chapter 04 | hell have hell

17 8 8
                                    

Φ | Sleep is A Curse
Φ | Chapter 04: Hell have Hell
Φ | by arnaaz_

Jeritan terdengar amat menggema di ruang ini. Semua mata tertuju pada gadis bermanik cokelat yang menangis hebat ketika telinganya berhasil terputus entah oleh siapa.

Perempuan itu tak berhenti menjerit atas fakta yang perlahan mengoyak hati. Darah terus mengucur begitu deras dibekas telinga Rui Ravisha Yavizan. Semua orang panik, tetapi tak sempat turut merasa sedih pada gadis malang tersebut.

Sesuatu yang hanya bisa dilihat Ruri bahkan tak membiarkan mereka semua memerhatikan Rui cukup lama. Luka-luka kecil hampir didapat mereka kecuali Ruri yang melawan membantu semua orang yang tampak seperti orang bodoh.

"Ruri, apa lo bisa beri kita arahan tentang musuh?" Anggukkan kesiapan diterima Lurleen dari pemuda bersurai ikal itu.

"Yang lain buat formasi melingkari Jolanka dan Rui. Rencana awal kita adalah lindungi Jolanka sampai nemuin jawaban, kedua jangan biarkan salah satu dari kita mati!" Semua orang langsung menuruti perintah perempuan berdarah Jerman-Indonesia itu.

Gadis bersurai pirang ini segera menghadap Rui yang masih histeris meratapi telinganya. Dia berjongkok, meraih tangan perempuan itu sembari mengulas senyum tipis.

"Saat lo berani buat Ruri tidur, lo udah siap tentang risiko ini 'kan? Jadi, jangan terlalu lama meratapi kesedihan lo." Lurleen mengelus penuh hati-hati air mata Rui yang sama sekali tak ada tanda akan berhenti.

Gadis tujuh belas tahun ini kembali berdiri bersama teman-temannya. "Angkasa, lo buat pendarahan Rui terhenti!" Cowok yang disebut langsung menuruti perintah ketua Eiryl.

"Ada berapa musuh, Ru?" Firaj bertanya sembari menyodorkan sekeranjang anak panah kepada Kane.

"Sekitar tiga puluh." Ruri menjawab sembari menembakkan pistol entah kepada siapa.

Lurleen menatap teman-temannya yang tampak amat siap untuk bertarung. Dia melemparkan sekotak peluru pada Ruri yang segera menangkapnya.

"Yang bawa senjata cuma nyerang pas gue dan Leen gak sanggup, oke?" Firaj memberikan arahan sembari berjalan ke sisi Lurleen yang tengah peregangan.

Meski tak pernah menjelaskan strategi dengan benar, Lurleen dan Firaj pasti memiliki rencana yang bagus untuk mencapai tujuan. Mereka percaya jika kedua pemimpin itu sanggup membawa anggota Eiryl kepada hal yang direncakan.

Jika tidak seperti itu, Lurleen dan Firaj tak mungkin menjadi pembimbing mereka.

"Siap?" Firaj melirik Ruri dan Lurleen yang segera mengangguk penuh percaya diri.

Mereka yang masih dalam formasi melingkar segera mendekati musuh sesuai interuksi Ruri. Hanya mengenakan tangan kosong mereka melawan, memukul atau menendang sesuatu yang sama sekali tak dapat dilihat, bak orang buta.

Kedua orang itu seperti orang bodoh meski luka yang didapat benar-benar nyata sakitnya. Lurleen menunduk kala Ruri memerintahkan demikian, jantungnya bergemuruh kuat saat pemuda berwajah datar itu menarik pelatuknya.

Ruri Regan Yavizan memandang seisi ruang kosong amat kesal. Bagaimana tidak, di hadapannya berdiri boneka-boneka buruk rupa yang mencoba melukai teman-temanya, beberapa kali melayangkan tembakan terasa percuma.

Mereka lenyap dalam sekejap akan tetapi seolah kembali beregenerasi begitu cepat dan jumlahnya makin menggila. Bahkan saat Lurleen dan Firaj melayangkan tinjuan yang membuat mereka mati. Ia mulai sadar jika boneka-boneka iblis itu tak perlu dilenyapkan.

Satu boneka yang mati maka sepuluh boneka siap menggantikannya. Ruri teramat yakin saat dia menyuruh Firaj meninju wajah buruk rupa salah satu dari mereka yang mendekat. Spekulasinya benar, mereka bertambah banyak.

"Mereka terus bertambah, kita cuma perlu bertahan." Ruri sangat tahu jika ucapannya begitu gila, tapi hal ini  benar-benar nyata. "Musuh sekitar 100 sampai 150," jawabnya ketika ditanya oleh Firaj.

Semua orang tentu saja terkejut, musuh tidak berjumlah sedikit dan mereka dipaksa untuk bertahan. Bayangkan saja saat musuh sangat ingin menghabisi kita, tetapi kita seolah menerima dengan lapang dada.

Ini sangat gila, ketidak adilannya amat terasa. Semua ini bahkan jauh berbeda dibanding waktu Ruri dan keluarganya mampir ke sini.

Ruri menatap pacarnya yang masih berusaha keras untuk menjawab pertanyaan di hadapan. Air mata Jolanka bercucuran sambil menatap tulisan tersebut. Apalagi katanya dia sudah mencoba dua kali, tetapi gagal.

Ah, mungkin jika Ruri dalam posisi itu dia juga akan demikian. Menanggung nyawa semua orang itu sangat membebankan, salah sedikit saja ia akan terus merasa menyesal. Hanya saja satu hal yang berbeda antara mereka ialah, Ruri tak sebodoh Jolanka Fynn.

Oleh karena itu dia terhindar dari masalah seperti kekasihnya. Namun, tenang saja meski Jolanka bodoh, gadis itu tak pantang menyerah terhadap sesuatu. Buktinya dapat dilihat sangat jelas dengan berdiri dia dengan buliran air mata itu.

Tenang saja Ruri sangat percaya kepada Jolanka. Hingga bayangan gadisnya di kepala membuat senyum terbingkai tanpa sadar, sesaat ia lupa tengah dalam kegentingan.

Fokusnya kembali pada boneka-boneka yang mencoba menyerang. Ruri memberi interuksi kepada semuanya untuk bertahan meski sulit. Sedetik saja memberi ruang pada Jolanka untuk menang meski nyawa mereka dipertaruhkan.

Pada akhirnya semua akan sama. Ganjarannya kematian, lengah sedetik saja mereka dalam bahaya. Seperti berdiri di ujung jurang.

"Beri aku waktu ... lima menit aja, bisa?" Jolanka mencoba menghentikan tangisnya.

Semua orang menyetujui dengan senang. Mendengar hal tersebut membuat kepercayaan diri mereka meningkat pesat. Tentu saja kerja sama mereka akan berhasil jika semuanya melakukan dengan maksimal.

Sedikit tersentak Ruri mengusap darah yang menyembur dari pipi kirinya, melihat hal tersebut tak habis pikir, ia menoleh ke kanan cukup panik kala seorang yang tak dapat dilihat menyapa.

"Lama tak bertemu, Kak Ruri!"

Suara ceria yang terdengar tepat di telinga membuat cowok bersurai cokelat ini berdebar kuat, tangannya gemetar amat kencang, pasokkan udara seolah terkikis habis. Dalam kepala yang berkecamuk, kilasan masa lalu kembali muncul bak kertas yang terpotong begitu kecil, berantakan dan bertebaran.

"Tenang saja aku hanya melakukan pemanasan dengan memotong telinga Kak Rui." Suara ceria itu membuat Ruri hilang akal.

Tak mengacuhkan semua orang yang tampak kerepotan, Ruri Regan Yavizan malah tertelan isi pikirannya sendiri. Mencoba meninju si pembicara seperti orang bodoh yang dihadiahi tawa anak kecil itu.

Ruri sangat ingat rupa jelek Haven yang mengajaknya berbincang. Si anak kecil yang senang melakukan hal menyeramkan itu sangat Ruri benci.

Mendengar suaranya saja membuat rentetan hal di masa lalu kembali tersusun rapi dalam kepala. Mengingatkannya pada masa kelam yang amat susah untuk ditinggalkan, jangankan untuk mencapai cahaya, keinginan untuk mendapat jalan ke luar saja hampir tak ada.

Ruri terperangkap dalam belenggu masa lalu yang mengganggu. Bukan hanya dia saja, Rui juga demikian dan semenjak saat itu ... datang ke tempat ini adalah kutukan.

Yap, seperti sekarang. Terkurung kembali di Neraka milik Hell.

"Jangan mati dulu Kak Ruri, aku gak akan ganggu di sini. Aku akan menjadi anak baik dan menunggu!"

Kalimat panik dari Haven adalah yang terakhir Ruri dengar saat kesadarannya mulai hilang, bersamaan dengan tubuhnya yang kehilangan keseimbangan.

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Where stories live. Discover now