chapter 20 | hell

3 3 1
                                    

Φ | Sleep is A Curse
Φ | Chapter 20: Hell
Φ | by arnaaz_

Netra cokelat Ruri menatap tak habis pikir teman-temannya mati saat waktu menunjukkan tanda selesai. Layar tiba-tiba menampilkan keempat orang lain yang juga terkapar, tanpa sadar air ke luar dari mata.

Napasnya begitu tercekat, kekesalan dalam hati tak mampu ke luar melewati mulut. Tangannya saja tak mampu bergerak menghampiri mereka, setidaknya memastikan mereka baik-baik saja terasa amat sia-sia.

Ah, itu mustahil ... sebab lima tahun lalu hal ini juga terjadi. Hal paling aneh, kenapa dia selalu selamat?

Ruri semestinya tak perlu memikirkan hal tersebut, karena alasan paling masuk akal ialah dia adalah kutukkan itu sendiri. Ya, pikirnya barusan dibenarkan oleh pengikut Hell.

"Kamu terlihat payah sekali, seperti waktu itu kamu dan saudarimu berpelukan sambil menangis mayat orang tua kalian."

"Itu sangat menghibur, tetapi kamu lihat sendiri kalau saudarimu itu sudah mati."

"Kamu tahu nggak kenapa waktu itu saudarimu juga tak mati bersama orang tua kalian?"

Apa pun jawaban dari orang itu Ruri sangat tidak ingin mendengarnya. Namun, ia terlalu sadar diri kalau manusia tak semua mampu dikendalikan seperti robot.

"Karena tuan Hell sangat membenci anak kecil dan orang yang cengeng, juga payah dan cuma beban."

Ruri tidak peduli, sungguh.

"Kamu tahu? Tuan Hell hanya mengakui saya sebagai orang paling berguna baginya, ah ada sih satu lagi ... cuma saya tidak mau mengakui dokter tua bangka itu!"

Nada suara pengikut Hell terdengar menggebu-gebu, sementara Ruri sangat malas mendengar hal yang tidak bersangkutan dengannya.

Dia hanya ingin teman-temannya kembali hidup atau mereka tidak pernah mati saat ini. Namun, hal itu terdengar seperti lelucon.

"Ruri, karena kamu saya kena marah." 

Ia sangat tak peduli pada curahan hati pengikut Hell.

"Sudahlah. Pertama ... apa kamu ingin teman-temanmu hidup kembali?"

Kepala yang semula menunduk dengan buliran air mata kini mendongka tertarik pada pembahasan. Padahal di depan tak ada siapa-siapa, dia lantas mengiakan dan menunggu kalimat selanjutnya dari orang yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Sebenarnya ada satu cara supaya teman-temanmu kembali hidup."

Perlahan mata mulai menghentikan mengeluarkan tangis diganti dengan senyum amat tipis tanda Ruri senang. Bingkaian senyum itu masih terukir karena ia pikir akhirnya dapat membawa teman-temannya pulang.

"Hanya saja ada syarat yang harus kamu penuhi."

Ruri terdiam sesaat sampai tanpa pikit panjang memutuskan menerima apa pun persyaratan yang diajukan dengan anggukkan.

"Sekali lagi ini tentang hidup dan mati kamu."  Pengikut Hell mengucapkannya dengan penuh penekanan seolah ingin Ruri berpikir ulang dan merelakan semua orang penting dalam hidupnya.

Namun, tidak seperti itu sebab Ruri pikir lebih baik dia sendiri yang mati daripadi kesembilan orang yang semestinya tidak terlibat menemui ajal. Ah, kalau yang lebih baik tentu saja ia juga selamat dan dapat kembali kekehidupan dia yang biasanya.

Dengan mantap ia mengiakan melalui anggukkan, hal tersebut membuat pengikut Hell tertawa renyah sebagaimana ia biasa melakukannya.

"Kamu sangat yakin? Saya pikir kamu sungguh akan mati."

Ruri mengumpati pengikut Hell yang masih tak percaya, padahal dia sungguh yakin terhadap keputusannya. Bukan berarti ia ingin mati, hanya saja kalau ia sendiri yang hidup bagaimana keluarga teman-temannya nanti?

Mereka jelas tak akan menuduhnya karena kejadian ini sangat ganjil. Namun, ia pikir hidupnya akan makin suram kalau mereka mati. Dia pasti lebih menyediri di sekolah, rumah akan sepi, dan tak akan ada orang yang selalu merepotkannya.

Hal lainnya ialah cowok bersurai ikal ini tidak mungkin bernapas dengan tenang saat semua orang terdekatnya meninggal di hadapan.

"Baiklah kalau kamu sangat yakin, saya lelah terus tertawa untuk membuat kamu meninggalkan mereka."

Seketika Ruri dimasukkan ke lubang hitam yang tiba-tiba muncul, seseorang seakan mendorongnya ke sana lantas terjatuh dekat meja di ruangan amat gelap. Ia seolah buta, sementara seseorang samar-samar terlihat mendekat bersamaan dengan ruangan yang mulai terang tanpa bantuan lampu.

Orang bersurai hitam di kanan dan sebelahnya lagi berwarna putih berjongkok di depannya. "Hai, Ruri. Kamu tampak sekarat, mau saya bunuh sekarang?" Ruri diam merasa tak asing dengan suara berat manusia besar di hadapannya.

"Nyahaha, kamu pasti tetap pada tujuanmu, ya?"

Ah, tawa menyebalkan pengikut Hell, pantas dia merasa kenal dengan pemilik suara.

Sesaat netra biru terang pengikut Hell bersirobok dengan mata sayunya, orang dengan pipi lumayan berisi itu tersenyum amat tipis. Rautnya juga terlihat senang, Ruri tak paham. Namun, kedatangan seseorang membuat pengikut Hell segera berdiri dan berbungkuk menyapa di hadapan mereka.

"Kerja bagus untuk hari ini, besok kamu akan ikut saya mengerjakan misi." Ruri memerhatikan orang yang tampak begitu dihormati oleh pengikut Hell berjalan diikuti orang berwajah menyeramkan.

"Siap, Tuan." Pria bernetra biru itu kembali berdiri tegap, lantas dengan wajah gembira mendekati orang yang amat dipujanya.

Ruri ingat, mungkin dia adalah pria yang Pengikut Hell bilang ialah Tuan Hell.

"Hari ini Tuan kedatangan tamu spesial, dia ingin melakukan persyaratan itu."

Senyum membingkai manis di wajah Pengikut Hell yang berucap dengan senang di hadapan Tuannya.

"Maksud kau orang sekarat itu?" Pria dengan jubah hitam itu menunjuk Ruri bersama netra yang menatapnya rendah.

Meski ia sangat kesal karena bertemu langsung dengan orang yang telah membuat teman-temannya mati. Namun, Ruri tak dapat berdiri padahal tangan sangat ingin membunuh ketiga orang di depannya.

"Kel, saya akan pergi rapat dengan leluhur beberapa saat lagi. Kau bisa ikut kami, sudah berapa hari semenjak kau bolos dan bersenang-senang di sini."

"Ah, bukannya sesekali aku turut membantumu, Tuan?" Senyumnya masih menggembang dengan tangan menyapa leher tak enak.

Tuan Hell berdiri menatap lekat netra biru Pengikut Hell. "Ya, sekadar sesekali. Saya ingin kamu terus menurus di sisi saya seperti Kill. Ingat, kita akan lebih cepat menyelesaikan misi kalau bertiga," ujarnya membuat wajah Pengikut Hell kegirangan.

"Hei sampah, jangan berharap kau lebih berguna dari saya!" Orang dengan jubah putih baru membuka suara dengan nada tinggi.

Pengikut Hell mendelik. "Aku memang demikian Dokter bodoh!" ketusnya.

Orang yang disebut Dokter menatap sinis pria bersurai putih dan hitam yang juga balas menatap demikian. "Hah? Kau itu sampah. Lebih buruk dari apa pun. Diam saja dan ingat posisi, dasar buangan!" hinanya membuat perdebatan kedua manusia itu tak berujung.

Tiba-tiba melintas dipikirannua Ariga dan Firaj yang tak pernah berhenti beradu mulut.

"Kalian berdua sama saja bagi saya." Tuan mereka memegang bahu keduanya dengan senyum tipis terpatri.

Sontak kedua pria itu menoleh dan diam, sebelum salah satunya bertanya, "Siapa yang lebih bagimu, Tuan?" Pria berjubah putih itu memamerkan senyum penuh harapan.

"Ayolah, Dokter. Kalian berdua ... saya sangat membutuhkan kalian, paham?" Tuan Hell lurus menatap netra mereka sambil tersenyum meyakinkan.

"Na–"

"Kau jangan membuat keributan tua bangka!"

"Hah?!"

Pada akhirnya perdebatan mereka tiada ujung sampai Tuan Hell pergi ke luar diikuti dua orang bodoh itu, meninggalkan Ruri diujung kematian. Sialan memang.

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Where stories live. Discover now