chapter 22 | five day

0 3 1
                                    

Φ | Sleep is A Curse
Φ | Chapter 22: Five Day
Φ | by arnaaz_

Setelah pemilik marga Yavizan ini menyetujui persyaratan dengan mantap, ia disuruh menunggu di ruangan ini selama lima hari ditemani Pengikut Hell alias orang bernama Kelva juga Haven, semantara Hellder dan si dokter pergi untuk mengambil semua luka teman-temannya.

Entah bagaimana caranya ia sangat tidak peduli karena dari awal hal ini tidak diterima akal. Dia hanya perlu menunggu selama lima hari bersama dua orang menyebalkan saja, tetapi itu tak mudah.

Mereka berdua begitu berisik, entah Haven yang membahas keobsesiannya pada Ruri atau Kelva pada Hellder. Mereka hilang akal, dia sangat beruntung karena harus menunggu lima hari dari syarat yang semestinya sepuluh hari.

Mereka dengan berengsek mengumpulkan semua luka teman-temannya saat lima hari lalu dia tak sadarkan diri, padahal Ruri saja belum menyetujui syarat itu. Ah, sudahlah meski kesal ia juga berterima kasih karena waktu bersama kedua manusia ini tidak begitu lama.

"Kak Ruri, hari ini kau seperti biasanya."

Seperti dua hari awal bersama mereka. Dia selalu mengacuhkan kedua manusia itu yang tak lelah bicara entah siang atau malam, bahkan duduk atau berdiri. Mereka memiliki obrolan, sesekali adu mulut sampai beberapa tetes darah mengotori pakaian serta wajahnya.

"Kau hanya menengok ke bawah, apa aku sejelek itu? Dibanding orang-orang mati di sana, aku atau ruangan ini bahkan lebih menarik."

Ruri seperti perkataan awal Haven, hanya menghabiskan hari dengan menatap mayat kawan-kawannya. Tidak memedulikan apa pun di sini, meski sangat terganggu. Namun, ia bisa bersabar untuk mendiamkan. Bahkan sampai Kelva menyerah membicarakan Hellder dan memilih tidur.

Tidak dengan Haven, anak kecil itu masih kukuh untuk membuat ia melirik dan membalas ucapannya.

"Awalnya aku tak memiliki mata loh, Kak." Haven duduk di sebelahnya, ikut mentap ke bawah seraya tertawa sumbang. "Mata yang kini aku pakai adalah mata salah satu teman Kak Ruri."

Ruri menoleh spontan, menarik kerah kemaja anak kecil itu dan menatap lekat manik hijau Haven. Dia mendengkus karena netra hijau hanya satu-satunya warna mata milik Lurleen.

"Iya, ini milik gadis berwajah datar itu." Haven tersenyum senang seolah mengambil mata orang adalah hal biasa yang pantas dimaklumi. "Mata ini kosong, warnanya juga indah. Namun, tenang saja mata Kak Ruri jauh lebih bagus," ucapnya masih dengan senyum manis.

Gila, bagaimana tak spontan ia memukul wajah bocah itu kalau jawabannya sudah amat dipastikan. Semua orang berengsek ini sungguh membuat Ruri ingin cepat-cepat mati, selama dua hari memerhatikan ruangan di bawah. Kepala Lurleen memang tak terlihat di sana, Ruri pikir tertimpa tubuh yang lain.

"Akhirnya aku membuat Kakak sedikit bereaksi, aku begitu senang." Haven membenahi topinya yang agak miring, mengelus pipi piasnya yang barusan Ruri pukul.

Berjalan mendekatinya, anak itu tersenyum lebar. "Aku mungkin akan mengambil beberapa bagian tubuh lain untuk mengganti diriku, sepertinya menyenangkan 'kan?" Ruri kembali melayangkan pukulan sampai Haven terpental cukup jauh.

Bocah dengan topi koboi berwarna cokelat itu kegirangan, mulai gila dengan hilang entah ke mana, sementara aura pekatnya amat terasa. Mengingatkan Ruri pada kedua orang tuanya yang meninggal karena anak bersurai perak itu.

Menahan perasaan kesal dalam hati melihat Haven sudah berada di bawah, menunjukkan kepala teman-temannya yang sudah terpisah dari tempat semestinya, sebagian dari mereka matanya tak ada.

Salah satunya netra cantik milik gadis blasteran Jerman yang kini terpasang di Haven. Dia sangat ingin membunuh anak itu kalau saja mereka berdekatan, meskipun demikian hal itu mustahil karena berulang kali ia hendak membunuhnya, ada saja hal yang membuat Haven tak terbunuh.

Entah sebab kemampuan teleportasinya yang menyebalkan atau karena tubuh orang itu dapat terpisah alias dikendalikan. Mengawasi Haven dengan tatapan murka, ia mendelik kaget saat anak itu tepat di depan wajahnya dalam hitungan detik.

Ruri spontan memukulnya berulang karena terkejut ditambah melampiaskan amarah yang sedari tadi menggebu dalam dada, ia mendengkus karena Haven tertawa senang.

"Kak, kenapa aku sangat menyukai Kakak?"

"Aku sangat ingin membunuh Kak Ruri."

"Namun, aku menyukai Kakak."

"Aku ingin terus bersama Kakak, tapi aku harus menuruti Tuan Hell."

"Ah, bagaimana ini?!" teriaknya mengelus muka kasar tanda frustasi.

Sementara Ruri menutup telinga dengan tangan, mulai stres dengan ocehan-ocehan tak berguna Haven. Saking kesalnya dia sampai ingin mati sekarang juga, tetapi anak itu berlagak tak mau padahal berulang kali bilang ingin membunuh Ruri.

Sial, selama hidup dia tak pernah dibuat sekelas ini oleh seseorang. Marah saja tak cukup untuk membungkam mulut hitam Haven, berbeda dengan orang lain yang kalau ditatapnya saja langsung meminta maaf atau diam.

Haven sangat menyebalkan.

"Oh, ya, Kak. Kau belum berterima kasih padaku sudah menjaga kau selama ...." Haven membuka ruas-ruas jarinya dan mulai berhitung, lantas melanjutkan kalimatnya. "Delapan hari kau belum berterima kasih sambil bersujud padaku." Senyum mengesalkannya tercetak.

Ruri memalingkan wajah sebal, sepanjang hidup mana mau ia bersujud sambil berterima kasih pada orang yang sudah membuatnya gila. Sekalipun sudah menolonynya, hal tersebut tidak sebanding dengan yang Haven lakukan pada teman-temannya.

"Ruri, kamu selalu hidup dalam keberuntungan, ya."

Keberuntungan? Jika demikian mengapa dia selalu terlibat hal memuakkan yang ia sebut kesialan? Gila Kelva sampai bilang begitu setelah semua ini terjadi padanya.

"Orang lain pasti akan mati kalau tidak membalas setiap kata dari Haven, kamu beruntung."

Lebih baik dia jadi orang lain saja supaya cepat tiada. Haven teramat menyebalkan soalnya, pikir Ruri.

"Haven, kenapa kau sangat menyukai Ruri?" Pengikut Hell yang baru saja bangun dari tidur membuat Haven menoleh dengan senang, padahal baru beberapa menit telinga Ruri tenang tanpa ocehan anak itu.

"Kak Ruri itu sangat pekerja keras! Di–dia begitu menawan saat menolong teman-temannya!" Haven sangat riang mengucapkan kalimat itu yang membuat bola mata Ruri berputar berulang kali.

Memilih tidak mengacuhkan seluruh ucapan mereka berdua, beberapa hari terakhir Ruri habiskan dengan mengelus dada berkali-kali, sesekali mengamati ruangan ini karena ia merasa sudah cukup bangkit dari keterpurukkan sebab suara-suara menggangu mereka.

Dihari terakhir netranya terpikat dengan salah satu bola mata berwarna cokelat bersama dua bola mata dengan warna biru terang yang cantik, di toples tranpsaran itu tercetak angka 2016.

Bergeming sesaat sebab sesuatu teringat. Tahun saat dia masih SMP kelas dua ialah saat pertama kali kutukkan itu membawa petaka bagi keluarga Yavizan.

Kedua mata itu tentu saja ... pasti milik kedua orang tuanya. Ah, gila mengapa dia sangat yakin begini? Padahal mereka saja pasti sudah memiliki banyak korban tahun itu.

Namun, kenapa dia kesal sekali sekarang? Apalagi setelah lima hari sungguh berlalu begitu saja.

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Where stories live. Discover now