Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.

Start from the beginning
                                    

Setelah mendengar itu Bian dan Aji sama-sama ikut melamun. Hingga keheningan menyelimuti ketiganya untuk beberapa detik, sampai akhirnya Aji bersuara.

“Kalau abang jadi tukang kebun di rumah orang tua angkatnya sih bisa setiap hari mantau bang Hanan, tapi kan itu ngga mungkin?” terlihat Aji masih sibuk menatap tetesan demi tetesan air dihadapannya.

Mata Wisnu membelalak, tuturan Aji barusan benar-benar memberikan setitik cahaya untuknya.
“Aji... Ide bagus...”

Tapi baru saja Wisnu setuju, tiba-tiba hujan turun semakin deras yang membuat ketiganya terpaksa harus cepat-cepat masuk ke dalam rumah, sebab hujan yang turun kini di sertai angin kencang nan dingin yang langsung menusuk permukaan kulit mereka.

Sedangkan di tempat les, Hanan tidak bisa fokus sama sekali dengan materi yang guru nya sampaikan akibat kepalanya yang kepalang sakit dan tubuhnya yang semakin melemas.

Kebetulan laki-laki paruh baya yang merangkap menjadi guru les itu cepat menyadari kalau ada gelagat aneh dari tubuh Hanan. Pemuda itu menunduk dalam-dalam dengan lipatan tangan yang sengaja di tumpuk di atas meja untuk menjadi bantalannya. Tak jarang juga Hanan terlihat sedang menarik dan menjambaki rambutnya sendiri.

“Hanan? U okay?”

Mendengar namanya dipanggil, Hanan dengan cepat langsung mengangkat kepalanya sembari menampilkan senyuman di bibir pucat pasi nya.

“Hmm.. Cuma pusing sedikit.” balas Hanan singkat sembari sesekali wajahnya terlihat menahan sakit.

Sedangkan guru les bahasa inggris di hadapannya langsung menghampiri dan langsung menyentuh kening Hanan yang di penuhi oleh keringat dingin.

“Astaga.. Kamu sakit, Hanan? Kenapa ngga bilang? Kalau bilang dari awal saya bisa larang kamu untuk datang ke sini.”

Dengan sangat hati-hati Hanan mendongak, menatap wajah laki-laki paruh baya itu.
“Sebelumnya ngga separah ini.”

Laki-laki berpostur tegap itu kembali melangkah, kini langkahnya membawa ia keluar, sampai akhirnya mata itu hanya bisa menangkap hujan yang jatuh semakin deras pada permukaan tanah.

“Tapi di luar hujan deras.” ucapnya sedikit berteriak dari arah belakang sembari melangkah mendekat ke arah Hanan kembali.

“Saya antar pakai mobil saja, ya? Biar lebih aman.”

Hanan kemudian menggeleng, jelas itu bukan pilihan yang tepat sebab yang ada ayah bisa marah nanti saat tahu kalau Hanan sampai merepotkan orang lain dan berhutang budi.

“Saya bawa jas hujan, lagian hujan nya juga ngga terlalu besar.”

“Ngga terlalu besar gimana? Jelas-jelas di luar hujan nya deras. Kalau kamu ngotot mau pulang sendiri, itu artinya kamu cari mati.” Laki-laki itu nampak tidak setuju dengan ucapan Hanan sebelumnya.

Hanya dengan begitu Hanan terkekeh, mencoba untuk bersikap biasa saja agar guru dihadapannya percaya kalau Hanan masih kuat untuk pulang sendiri.

“Cari mati itu kalau saya diantar bapak.” jelas Hanan dengan kekehan diakhir kalimat.

Iya, cari mati yang sesungguh nya itu ya saat Hanan pulang diantar gurunya, sebab mau bagaimana pun, ketakutan paling besar Hanan adalah amarah ayah yang tidak bisa dikontrol.

“Maksudnya?”

Hanan menggeleng kecil sembari beranjak setelah selesai merapikan buku-buku dan pulpen ke dalam tas.
“Saya izin pulang ya, pak. Jangan khawatir, gini-gini saya sudah punya SIM.” lantas tersenyum sembari melangkahkan kaki nya keluar.

Tinta Terakhir ✔ Where stories live. Discover now