EPILOG 🕋 🕌

Începe de la început
                                        

"Mas," aku memanggilnya di antara lalu-lalang para wisatawan yang juga mengunjungi Jabal Rahmah sore itu. Dia menoleh. Tersenyum amat lembut, memelukku lebih erat. Menepiskan jarak di antara kami berdua. Mendekatkan telinganya ke bibirku, terlalu berisik untuknya mendengarkan suara lirihku yang kalah dengan suara orang-orang sekitar. "Surah Yasin itu Qalbu Alqur'an (Hati Alqur'an), kan?"

Mendengar pertanyaanku itu, dia mencubit pipi kananku. Seolah tadi pertanyaan yang tak perlu dijawab dan aku memang hanya mengetesnya. "Iya." Dia menurutiku untuk mengobrol bersama setelah puas memandangi kawasan sekitar Jabal Rahmah. "Kenapa emang, Dek?"

Aku tersenyum, "Kalau begitu. Mas Yasin jadi Qalbu-nya Hurrin saja." Beberapa detik, ekspresinya berubah seperti tersipu malu. Senang bercampur kaget, seperti tidak menyangka, kata-kata itu baru saja keluar dari bibirku. Kami pun tertawa renyah dengan dia yang terus mencubiti hidung dan pipiku gemas. Aku sampai harus menutup wajah agar dia tidak berhenti melakukannya dan membuat kulit hidung serta pipiku lebih merah lagi karena menahan malu selesai mengatakan itu. Lihat! Aku juga bisa kok gombal, bukan cuma Mas Yasin.

Kami menghabiskan waktu bersama setelah sekian lama. Bulan madu yang sangat bermakna, apalagi Mas Yasin jadi tourguide yang dengan senang hati menjelaskan apa saja yang perlu diketahui tiap aku bertanya. Dia juga guru les privat Bahasa Mesir-ku sekarang. Menyebalkan, setiap salah ngomong, hukumannya cium pipi, salah ngomong dua kali, cium bibir. Aduuuuh! Jadi tidak fokus sama sekali buat belajar loh.

Aku ikut mengajar di sebuah Yayasan Tarbiyah El Athfal di dekat yayasan tempat Mas Yasin bekerja. Kebetulan pemilik yayasan itu adalah teman baik Ning Fatiyah. Menyenangkan sekali bisa mengajar dan bertemu anak-anak kecil setiap hari. Mas Yasin mengizinkanku mengajar setelah aku protes karena tidak ada kegiatan apapun di rumah. Mas Yasin menyuruh orang untuk membersihkan apartemen, memastikan semua baju kotor selesai dicuci setrika. Dia benar-benar tidak mengizinkanku bekerja. Lalu dari mana aku dapat pahala, Mas? Dia bilang dengan santainya, cukup berdandan yang cantik tiap malam sebelum tidur. Apasih, astaghfirullah!

Dan kami baru saja pulang dari acara pernikahan sahabat Mas Yasin malam ini, Bilal namanya. Dia beruntung sekali mendapatkan putri Pak Rektor Universitas Ain Shams. Mas Yasin bilang, itu semua berkat bantuannya. Kadang, suamiku ini suka bercanda. Aku jadi tak bisa membedakan mana yang benar-benar fakta dan mana yang hanya sekedar karangannya saja. Tapi, mengingat Mas Yasin dekat sekali dengan Rektor Universitas Ain Shams, aku jadi sedikit percaya jika itu benar.

Kami berfoto bersama sahabat Mas Yasin dan keluarga besarnya. Sekarang, aku makin susah berjalan. Mas Yasin tak pernah alpha menuntunku. Aku memegangi perut yang terasa makin buncit saja tiap harinya. Benar, rahimku telah terisi sebuah kehidupan. Allah menitipkan berkah-Nya untukku dan Mas Yasin. Aku sedang hamil besar. Sebulan lagi, prediksi tanggal akan melahirkan makin dekat. Mas Yasin kukira akan jadi ayah yang amat protektif dengan anak kami. Dia telah menyiapkan satu kamar bayi yang lengkap dihiasi nuansa warna serba merah muda, setelah mengetahui bayi kami berjenis kelamin perempuan di USG. Banyak sekali boneka dan mainan di dalam sana.

"Mas nanti ingin menamainya Elia." Dia mengatakan itu setelah mencium perutku.

"Elia?" Aku penasaran sekali kenapa ia memilih nama sederhana tersebut.

Mas Yasin tersenyum. "Aku ingin anak kita seperti mendiang ibuku, cerdas dan berkemauan keras terhadap cita-citanya." Aku mengelus rambut kepala Mas Yasin yang kini tidur di pahaku. Ayla (baca: Eila) dan Elia punya kata yang sedikit mirip memang.

Anak kami akan jadi hadiah paling manis untuk Mas Yasin. Tahun ini, suamiku resmi lulus kuliah S1-nya. Dengan predikat cumlaude dan tentunya terbaik di tiga program studi yang ia tempuh selama di Universitas Ain Shams. Mas Yasin menyuruhku kuliah di sana juga setelah anak kami sudah lumayan besar nanti, tapi aku menolak. Alasannya jelas, aku tidak mau dia jadi dosen wali atau dosen pembimbing skripsiku, mahasiswa mana yang mau bimbingan di kamar dengan hukuman aneh-aneh. Ya ampun! Ngomong-ngomong, Mas Yasin sekarang sudah menjadi dosen di Universitas Ain Shams, bahkan sebelum ia mendapat gelar secara resmi. Thesis-nya sudah selesai beberapa bulan lalu dan dia selalu keren di mataku.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum