21

4.1K 544 84
                                    

Hal yang paling menyesakkan adalah jarak terbentang yang kian melebar. (Name) mendengus frustasi, paling kesal jika harus menyelesaikan prihal sulit seperti ini.

Haruskah ia yang duluan meminta maaf? Kata apa yang harus terlontar pertama? Apakah harus ia bilang 'Claude maaf.' Lalu bagaimana jika pria itu malah bertanya permohonan maaf apa yang dimaksud oleh perempuan itu? Sungguh pertanyaan menjebak, (Name) benci, namun sudah pasti Claude akan bertanya begitu. Dirinya terlalu kaku, bukan. Hanya saja ia tidak bisa berterus terang apa yang menjadi titik permasalahannya.

Ah mendekam dikamar sendirian membuatnya tambah stres, mungkin memang lebih baik dirinya yang harus berbicara terlebih dahulu.

Kaki jenjangnya dilangkahkan menuju ruang kerja Claude, (Name) tebak pria itu masih bergelud dengan banyaknya tumpukan kertas disana. Terkekeh pelan, walaupun terkenal kaisar tirani tapi Claude masih menyayangi rakyatnya.

Disana ada Felix yang berjaga didepan pintu, (Name) melemparkan senyum hangat ke arahnya. Pemuda itu balas tersenyum canggung.

"Boleh aku masuk?" Pinta (Name).

Felix menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bagaimana mengatakannya ya? Ia hanya takut akan ada konflik diantara keduanya bila ia memberitahu (Name).

"Halo felix? Kau melamun." tangan ramping (Name) melambai didepan wajah Felix.

"Ah iya, yang mulia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu." Alibinya.

(Name) menaruh rasa curiga padanya, masa iya sih?

"Kalau begitu aku cuman mau melihatnya." Menghiraukan Felix, (Name) berjalan masuk.

"(Name).." Felix ingin mencegah tapi tidak bisa. (Name) sungguh keras kepala.

Netranya bergulir mencari sosok pria jangkung dengan surai kuning keemasan. Tak menemukannya dimeja kerja, netranya beralih menatap dua orang tengah tertidur damai diatas ranjang. Senyum tipis diterbitkannya.

Entah mau ikut bahagia atau tidak, bagaimana tidak? Pemandangan didepan mata sungguh adem bagi yang melihatnya, tapi tidak bagi (Name) yang justru merasa sesak. Sadar posisi, dirinya dan Claude beda dimensi. Mau semaksimal apapun usahanya, mereka tetap tidak bisa bersatu.

Felix menyusul, ikut menatap arah pandangan sang puan. Kurvanya terangkat tipis.

"Sudah ku bilang kan (Name)... Aku melarangmu masuk karena punya alasan tersendiri." Felix mengelus punggungnya pelan.

Dahi (Name) mengernyit heran, jadi maksud pria itu ia takut (Name) bersedih begitu?

Manik keduanya saling berhadapan, memiliki arti masing masing. Senyum simpul (Name) berikan.
"Kita juga bisa seperti itu, mau buat bersama?" Kekehnya.

Felix melotot dengan rona merah tipis menghiasi pipinya mendengar ajakan selir Claude itu, baru akan melakukannya yang ada dia tinggal nama dibuat sama Claude.

"Haha bercanda kok." Ucap (Name) kala melihat raut panik terpampang diwajah ksatria Claude itu.

"Becandamu tak lucu tau."

Mengabaikan balasan Felix, dirinya lebih memilih mendekat ke arah ayah dan anak yang sedang tertidur pulas. Jari jemari miliknya bergerak mengelus surai sang anak.

Felix yang melihat itu hanya mampu tersenyum sendu, dirinya seperti mampu merasakan apa yang dirasakan wanita itu, padahal pikirannya dan (Name) sangat bertolak belakang.

Felix berfikir (Name) sedih karena liat Athy yang merupakan anak dari mantan kekasih Claude yang sampai sekarang Claude belum bisa move on itu sangat dekat dengan ayahnya. Nyatanya yang ada diotak (Name), ia tahu bocah itu mendekatinya hanya untuk tau bagaimana cara kembali ke dunia asalnya. (Name) sengaja memberlambat atau mengalihkan topik ketika bocah itu bertanya, karena sebenarnya (Name) tak tega mengatakan fakta bahwa bocah itu telah mati didunia aslinya sehingga ia abadi di dunianya Claude.

𝐋𝐎𝐕𝐄 𝐖𝐈𝐓𝐇𝐎𝐔𝐓 𝐓𝐄𝐋𝐋𝐈𝐍𝐆 [𝐂𝐥𝐚𝐮𝐝𝐞𝐱𝐘𝐨𝐮]Where stories live. Discover now