Robin langsung duduk di tempatnya disertai helaan nafas dan kembali melonggarkan dasinya. Bahkan kancing atas bajunya sudah terbuka.

Hazel sedang sibuk menatap ke depan, melihat orang yang menjadi pembicara. Sedangkan Zina masih sibuk dengan ponselnya.

Robin pura-pura menjatuhkan sendok, dia memasukkan kepalanya ke dalam kain. Melihat Zahin terkejut dan yang hampir membenturkan kepalanya ke meja, untung saja tangan Robin sudah berada di atas kepala Zahin.

"Mau pake sepatu gue aja?"

Sepertinya sepatu kebesaran lebih nyaman daripada alas kaki yang tinggi separuh. Lagipula Zahin pernah memakai sepatu yang kebesaran, dan tidak ada masalah walaupun di kejar-kejar anjing transparan.

"Makasih."

Robin menjawab dengan senyuman. Dia kembali duduk di bangkunya, senyumnya terangkat.

Zahin susah mengganti high heels dengan sepatu Robin. Dia juga sudah selesai membersihkan makanan yang berceceran kemana-mana. Bahkan sampai ke bawah meja.

Zahin berdiri dan akan kembali ke dapur namun Robin menghentikan langkahnya.

"Mau kemana? bersihin ini, itu juga. Terus yang di sebelah sini jangan lupa di sebelah situ," perintah Robin sambil menunjuk makanan yang sengaja di berantakin. Bahkan ada yang dicampur-campur seperti makanan yang keluar dari mulut berbentuk cair sedikit bertekstur.

Hazel menatap anaknya yang akhirnya berbicara. Dia tersenyum karena Robin mau merepoti Zahin. Sebenarnya Hazel tau, banyak yang terjadi antara anak dan perempuan itu. Ia menyewa orang untuk mengikuti Robin, jadi ia tau apa yang dilakukan dan kemana saja anak laki-lakinya pergi. Dan sekarang adalah waktunya mereka sadar tempat, sadar posisi.

Tapi Robin berpikiran berbeda, ia sengaja membuat Zahin sibuk di mejanya agar mudah mengawasinya. Namun Robin tak tau jika ia diikuti seseorang atas perintah Mamanya.

"Mama ke depan," pamit Hazel kepada Robin, sedangkan anaknya membalas dengan anggukan disertai senyuman.

Tepuk tangan terdengar riuh saat Hazel berjalan ke depan. Mama Robin menggunakan gaun panjang berwarna putih, ia memang menyukai warna putih.

Robin sedang sibuk mengerecoki pekerjaan Zahin. Sengaja menumpahkan air supaya Zahin mengelapnya, bahkan membuat Piramida dengan gelas saking gabutnya.

"Hari ini adalah hari yang spesial karena tepat di tempat ini. Pertunangan anak saya dengan Zina resmi dilakukan."

Robin langsung tersedak mendengar pengumuman Mamanya. Zina hanya berdecak pelan, ia sudah tau ini akan terjadi. Sedangkan Zahin tak tau harus bereaksi seperti apa, ia lebih memilih pergi daripada nanti Robin melakukan hal aneh yang membuatnya tetap di sana.

"Robin, Zina," panggil Hazel.

"Lo udah tau?" tanya Robin pada Zina.

"Belum, tapi kagetnya nggak sampai tersedak," sindir Zina.

"Lo nggak keberatan?"

Sebelumnya Zina selalu menolak jika bertunangan dengan dirinya. Jangankan tunangan, pacaran aja menolak keras. Katanya ia bukanlah tipenya. Padahal kalo jodoh mah nggak akan pandang mau se-tipe apa nggak.

"Ck, cuma tunangan doang. Lagian lo juga mau kan?"

"Ngobrolnya nanti lagi, Robin ayo bawa Zina ke sini," perkataan Hazel membuat Robin tak menjawab pertanyaan Zina.

"Ayo maju anak yang selalu nurut sama Mamanya, lo nggak mau buat Tante nunggu lama kan?" tutur Zina membuat Robin terdesak.

"Robin, Zina."

Robin memejamkan matanya, menghela nafas perlahan. Dia berdiri, mengulurkan tangannya di depan Zina.

Gadis itu terkekeh kecil, lalu menerima uluran tangan Robin. Zina mendekatkan wajahnya hingga berada tepat di atas pundak Robin. Tangannya sudah menutupi bibirnya supaya tak ada yang bisa menebak apa yang ia katakan. "Pengecut," bisik Zina yang dilanjutkan dengan mencium pipi Robin.

Orang yang melihatnya berseru heboh, sedangkan Robin tak tau harus bagaimana. Perlakuan dan perkataan Zina terlalu bertolak belakang. Kenapa dia mengatainya pengecut? lalu jika pengecut kenapa dia menciumnya?

Robin berjalan berdampingan dengan Zina, di setiap langkah ia memikirkan apa yang Zina lakukan walaupun masih belum menemukan titik ujungnya.

Dia tak bisa mendengar ada beberapa orang yang salfok karena ia tak memakai sepatu, hanya pakai kaos kaki hitam. Hazel juga tak memperhatikan bagian bawah.

"Kenapa Mama nggak bilang dulu?" tanya Robin pelan supaya orang lain tak dengar.

"Keputusan Mama keputusan kamu juga kan?"

Robin terdiam, ia selalu lemah jika sudah seperti ini. Robin tidak bisa mengungkapkan apa yang dia inginkan jika bersama Hazel, ia hanya bisa menurutinya. Selalu.

"Iya kan?"

"Iya Ma."

Hazel tersenyum senang. "Kalo gitu tangannya."

Robin menyodorkan tangannya di depan Zina, gadis itu langsung memasangkan cincin tanpa beban. Membuat Robin mendelik tak percaya. Keanehan Zahin sepertinya sudah menular ke Zina.

"Gantian taruh cincinnya di jari manis Zina dong, kasian tangannya pegel kelamaan nunggu."

Robin menatap cincin di tangannya, ia juga menatap tangan Zina bahkan wajahnya sedang tersenyum. Dia meng-kode Robin dengan matanya supaya melihat ke bawah.

Laki-laki bermarga Bratabara menuruti perintah Zina, dia menunjukkan jempolnya lalu membaliknya ke bawah. Di saat otaknya bertanya-tanya, ibu jari Zina sudah berganti arah ke sisi timur.

Sekarang ia paham apa maksudnya.

Robin mendekat ke arah Zina, terus mendekat hingga berada di sampingnya lalu melewatinya. Matanya tertuju pada satu gadis yang sedang pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Ia sedang menunduk sambil memindahkan piring ke nampan. Lalu melihat kaki laki-laki tanpa menggunakan sepatu, Zahin mendongakkan kepalanya ke atas. Tepat saat itu, air matanya menetes.

"Kenapa nangis?" tanya Robin.

Zahin tidak menjawab, ia masih menatap Robin sendu. Tak lama kembali menundukkan kepalanya, melihat cincin yang sudah melingkar di jari Robin. Dia kembali memindahkan gelas ke kotak persegi panjang.

Robin memegang lengan Zahin, membuat sang empu menoleh. "Kenapa nangis?"

Zahin memegang dadanya. "Dada aku sakit, sesak," cicit Zahin parau.

"Sama."

Robin menggenggam tangan Zahin, berjalan bersama melewati banyak orang yang berdiam diri.

"Berhenti, tetap di situ!"

"Mama bilang berhenti!"

"ROBIN!"

Teriakan Mamanya sudah tidak mempan lagi. Robin justru semakin memanjakan langkah kakinya.

"Berhenti! atau kamu saya pecat!"

Robin menghentikan langkahnya, melihat Zahin yang ada di sampingnya. Ia teringat perkataan gadis itu di mobil. Dia ingin mengumpulkan uang banyak sampai uang tak menjadi beban.

Ia melepaskan genggaman tangannya. Membuat Hazel tersenyum lega, namun selang beberapa lama Zahin berganti menggenggam tangan Robin.

"Ayo lari! kalo kabur jangan nanggung-nagggung."

Zahin berlari terlebih dahulu, sedangkan Robin berada di belakangnya. Gadis itu lebih berani dari apa yang ia pikirkan. Robin tersenyum sambil menatap tangan mereka Zahin yang menariknya.

Sekarang ia tau kenapa Ibunya berhenti berkerja. Gaji besar tidak selalu membahagiakan, lebih baik gaji kecil dengan bos yang berjiwa besar.

Merea terlihat seperti pengantin yang kabur bersama.

***

Bentar lagi romance
Abis itu konflik(?)
Terus tamat>.<

!!!! SEMANGAT PAS !!!!
bagi yang menjalankan

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now