chapter 17 | overwhelmed

3 3 1
                                    

Φ | Sleep is A Curse
Φ | Chapter 17: Overwhelmed
Φ | by arnaaz_

Ruri mendengkus saat tangan memaksakan memukul padahal sekujur tubuh sudah sangat lemas. Rasanya semua luka disekujur tubuh amat berdenyut. Ruri ingin berhenti melakukan ini, toh sejak awal dia sangat membenci hal merepotkan.

Hanya saja pemuda blasteran Inggris ini selalu dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu yang ia benci. Bukan itu saja, Ruri juya harus menepati janji akan membawa mereka kembali. Apa pun caranya dia bertanggung jawab atas semua ini.

Seumur hidup dia tak akan memaafkan diri kalau hal yang terjadi empat tahun lalu kembali terulang.

Kali ini Ruri tak sempat untuk terus memikirkan itu, pikirnya juga lelah. Namun, dia masih bersikeras melawan para boneka yang menggerubuni dengan susah payah. Tujuannya untuk sekarang cuma satu, membuat Kane menjawab riddle yang sudah disediakan sedari tadi.

Guna mewujudkan keinginan itu, Ruri mencoba mencari celah meski susah. Para boneka terlalu rapat pada dirinya, sebab saat dia menendang salah satu dari mereka yang lain mengganti posisi itu.

Hal paling menyebalkan ialah mereka tak bisa membiarkan dia fokus memikirkan jalan ke luar. Dia didesak untuk terus memberi pukulan, tendangan, tindihan, atau bahkan serudukkan. Mereka sangat gigih supaya membuat Ruri lebih lama menyaksikan ketidak berdayaan kedua rekannya.

Muak, sampai ia memuntahkan darah kala menerima pukulan kuat mengenai perut. Boneka itu seolah bilang jangan mengalihkan pandang dari mereka, menyebalkan. Padahal dia belum genap satu menit melakukannya.

Ia mendecih, menahan perih diseluruh badan dan kembali memulai aksinya. Sesuatu paling masuk akal yang mesti ia lakukan hanya menyingkirkan seluruh boneka di sekitar dirinya, terdengar mustahil memang. Namun, dia akan berusaha mewujudkan ambisi semu itu.

Saat salah satu boneka diterjang, ia mulai tak membiarkan mereka mengisi yang kosong dengan berlari sambil memberi pukulan atau sesekali tendangan, terus menerus sampai ia dapat sedikit lebih dekat pada Kane. Meski ia harus menanggung darah yang bercucuran di punggung tangan.

Kala benar-benar sampai di dekat kedua temannya Ruri lantas berdiri di hadapan Kane. Memberi banyak pukulan pada satu persatu boneka yang mendekat. Ruri meringis, segera ia mengalihkan sebentar atensi pada ruas-ruas jari yang turut berdarah.

Mendengkus amat keras begitu sadar tangan sangat bergetar. Ruri menatap telapak tangan datar, menympah serapahinya dalam hati padahal sang tangan tidak bersalah.

Seolah kemati rasaan tangannya angin lalu, ia kembali memulai aksi. Jelas kewalahan, sebab tangan saja tak bertenaga, bagus kaki masih ada untuk melakukan serangan lain. Lelaki bersurai cokelat itu sesaat menoleh ke belakang.

Melihat Kane masih memeluk Ariga dengan mulut komat-kamit merapalkan doa. Ia memanggilnya meski tak membuat fokus pemuda itu teralih, kembali pada para boneka sambil menaikkan suara dan berbicara pada temannya yang seolah tuli.

Ia pikir suaranya sudah cukup keras kala hampir sepuluh kali panggilan tidak dipedulikan. Ruri lantas menyentaknya dan membuat pemuda berbehel itu tertegun, netra mereka beberapa detik saling temu. Sampai ia memutuskan fokus menyerang sambil kembali mengulang perkataannya.

"Lo masih sanggup buat jawab riddle 'kan?"

Ruri tak menerima jawaban dari orang di belakangnya. Decihan ke luar, netranya dengan cepat menangkap sorot sayu milik Kane. Menerima beberapa pukulan dari boneka, ia berjongkok seraya mencoba menahan mereka.

"Kane," ujarnya dengan nada rendah.

Pemuda itu menatap ia tanpa ekspresi. "Lo pengin Ariga selamat 'kan?" Anggukkan Ruri terima, ia mentap Ariga sekilas yang masih terlelap lantas kembali menyorot Kane. "Lo harus bantu gue."

"G–gue ma—"

"Jangan omong kosong! Lo gak bakal bisa nyelametin dia kalo cuma diam aja!" Ruri menyentak, meraih penuh emosi kerah pakaian cowok di depannya yang tampak bingung.

Kane seperti terperosok dalam kegelapan dan ia seolah diharuskan menarik pemuda berbehel itu pada hal semestinya.

Netra cokelatnya menatap Ariga lagi. Tak seharusnya dia berpikir mampu menarik Kane pada cahaya saat ia sendiri terlalu jatuh dalam kegelapan.

Ah, meski begitu ia tak peduli. Kalau tidak bisa menarik maka mendorong dapat menjadi pilihan paling benar. Ruri tak dapat membiarkan temannya diselimuti kegelapan juga, ia sadar kalau tidak bisa terus menerus melakukan semua sendiri.

Ruri sendiri ingin melihat cahaya yang sama seperti temannya.

Tangannya menyentuh pipi Kane, memamerkan senyum tipis di sana karena sesuatu baru ia sadari. Usai melakukan itu dia berdiri, tak paham lagi apa yang harus dilakukan selain memohon dalam hati agar Kane cepat kembali seperti seharusnya.

Ia mengaduh saat sekujur tubuh terasa berat karena menerima semua pukulan waktu berbicara bersama Kane. Senyum tipis tersungging merasa tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, seakan menguatkan.

Menoleh memastikan siapa yang memegangnya, Ruri makin memamerkan senyum karena bersamaan Kane bilang. "Tahan bentar, ya, Ru. Gue bakal bantu sampai ruangan lima belas." Kane tersenyum tipis sembari membenahi Ariga di punggungnya.

Mengangguk mengiakan, dia mendadak bersemangat melawan para boneka yang menerjang kembali. Padahal sekujur tubuh sangat sukar untuk bergerak, Ruri terlalu memaksakan. Namun, rasa senang seolah melenyapkan perasaan tersebut dalam sekejap.

Selama pertarungan senyum selalu menghiasi wajah penuh peluh nan babak belur itu, perih memang. Namun, untuk sekarang tak pantas dibahas saat ia mulai kewalahan melawan para boneka yang muncul di segala sisi.

Napasnya sangat memburu, menendang boneka berwajah pias sehingga menubruk beberapa boneka lain, sesekali Ruri menjadikan salah sati dari mereka tameng melindungi diri. Cara yang kotor, tetapi selagi menguntungkan ia tak keberatan.

"Ka—"

"Dua menit lagi, oke?" Kane menjawab dengan nada bergetar panik seraya menoleh pada Ruri yang hanya sekadar ingin menanyakan sisa waktu mereka.

"Lo ... jangan buru-buru, gue masih mampu," ucapnya sambil menginjak kepala boneka sampai terbelah. Ia sedikit ngeri melihat isiannya, tetapi boneka itu lenyap dalam hitungan detik bersama apa yang tidak ingin dia lihat.

Netra Kane berulang kali membaca riddle yang ada, dua menit seperti kata dia pada Ruri sudah berlalu. Cukup mengesalkan karena sampai sekarang tak kunjung menemukan jawaban, sskali lagi membaca soal dia mendengkus.

"Bantu gue, Ariga." Kane berujar dengan nada sangat rendah, putus asa.

Toyoran ia dapat, decakkan terdengar jelas di belakang. Dia lantas melihat siapa yang melakukan hal tersebut, tentu Ariga adalah jawaban pasti karena pemuda berjambul itu di gendongannya.

"Makannya jangan panik, bego. Percaya aja sama Ruri." Kane tersenyum senang karena Ariga akhirnya sadar. Menurunkan lelaki itu dan bantu menopangnya agar berdiri tegap dengan satu kaki, Ariga kembali melanjutkan ocehannya.

"Asal lo tau, sedari tadi gue sadar cuma nyaman aja di gendongan lo." Tawa besar lelaki bernetra hitam itu membuat Kane mendengkus, detik selanjutnya tertawa sebab sadar.

Ariga juga memerhatikan teka-teki yang diberikan dan menjawab dengan sekali percobaan.

"Haha, lo gak bisa nandingin kehebatan gue."

"Bacot, Play!"

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Where stories live. Discover now