chapter 08 | mistake again

6 4 4
                                    

Φ || Sleep is A Curse
Φ || Chapter 08: Mistake Again
Φ || by arnaaz_

"Apa lo masih berpikir gue orang yang sama kayak di masa lalu?" Rui sedikit menyunggingkan senyum.

Cowok beriris cokelat sayu ini masih menatap saudarinya tak habis pikir. "Apa yang lo bisa?" Ruri masih tak yakin Kakaknya dapat melakukan pertahanan.

Gadis dua puluh tahun itu bahkan tak tahu bagaimana ancang-ancang melakukan pertarungan. Intinya Ruri tak percaya Rui bisa diandalkan dalam hal fisik, sejujurnya tempat bernama Neraka ini sangat tidak cocok untuk orang seperti saudarinya.

"Selama empat tahun setelah itu, sebenarnya apa yang lo pikirin tentang gue, Ruri? Gue juga punya persiapan untuk bawa lo ke sini lagi." Suara Rui cukup bergetar.

Ruri menyangkal mengingat perkataan Rui waktu awal, cewek itu bilang dia tak pandai melakukan apa pun. Kemudian, guna memastikan pemuda berkantong mata ini kembali bertanya apa yang bisa dilakukan gadis tersebut untuk membantu mereka.

"Gue udah latihan bela diri sama Esgar." Rui meralat ucapannya kala Ruri menyanggah jika mereka kenal belum cukup lama. "Maksud gue sama ... lo gak bakal kenal." Saudarinya itu terkekeh salah tingkah.

Ruri cuma menatapnya datar, bicara tentang Esgar yang disebut Rui. Lelaki itu ialah orang yang kemarin malam resmi menjadi tunangan perempuan berkacamata ini.

"Lama-lama saya bunuh kalian secara mendadak. Menjijikkan sekali obrolan kalian itu, banyak bicara hal tidak berguna layaknya orang bodoh."

Selain Ariga, mereka semua tidak peduli pada ocehan yang juga tak berguna dari pengikut Hell. Tak mengacuhkan suara bosan manusia yang mengawasi mereka, orang-orang sudah siap di posisi tempur saat pengikut Hell bilang waktu mereka satu menit lagi.

"Karena kalian sangat menyebalkan, saya berharap kalian mati dengan tak layak."

Itu kata terakhir pengikut Hell setelah para boneka berupa manusia bermunculan, tanda memulai pertempuran. Ruri sangat ingin membunuh mereka tatkala melihat wajah buruk rupa berlumuran darah menatap teman-temannya lapar, apalagi boneka jelek itu sangat lusuh dengan pakaiannya yang berantakan.

Sangat jelek saat salah satu boneka berubah menjadi benda tajam yang hampir menusuk Rui. Untung refleks cepatnya segera membunuh boneka yang mengendalikan pisau itu.

Sorot malas Ruri menatap pisau tersebut yang berubah pada wujud semula. Beralih pada boneka tanpa pupil mata yang seolah menatap dirinya, sangat menyeramkan saat bibir sobek boneka itu tersenyum mengeluarkan banyak darah.

Spontan ia menekan pelatuknya tepat mengenai boneka mirip manusia itu. Boneka seperti diberi nyawa tersebut tumbang saat peluru menembus dahi, sama sekali tak ada darah kala Ruri memerhatikan boneka bersurai gelap tersebut sudah mati.

Melihat boneka menjijikkan di hadapan tiada, dia sadar sampai segera memalingkan wajah menatap Rui dan Afjar yang bertahan seperti interuksinya. Dia tersenyum samar karena boneka-boneka itu sama sekali tidak bertambah seperti di ruangan sebelumnya.

"Kalian bisa bunuh mereka, tebas atau tusuk matanya biar gampang." Ruri membuat Afjar dan Rui menoleh memerkan senyum.

"Kita 'kan gak bisa lihat mereka, Ruri!" Rui protes.

"Karena itu ada gue," balas ia sekenannya. "Fokus, mereka belum habis!" perintahnya.

Rui dengan pedang milik Atas segera bersiaga di balik punggung Afjar yang juga bersenjata serupa saudarinya. Memberikan perintah pada kedua manusia itu sambil sesekali meringis, sebab Kakaknya belum terbiasa memegang serta mengayunkan pedang.

"Pegang pakai dua tangan, Rui!" Ruri mulai kesal memerhatikan saudarinya kerepotan dan terus-terusan meleset. Afjar bahkan terus membantu perempuan merepotkan itu.

"Lagian Ruri gue belajar bela diri bukan kendaliin pedang!" balas Rui terempas kala boneka gempal tanpa mata menendangnya, Afjar yang berada di balik punggung perempuan berkacamata itu menjadi kasur bagi saudarinya.

Degup jantungnya menggila saat sorot malas dia melihat boneka yang tadi menendang Afjar serta Rui akan menusuk kedua manusia itu yang berusaha untuk bangkit. Menginjak perut Rui sampai perempuan itu terbatuk, sabit digenggaman hendak menusuk dada gadis bernetra cokelat tersebut yang mencoba mengangkat pedang tanda memberontak.

Ruri begitu panik saat peluru tidak ke luar kala dia menekan pelatuknya. Mendengkus frustasi ketika seinci lagi sabit menembus dada Rui, ia berlari ke arah boneka tersebut dan meninjunya tanpa ampun.

Beberapa kali melayangkan tinjuan sampai menindih boneka buruk rupa itu yang sama sekali tak seperti akan mati. Dia mulai kesal saat boneka berupa manusia tersebut tersenyum menyemburkan darah pada wajahnya.

Berdiri dari posisi menindih, Ruri langsung menginjak wajah amat pucat boneka tanpa ekspresi itu. Muka boneka tersebut langsung hancur, tubuhnya hilang seperti boneka-boneka sebelumnya yang ia tembak. Sabit yang dikenakan boneka tadi juga turut hilang, kepergiannya tanpa meninggalkan jejak mencurigakan.

Sangat rapi, Ruri kagum pada orang yang melakukan hal seapik ini. Namun, ia tak bisa menyangkal kalau permainan ini sangat menjijikkan, dia membencinya. Semua orang di sini merasa demikian.

Mengalihkan atensi pada Rui dan Afjar yang kini berdiri. Ia melap wajah mengingat tadi mendapat semburan darah meski muka dia tak meninggalkan cairan kental itu. Sepertinya lenyap bersama boneka tadi.

"Lo baik-baik aja?" Ruri mengangguk menjawab pertanyaan basi dari Afjar. Padahal pemuda itu melihat dia dengan jelas kalau tidak baik-baik saja.

Ruri berjalan ke arah Kane dan yang lain dalam posisi melingkar, bergabung di sana dengan sebelumnya berjongkok meraih pistol yang tadi ia lempar. Berdiri kembali sambil merogoh saku, segera ia memasukkan peluru dari Lurleen pada pistolnya.

Memberi interuksi pada Rui dan Afjar sesekali Ruri menarik pelatuknya untuk membunuh boneka yang hampir menghabisi mereka. Meski ia kelelahan serta kerepotan harus terus berteriak memberi perintah, apalagi pada dua orang sekaligus.

Dia harus berkonsentrasi penuh terhadap sekelilingnya yang bisa kapan saja membawa mereka pada kematian. Seperti sekarang baru saja ia memalingkan wajah ke belakang untuk membunuh boneka yang ingin menghabisi Firaj, malah peluru menembus bahu kiri pemuda itu.

Ruri langsung gemetar melihat Firaj menjerit memegang bahunya yang mengeluarkan darah. Andai saja boneka itu tak menghindar, temannya tak mungkin kesakitan seperti sekarang.

"Ruri ... berengsek ja–ngan lengah!" Firaj mengatakan itu saat dia mendapat pertolongan langsung dari Angkasa, bahkan senyumnya terpatri.

Ruri memukul pipinya berulang saat pikiran dia hampir tertelan rasa bersalah, ia tak mau melakukan kesalahan saat Atas kehilangan tangan kanannya. Namun, sekarang dia melakukan hal seceroboh ini.

Dua kali ia hampir membuat teman-temannya mati. Dia tak bisa berjanji akan melakukannya dengan baik sekarang karena kesalahan itu terus berkeliaran dalam ingatan, bahkan saat memberi interuksi pada Rui dan Afjar sesekali mereka mendapat luka ringan.

Luka-luka mereka membuat perasaannya tak tenang. Ruri mulai ragu bisa sampai ruangan terakhir meski awal tadi dia sangat percaya diri.

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang