🕋 ◇ Episode 51 ◇ 🕌

Start from the beginning
                                        

Adik Hurrin itu sama kalemnya seperti Hurrin. Entah genetika sifat apa yang diwariskan Mamak Midah dan Pak Zahid pada anak-anak mereka, tapi semua orang belum tahu saja, Hunain aslinya tidak pemalu. Ia hanya hanya sungkan bertemu orang-orang baru. Man Zada mengatakan ia harus buru-buru pulang, ia tak bisa menginap semalam di sini, ada banyak urusan sebagai Datuk Perpatih yang tak bisa ia tinggalkan. Khawatir juga meninggalkan Mamak Midah bersama kedua anaknya, mengingat Man Zada sekarang adalah kepala keluarga mereka. Kyai Ilyas meminta agar beliau bersedia diantar Ahsan sampai ke pelabuhan, Man Zada tak mampu menolak. Setelah acara jabat tangan dan pelukan akrab bersama Kyai Ilyas dan Abi Hasan, Man Zada pamit pulang.

Hurrin mengantar paman yang sekarang menjadi bapak tirinya itu sampai halaman depan ndalem. Abi Hasan masih mencari di mana trio anak bujangnya berada. Ahsan setidaknya bersama mereka.

Man Zada melirik Hurrin, "Kau baik-baik saja tanpa Ilyasin, Anakku?" Yang ditanya hanya malu-malu mengangguk. Setiap nama itu disebut, jantung Hurrin selalu berdesir. Seperti disentak, nama belahan jiwa selalu berarti banyak. Sama seperti saat kalian menyukai seseorang, nama itu akan selalu terngiang di pikiran, bahkan saat orang lain menyebutnya, terasa sangat berdebar di hati.

Sejauh ini, Man Zada memang tahu. Bahkan sebelum ia basa-basi bertanya di mana Gus Yasin berada pada Kyai Ilyas. Ia sudah tahu jauh tentang hal yang Hurrin tidak tahu. Untuk itulah Man Zada memastikan dengan bertanya. Ternyata benar, Gus Yasin belum memberitahu apapun pada Hurrin.

"Pasti berat bagi pasangan pengantin baru untuk berpisah jauh sedini ini, Nak." Man Zada kini menyentuh pundak Hurrin. Memberikan rasa nyaman pada putri Kak Zahid-nya yang sekarang terlihat murung. Sentuhan itu selalu ajaib. "Satu hal, Anakku. Ingatlah satu hal. Kau harus selalu percaya pada suamimu." Mata tajam Man Zada kini menatap mata bulat rusa Hurrin yang mulai berkaca-kaca itu.

"Iya, Man." Hurrin kembali menunduk. Menyembunyikan rasa khawatirnya dengan memainkan jemari.

"Hurrin, mulai sekarang, bisa kau panggil Man Zada dengan sebutan Bapak seperti yang telah dilakukan ketiga adikmu? Itu akan membuatku sangat senang, Nak." Man Zada tersenyum dan melepaskan sentuhan di pundak Hurrin.

Hurrin ikut tersenyum. Mengangguk.

"Terima kasih, Nak." Netra Man Zada melihat seseorang dengan sarung dan kaos berlari-lari dari kamar santri ndalem ke arah mobil avanza hitam yang sedang terparkir di halaman. Man Zada tahu betul siapa lelaki dengan rambut acak-acakan itu, pasti Ahsan. Abi Hasan menemukannya tengah khusyuk rebahan bersama kedua adik kembarnya di kamar santri ndalem.

Mobil sudah siap. Man Zada pamit. Menoleh ke Hurrin dan Hunain bergantian. Sedikit lebih lama ke Hurrin, mengingatkan nasehat terakhirnya. Hurrin mengangguk, paham betul dengan isyarat mata itu. Maghrib ini, Hurrin menunjukkan lokasi pondok kepada adiknya. Ia memakai uang yang berikan Gus Yasin sedikit untuk membelikan keperluan adik laki-lakinya. Meskipun Hunain bersikeras Man Zada sudah memberikan uang, Hurrin meminta agar Hunain menyimpannya saja.

***

Qasr El Eyni Hospital, Cairo
07.59 AM

Najwa sudah bisa duduk dengan banyak tumpukan bantal saat Gus Yasin datang berkunjung untuk yang kedua kalinya. Gadis blasteran itu merengek minta disuapi. Akhirnya, Gus Yasin menyerah dan menuruti permintaan adiknya. Yah, sejauh ini ia hanya menganggapnya adik, bukan?

Betapa bahagia Ning Fatiyah melihat pemandangan itu. Sungguh, senyuman Najwa berarti banyak sekali untuk sekarang. Ia sampai harus membujuk Yasin berkali-kali agar mau nememani putrinya. Menjelaskan panjang lebar bahwa dokter meminta agar Najwa selalu terus dalam kondisi bahagia. Di fase penyembuhannya sekarang, kebahagiaan dan dukungan sangat penting. Gus Yasin bisa apa?

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Where stories live. Discover now