chapter 09 | sacrifice and save

12 4 6
                                    

Φ | Sleep is A Curse
Φ | Chapter 09: Sacrifice and Save
Φ | by arnaaz_

"Jadi, rencana lo apaan, Kane?" Cowok berjambul merah ini melirik pemuda di sisi kanan Jolanka saat semua orang sudah dalam posisi seperti semula. Bedanya Atas tengah berbaring di sisi kiri Kane karena tak sadarkan diri.

Lelaki berbehel hitam yang ditanyai tersenyum tipis. "Gimana kalo taruhan?" Pemuda itu terkekeh menyebalkan.

Mendecih heran Ariga menatap temannya itu bersama kening bergelombang tak paham sampai akhirnya memutuskan bertanya mengapa, sebab Kane tak kunjung bicara.

Senyum picik terpatri membuat Ariga berfirasat buruk melihatnya. "Kita gak boleh pakai metode sama buat bantu Jolanka. Terus taruhan dari gue, lo gak usah panggil Leen dengan embel-embel beb." Ucapan Kane membuat Ariga mengumpati dirinya.

Mengambil kesempatan dalam kegentingan ini namanya. Ariga tak senang mendengar itu, tetapi dia tetap melakukannya sambil mengomel. Salah sendiri panggil pacar teman dengan sebutan yang cuma pantas dilakukan pemilik ikatan lebih dari pada itu.

Padahal orang lain tak pernah keberatan terhadap sebutan bagus darinya. Heran.

"Lo harus biayain hidup gue sampai lulus kalau gue menang," ujar Ariga yang diangguki oleh Kane.

Dia sama sekali tak paham kenapa temannya itu sangat enteng mengangguk hanya demi panggilan tersebut. Tak aneh karena cowok bersurai gelap tersebut sudah terlalu jatuh pada Lurleen, Kane Melvi Arrayan sudah menjadi budak dari cintanya.

Agaknya Ariga harus menjauhi pemuda itu dengan segera. Bisa bahaya kalau dia bucin pada satu wanita.

"Gue dulu yang mulai?" Kane mengangguki pertanyaan Ariga.

Pemuda bertindik di lidah ini mendengkus karena merasa Kane tahu dia tak memiliki rencana untuk menjawab soal yang kini terpampang di hadapan.

Lelaki bernama Kill tak pernah melirikmu yang amat menarik bagi orang-orang, kamu membencinya dan hampir membunuhnya karena dia terlihat tak tertarik padamu, mengapa demikian?

Ia membacanya dalam hati secara berulang, kali keempat Ariga menemukan jawaban. Namun, kendalanya bagaimana ia memberi tahu Jolanka tanpa diketahui oleh pengikut Hell?

Memikirkan hal tersebut membuat beberapa kali ia mengumpat apalagi Ariga sadar waktunya kian terkuras ditambah pekikkan Firaj membuat kepalanya cenat-cenut.

Suasana buruk di sini membuat jantungnya sangat berdebar, ia menarik napas berusaha untuk lebih tenang. Melirik Jolanka yang seperti ikut berpikir membuat rasanya Ariga lebih rileks meski kekesalannya tak dapat hilang saat melihat Kane tersenyum sambil menolong Angkasa merawat Firaj.

Beralih pada Ruri yang gemetar memegang pistol, lelaki tersebut memaksakan untuk tetap membuat suasana seperti awal. Ruri terlihat sangat kesusahan apalagi Rui serta Afjar beberapa kali terkena luka kecil, semacam goresan di wajah atau lengan mereka.

Sorot pemuda blasteran Inggris itu terus membulat tak habis pikir. Sepertinya lelaki itu mulai kalap, terlihat dari tembakannya yang tak beraturan.

"Ruri tenang, kita bakal baik-baik! Lo gak perlu nyalahin diri sendiri, apa yang terjadi sekarang semua orang memakluminya." Rui menenangkan seraya berusaha mengayunkan pedang menghalau apa yang tak dapat ia lihat.

"Ruri, gue tahu lo orang paling banyak nanggung beban di sini. Gue gak keberatan mati di sini, tapi lo ... lo gak mungkin biarin itu terjadi 'kan?" Darah menyembur dari pipi kiri Kakaknya saat Ruri melihat boneka menggoreskan pedang pada perempuan tersebut.

"Semua orang percaya itu, lo gak sendiri. Semua teman lo ... biar gue sok tau.  Mereka gak pernah biarin lo melakukan semuanya sendiri, percaya sama mereka." Rui menatap sorot Ruri sambil memamerkan senyum manisnya. "Mereka juga melindungi lo." Saat itu juga salah satu boneka mencekik Rui sampai Kakaknya menjerit.

Rui kemungkinan akan mati kalau saja Ruri tak segera menembak tepat pada mata boneka itu dengan perasaan sangat marah. Tangannya masih bergetar sangat kuat, tetapi ia mencoba untuk melawan ketakutan dalam dada yang makin menggerogoti jiwa.

Benar kata saudarinya, Ruri selalu bisa mengandalkan teman-temannya kapan pun dia mau. Ya, meski kesalahannya tidak termaafkan. Mungkin ia baru menyadari jika kawan-kawannya selalu siap mengulurkan tangan, seperti sekarang.

Haha ... tetap saja kesalahan adalah kesalahan, ia tak bisa menyangkal jika itu bukan karena dia. Namun, perasaan ini tak pernah ia nikmati sebelumnya, Ruri mulai paham kenapa mereka selalu saling mengandalkan untuk menguatkan.

Kembali pada topik semula yang sebenarnya enggan sekali Ruri bahas. Tangannya masih gemetar bersama keringat dingin yang seperti ingin membawanya pada kematian, ia kembali menembak ketika boneka itu berjalan terpatah mendekati Afjar yang tengah membawa Rui di pangkuannya untuk dirawat oleh Angkasa.

Selepas cekikkan tiba-tiba itu Rui jatuh tak sadarkan diri karena syok, mungkin. Hal tersebut membuat orang yang bertahan di belakang alias Lurleen turun tangan untuk melawan boneka-boneka tersebut.

Semua orang terlalu sibuk pada kegiatan masing-masing yang sangat melelahkan. Hanya saja semua orang di sini paham jika mereka tak memiliki kesempatan untuk berdiam, bahkan Kane yang mendapat tugas membantu Jolanka diperintah Ruri untuk memperketat keamanan mereka.

Afjar, Kane, serta Lurleen masih terus mengikuti interuksinya, membunuh boneka-boneka menyerupai manusia itu atau memang manusia yang tak pernah habis untuk membuatnya stres.

Memberi perintah langsung pada tiga orang seraya berteriak, berbicara tepat, memerhatikan lawan dengan teliti sangat melelahkan, apalagi hal ini di luar kebiasaan. Dibutuhkan stamina tanpa batas untuk melakukannya, ini berlebihan memang. Namun, beginilah dirinya yang sekarang mulai mengandalkan keterpaksaan.

"Atas kepala Leen, sisi kanan Afjar, kanan-kiri Leen, dan ... di hadapan lo, Afjar!" Mendapat musuh beruntun seperti demikian, mereka kesusahan kalau saja Ruri dan Kane tak membantu dan membiarkan Jolanka terpental begitu jauh saat ditendang oleh salah satu boneka.

Ruri masih menolong teman-temannya dibantu Kane melawan musuh yang kian banyak. Sementara pacarnya didiamkan padahal boneka tadi menginjak perut gadis itu, Ariga membantu ditemani bingung harus mulai dari mana.

"Tusuk aja yang di hadapan lo, Ariga!"

Pemuda berjambul itu segera melakukan seperti perkataan Ruri yang sibuk mencoba melepaskan diri dari boneka yang menggerubuninya dari segala sisi. Lurleen membantu menusuk boneka di hadapannya dengan pedang yang dikenakan Rui, Afjar pun demikian, lalu Kane bersama panahnya juga ikut menolong sampai ia terlepas dari mereka yang membuat dada sesak.

Napas miliknya terengah. Musuh yang tiada habisnya membuat mereka tak memiliki waktu untuk bernapas lega, hal yang paling gila adalah mereka tidak membiarkan Jolanka menjawab pertanyaan itu.

"Lo pake ini." Lurleen menyodorkan pedang milik Atas padanya, tentu dengan senang ia menerima. Dikarenakan peluru sudah habis akibat tembakkan beruntun beberapa saat lalu.

"Formasi kita kayak tadi aja, Ru. Lo bisa gunain panah." Cowok dengan behel memberikan anak panah bersama keranjang berisi panah itu sambil merebut pedang digenggaman.

Meski belum pernah menggunakan panah Ruri tidak memiliki pilihan lain, untung ia percaya diri pada keakuratan menembaknya.

Ruri mulai mengarahkan mereka dengan kekeliruan yang terus terjadi, kebanyakkan musuh membuat kepala ia hampir pecah. Ditambah keteledoran paling fatal yang ia lakukan adalah membiarkan beberapa kali Jolanka ditendang oleh boneka yang enggan hilang dari hadapan, padahal beberapa kali sudah ia layangkan anak panah.

Dia mulai kesal pada para boneka yang tak membiarkan pikiran tenang diambang kebingungan harus memprioritaskan kubu mana yang sama kesusahannya.

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Where stories live. Discover now