pelan bersamaan dengan air mata yang perlahan mulai jatuh dari pelupuk mata nya.
“Saya takut, bi..”

Mendengar itu jujur saja mati-matian bi Ama menahan air mata yang mendesak keluar, sampai akhirnya senyuman kembali terlihat di wajah yang sudah dipenuhi beberapa kerutan itu.

“Bisa, dong.. Makanya harus rajin minum obat, dan kalau di rasa ada yang sakit, bilang, jangan di tahan.”

Hanan mengangguk kecil, seperti biasa jika dalam keadaan seperti ini yang ia rindukan adalah Wisnu. Entah kenapa rasanya Hanan benar-benar butuh pelukan saat juga, pelukan yang bisa menenangkan nya, pelukan dari seseorang yang begitu ia sayang.

Dulu setiap Hanan sakit, Wisnu adalah orang paling pertama yang akan menyiapkan obat untuknya, orang yang paling sibuk menyuapinya tanpa Hanan minta, dan orang yang paling enggan untuk meninggalkan nya barang seinci pun. Tapi justru sekarang, semuanya seolah terbalik, Hanan sendirian, begitu pun Wisnu. Tidak ada kehangatan yang menyelimuti kedua nya seperti dulu.

“Bi, malam ini bunda pulang?”

Bi Ama mengangguk kecil, kemudian beranjak dari duduknya.
“Pulang, tadi nyonya bilang lagi di jalan, sebentar lagi juga sampai.” lantas kembali mengusap lembut puncak kepala Hanan, “Bibi keluar, ya? Nanti kalau bunda sudah pulang, bibi bilang sama bunda, ya.”

Tinta Terakhir ✔ Where stories live. Discover now