Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.

Почніть із самого початку
                                    

“Itu cuma sebagai bentuk terimakasih Aji karena abang udah mau masakin kita makanan, soalnya kalau ngga ada abang, Aji ngga bisa makan.” sahutnya sembari berjalan dan duduk di teras dingin tanpa alas, kemudian ia ambil dua potong mendoan super jumbo dari piring.

“Bersyukur makanya kamu punya kakak kaya abang yang pintar masak ini, Ji.. Jarang orang beruntung seperti kamu yang bisa punya abang keren kaya abang.”

“Abang juga harusnya bersyukur punya adek penurut kaya Aji, jarang orang beruntung punya adek yang bisa diandalkan dan super imut kaya gini.” dengan gaya sok imut Aji tersenyum sembari menaruh kedua jari telunjuknya di pipi.

Jelas melihat itu Wisnu hanya bisa tersenyum, sedangkan Bian sudah lebih dulu menerjang tubuh Aji dan mengecup pipi nya berulang kali. Sebenarnya ini bukan kali pertama Wisnu melihat pemandangan seperti ini, sebab dari beberapa Hari lalu, bahkan setiap hari, Bian tidak pernah absen untuk menciumi pipi Aji dengan alasan kalau ia tidak kuat dengan kegemasan sang adik.

Layaknya Hanan dan Wisnu dulu.

Tepatnya saat masih hidup bersama di panti, saat raga Hanan masih bisa Wisnu dekap berulang kali. Tidak jauh berbeda dengan Bian, Hanan juga manusia yang sangat suka dengan skinship, berbeda dengan Wisnu. Pemuda itu kadang merasa risih ketika Hanan sudah mulai manja dan memeluknya tanpa tahu keadaan. Tak jarang juga Wisnu di ledek karena sifat Hanan yang terlihat memalukan untuk beberapa orang.

Tapi justru sekarang Wisnu menyesal, belasan tahun dia kesepian tanpa adanya Hanan kecil yang bawel dan selalu membahas tentang hal-hal random seperti 'berapa harga mobil-mobilan tanpa roda? Berapa banyak butir nasi yang sudah ia makan selama seminggu?', dan demi apapun saat ingatan itu kembali muncul, rasanya hati Wisnu seperti di cengkeram kuat-kuat, sakit sekali rasanya.

“Mirip dengan Hanan.”

Bian menoleh.

“Cara kamu memperlakukan Aji sama seperti Hanan memperlakukan saya dulu. Tapi jelas Hanan lebih parah, dia lebih agresif, hahah..” sengaja Wisnu selipkan tawa diakhir kalimat, sebab beberapa detik setelah ia mengucapkan itu, hawa canggung hampir menyelimuti.

“Serius? Setahu Aji, bang Hanan itu dingin. Ya tapi kadang juga baik, sikap dia suka berubah-ubah, ngga kelihatan sama sekali kalau dia tipe orang yang suka skinship.” tutur Aji sembari mengusap pipinya yang baru saja Bian nodai.

“Pencabulan tahu, bang! Abang bisa kena pidana kalau terus-terusan kaya gini. Mending kalau ngga bau, lah ini kan bau jigong!” tak hentinya Aji mericau, memarahi Bian yang bahkan hanya tersenyum sembari menatap Aji dengan tatapan penuh kasih sayang.

Tak jauh berbeda juga dengan Wisnu. Sebab ketika Hanan marah karena tak diizinkan memeluk atau ketika Wisnu menolak untuk Hanan cium, tak jarang Wisnu bersikap seperti Bian,– menatap Hanan dengan tatapan penuh kasih sayang, bertujuan agar Hanan mengerti dan bisa meredakan amarahnya.

“Salah sendiri kenapa bertingkah imut kaya gitu? Kamu kira abang mau cium kamu? Ya jelas lah, mau.”

Aji hanya memutarkan bola mata malas, kemudian memilih untuk membuang pandangan ke arah lain sembari menghitung berapa banyak tetesan air hujan yang jatuh kedalam ember hitam dekat pohon pisang.

Sikap aneh sekaligus random milik Aji ternyata sama saja dengan Hanan. Tapi bedanya, alun-alun sikap Hanan yang seperti itu hilang. Sekarang hidupnya terlalu flat, tidak ada warna yang bisa Wisnu temukan dari mimik wajahnya layaknya dulu.

“Pingin ketemu Hanan lebih sering, tapi saya ngga tahu gimana caranya.” ucap Wisnu dengan pandangan kosong.

“Kalau bisa, saya mau minta Hanan dikembalikan aja, tapi saya tahu itu ngga mungkin. Hanan sudah dibesarkan sekaligus disekolahkan oleh mereka dengan barang-barang dan makanan mahal setiap hari nya, saya ngga ada hak lagi.”

Tinta Terakhir ✔ Where stories live. Discover now