5. YOUNG GIRL

4.6K 419 2
                                    

Theory : Relationship

☆pYOUNG GIRL☆



"Oper woy!"

Sorakan penuh rasa kesal menggema di lapangan, di bawah sinar matahari yang sungguh menyengat siang itu. Kelompok kelas Ipa satu dan kelas Ipa tiga sedang saling adu bertanding bola basket .

Lara mengusap dahinya. Hari ini cukup sial untuknya. Bukan hanya mendapatkan giliran olahraga di jam satu siang. Tetapi juga kelasnya terpaksa di satukan dengan kelas sebelas Ipa satu, kelas Kafka.

Gadis yang tengah berselonjor di pinggir lapangan itu menatap teman-temanya, masih asik bermain meskipun cuaca begitu panas di atas kepala mereka. Saemi dan Hesa terlihat kesal sambil mengoceh pada orang-orang yang berada di lapangan.

"Ra ayo main sini!" Hesa tiba-tiba mendekat. Mengajak Lara untuk bergabung bersama mereka.

"Males. panas"

"Ya elah bentar doang. bantu kami ngalahin geng songong kelas sebelah"

Lara masih merasa enggan sebenarnya, namun jika sudah berhadapan dengan Hesa sudah pasti ajakannya sulit untuk di tolak, karena sekarang gadis berambut sebahu itu sudah menarik kuat tangannya untuk berdiri.

"Apaan sih Hes, Gue males banget main"

"Sebentar doang jangan mageran mulu woy!"

Lara menghembuskan nafas panjang. Pada akhirnya Lara ikut andil dalam pertandingan sengit itu, di bawah teriknya sinar matahari. Lara melotot ketika tiba-tiba Kafka sudah ikut juga di team lawannya.

"Wah kesayangan Lo ikut gabung tuh" Saemi tersenyum mengejek membuat Lara mendengus kasar.

Hah, ini pasti akan sulit baginya.

Setelah menentukan kelas mana yang menjadi pengoper duluan, peluit pertandingan berbunyi. Lara masih malas berlari kesana kemari merebut bola, namun seperti nasib baik juga sedang malas berpihak pada Lara, dia justru mendapat bola basket itu.

Terpaksa.

Bola yang dipegang Lara segera dibawa menerobos beberapa orang yang mencoba merebutnya, beberapa kali Lara hampir terkecoh. Dia terus maju untuk mencetak angka, hingga sampai pada orang yang paling Lara hindari sejak tadi.

Dugh, Dugh.

Lara kembali mendrible bola, di depan sana Kafka sedang berusaha mengambil alih bola dari Lara.

"Gimana, nggak bisa kan Lo? Mending minggir deh Gue mau cepetan selesai main beginian" Lara berbicara di tengah elakannya dari tangan Kafka.

"Oh ya? Gue baru tau Lo nggak suka main basket. Bukannya biasa—"

"Biasanya apa yang Lo sukain pasti Gue sukain juga, gitu? "

Beruntung Lara sudah tidak mengejar Kafka lagi, meskipun terhitung baru beberapa hari Lara meninggalkan kebiasaannya mengikuti segala macam kegiatan Kafka. rasanya cukup berasa, selain merepotkan Lara juga tidak pernah dihargai oleh Kafka.

Kafka menegakkan tubuh, tatapannya penuh intimidasi pada Lara. "Iya"

Ayolah Lara tidak punya waktu untuk berdebat hal yang tidak berguna semacam itu. Kafka dan segala perikutnya sungguh memuakkan bagi Lara, dia sudah menundukkan kepala selama bertahun-tahun pada cowok itu karena perasaan sukanya. kini giliran Lara membebaskan diri walaupun menghilangkan perasaannya terhadap Kafka tidak semudah membalik telapak tangan, setidaknya Lara bisa belajar menjauh dari Kafka mulai sekarang.

Lara kembali berusaha fokus sambil menggiring bola ke dekat ring.

Kafka mengernyit heran ketika ia sadar Lara sudah berlari dan mencetak angka di belakang sana. Sial dia kecolongan!

"Lo liat kan. kalau kali ini keadaan nggak sama seperti yang Lo pikir" Lara berujar, tatapannya datar ke arah Kafka.

Kafka terdiam sejenak. Mulutnya terkatup rapat. Kalimat Lara barusan serasa menyentak dirinya pada kenyataan bahwa gadis di hadapannya ini bukanlah Lara yang dia kenal.

☆☆☆

Sudut ruang hati Lara kosong. berbagai cara apa pun, Lara sudah mencoba menutupi kesedihan. Rasanya sama, hampa dan pedih. menapaki hari-hari yang sulit membuat Lara mudah terhasut oleh perasaan. Seharusnya Lara dapat mengendalikan rasa suka itu pada Kafka, menjadikan hubungan mereka kembali sewajarnya atau menjauhi cowok itu, lebih baik ketimbang memaksa Kafka padahal Lara tahu, memiliki Kafka hanya mimpi belaka.

Perlahan Lara mencoba melirik, Kafka tengah duduk sembari minum segelas jus lemon kesukaan Kafka. Seusai jam olahraga entah kenapa dengan kebetulan Kafka juga berada di kantin. Lara sempat terkejut melihat Kafka, karena yang Lara tahu Kafka tidak suka ke kantin di luar jam istirahat, Kafka lebih memilih duduk di kelas sambil memainkan game ulat di ponselnya sampai bel berbunyi.

Lara tersenyum samar, kebiasaan kecil itu masih menetap di ingatan Lara. Hati Lara sungguh dipenuhi semua tentang Kafka dan tidak tersisa ruang untuk memikirkan dirinya sendiri, Lara bahkan tidak tahu apa makanan kesukaannya selama ini.

Namun sekarang, keadaan telah berubah. Lara tidak bisa memaksa lagi untuk terus berada dekat dengan Kafka, memikirkan banyak hal tentang Kafka. Cukup sadar dan tahu, Lara belajar untuk menekan perasaannya hingga hilang dengan sendirinya.

Keberuntungan tidak akan selalu berpihak pada Lara namun pasti satu dua kali Lara menemukannya. seperti saat ini, Lara sebenarnya tidak mau menyebutkan ini suatu keberuntungan.

Kafka balas menatap Lara. Mata yang tampak bening itu menusuk netra Lara. Kafka bahkan mengabaikan obrolan bersama teman-temannya hanya karena sadar dari sebrang sana Lara memperhatikan Kafka.

"Ra, lo mau ke sana? Kafka ngeliatin lo tuh"

Lara menggeleng. Untuk apa?

"Tumben-tumbenan" Yixa berkomentar melihat sikap Lara yang tenang cenderung tak berminat untuk menatap Kafka.

Hesa yang juga mendengar, menatap Kafka dan Lara secara bergantian. "Eh iya. jangan-jangan pelet lo udah mempan ke Kafka"

"Heh jangan sembarangan ngomong lo"

Hesa mencebik. "Lara yang sekarang kayak nenek-nenek, banyak aturan, mudah tersinggung. baperan!"

"Tapi Ra serius lo nggak mau ke sana?"

Suara Saemi melebur pikiran Lara. gadis itu menoleh, memutus pandangan terhadap Kafka. "Nggak. gue masih laper"

"Kirain. Kafka masih terus liat ke lo tuh" Saemi mengangkat bahu tak acuh.

Lara menatap makanannya. lupakan Kafka. ratusan kali cowok itu memperhatikan, Lara sudah tidak peduli. Berusaha tidak peduli lebih tepatnya.

"Hm biarin aja dia kan punya mata"

Memulai sesuatu yang baru dan melupakan masa lalu mungkin akan sulit. Hidup akan terus berjalan, Lara hidup bukan untuk seorang Kafka. Lara punya masa depan. Lara mencintai keluarganya, teman-temannya yang jauh lebih penting ketimbang mengejar perasaan yang sangatlah jelas hanya sebuah kesia-siaan.

Kegiatan Lara banyak dan jauh sangat penting ketimbang menempeli Kafka, berharap cowok itu menyukainya balik. Kafka mempunyai pilihan hidup sendiri begitu juga Lara, jalan mereka tidak sama.




• To Be Continued

YOUNG GIRLWhere stories live. Discover now