chapter 07 | different

6 4 0
                                    

Φ || Sleep is A Curse
Φ || Chapter 07: Different
Φ || by arnaaz_

"Gue pengin buat kode untuk bantu Jolanka mecahin teka-teki."

Ruri segera menjauh usai membisikkan rencananya yang membuat Lurleen menatap cowok ini sangat datar. Tidak mengerti raut wajah perempuan itu ia dengan tak peduli mengalihkan atensi ingin menimpali pertanyaan Ariga.

"Kenapa bisik-bisik? Emang rahasia, beb?" tanya pemuda itu memasang wajah bingung.

"Udah bodoh, pelupa lagi, heran cewek mau sama orang bau bawang kayak lo!" Firaj yang memang selalu sewot menimpali Ariga bersama hinaannya

Cowok bertindik di lidah itu mendengkus, menatap temannya kesal ia makin berdecak. "Kalo gak niat kasih tau diem aja, bangsat!" ketus pemuda itu dihadiahi kekehan oleh Firaj.

"Pengikut Hell bakal tahu rencana kita kalo gak berbisik, gitu Ru?" Rekannya Ruri menimpali setelah sedari tadi cuma menjadi pemerhati.

Si empu yang ditanya menyetujui perkataan Afjar Gauzi. Mendekati Ariga di sisi cowok bersurai agak berantakan itu, Ruri kembali berjinjit sambil merutuk kenapa teman-temannya terlahir lebih tinggi.

Ariga yang kurang mengerti kembali bertanya, "Kenapa harus gue sama Kane?" Begitu ujarnya saat ia memberitahu hal serupa yang disampaikan pada Lurleen dengan tambahan hanya Ariga dan Kane yang menjalankan.

"Kalian suka teka-teki bukan?" Mereka yang merasa disebut mengangguk. "Kalo gitu rencana ini tergantung kalian," cakap pemuda maniak game ini sangat santai.

"Woi goblok lo asal nyuruh gitu aja tanpa jelasin kita harus komunikasi kayak gimana!" seru Ariga menggebu.

"Kenapa gue gak dikasih tau rencananya?" Cowok berbehel bernama Kane ikut menanyai.

Ruri Regan Yavizan sama sekali tidak terlihat peduli mendapati kebingungan kedua manusia itu. Mata berkantongnya malah menatap ketua Eiryl dengan sorot malas, beruntung perempuan keturunan Jerman itu paham dan segera memberitahu rencananya pada Kane.

Biarkan Ariga yang tengah kebingungan sambil ditertawakan oleh Firaj dan Angkasa.

"Gue juga gak ngerti gimana mereka harus komunikasi tanpa sepengetahuan pengikut Hell." Lurleen membuat Ruri bergeming sesaat.

"Bungkuk bentaran Leen, gue terlalu capek buat berjinjit." Pemuda ber-sweater gelap ini memaksakan senyum seraya menaruh tangan di bahu temannya untuk segera membungkuk.

Melihat Lurleen mengikuti interuksinya, Ruri segera berbisik, "Gue juga nggak tahu." Ruri menjauh dari tubuh perempuan berbau keringat itu dengan raut begitu datar.

Lurleen yang dipermainkan memamerkan senyum tipis menahan kesal. Dia memilih memerhatikan dengan perasaan dongkol temannya yang berjalan mendekati Ariga. Menyuruh lelaki berjambul itu membungkuk yang langsung mencibir, tetapi tetap menuruti.

"Lo bisa bahasa isyarat 'kan?" tanya Ruri di daun telinga Ariga.

Bersamaan dengan itu suara tawa khas pengikut Hell terdengar. "Bahasa isyarat itu terlalu mudah, saya sangat mengetahuinya," papar pemilik suara pria yang entah di mana asalnya. "Saya juga mulai lelah mendengar rencana kalian yang membosankan," sambung pengikut Hell diselingi uapan tanda bosan.

Spontan Ruri menoleh ke samping cukup panik, tanpa pikir panjang ia merogoh celana olahraga dia dan mengeluarkan pistol yang langsung Ruri tarik pelatuknya.

Tepat mengenai kepala boneka jelek berlumuran darah yang tiba-tiba datang. Lenyap saat itu juga, Ruri menarik napas lega sebab boneka tersebut tidak bertambah seperti di ruangan sebelumnya.

"Refleks kamu tetap hebat seperti waktu itu, ya, Ruri." Pengikut Hell berkomentar diselingi kekehan amat hambar.

Orang dimaksud mendengkus sebal sambil kembali menaruh senjatanya di saku. "Mendengar obrolan rahasia itu tidak sopan, sangat menjijikkan," ungkap Ruri begitu laun.

Dipastikan siapa pun tidak dapat mendengarnya, keculi pengikut Hell yang sepertinya memiliki pendengaran memuakkan, begitu tajam.

"Saya cuma mau menyampaikan waktu istirahat kalian tinggal lima belas menit lagi, semoga kalian mati."

Seperti biasa Ariga selalu mengumpati dan mengajak pengikut Hell untuk beradu kekuatan. Berujung dengan ditidak pedulikan oleh semua orang, ujungnya lagi lelaki bertindik itu mengumpati mereka semua.

"Ruri, aku gak bisa bahasa isyarat." Jolanka memulai topik yang semula terjeda.

Pemuda yang dimaksud menoleh. Mendekati perempuannya di samping Lurleen, tersenyum canggung lantas mengikis jarak di sisi cewek berlesung pipi tersebut.

"Lalu, lo bisa apa?" Ruri ingin mengatakan itu, tetapi melihat wajah polos kekasihnya membuat pertanyaan yang sempat ingin ke luar tersimpan dalam kepala.

Ruri tersenyum menatap wajah manis perempuan bernetra cokelat terang ini, hal tersebut membuat si empu menatap dirinya heran. Wajah agak kecolatannya makin manis saat itu juga, apalagi senyum membentuk lesung pipi di kedua sisi terlihat.

Ruri tak paham kenapa rasanya sangat berdebar. Selama ini ia tak pernah merasakannya, mereka jarang bertemu. Pemilik marga Yavizan ini juga tak pernah terlalu lama memerhatikan pacarnya.

Mungkin ini yang namanya jatuh cinta.

Tunggu sebentar, dia lupa tengah dalam masalah besar. Memikirkan Jolanka cukup memakan waktu, ia segera beranjak dari posisinya lantas berdiri di sisi Kane.

"Komunikasi apa yang susah diketahui pengikut Hell?" Ruri memulai percakapan kembali dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.

"Rencana tadi juga cukup efektif. Bahasa isyarat juga bukan hal buruk, gue sama Ariga bisa usahain itu kalo emang yang terbaik." Kane bertutur begitu menenangkan.

Ruri menyunggingkan senyum. Selama bergabung geng Eiryl, dia sangat suka anggota-anggotanya yang selalu sanggup mengatasi perintah sulit. Bukan hanya sanggup, hasilnya juga selalu bicara jika mereka mampu melewati hal tersebut.

"Lo pasti punya rencana 'kan?" Ariga bertanya sedikit terkekeh mengejek.

Kane yang dimaksud cuma memamerkan behel hitamnya membuat si lawan bicara mendengkus tak suka. Sementara Ruri mulai mengalihkan atensi pada ketua Eiryl yang memerhatikan.

"Lo sama Firaj istirahat dulu, Afjar sama ...." Ucapan Ruri terjeda melihat manusia-manusia di sini yang menurutnya cocok sebagai petarung di garis depan untuk bertahan.

Cuma tersisa Angkasa, Atas, serta Rui yang sangat tidak memungkinkan untuk bertarung. Kalau disuruh memilih antara mereka, Ruri ingin menyebut cowok bersama pedang di sisi kanan bernama Atas. Hanya saja kebenaran kalau pendarahan cukup banyak pemuda itu tak dapat disangkal, sangat tidak baik untuk bertarung disaat pemuda itu terlelap dalam keadaan tak baik-baik saja.

Jadi, apa dia benar-benar harus memilih antara Angkasa dan Rui yang ia ragukan kemampuannya? Biar Ruri jelaskan, pemilik nama Angkasa itu tak terlalu pandai bela diri. Adanya dia hanya untuk mengobati siapa saja yang terluka, kemudian saudarinya juga demikian hanya saja Rui tak melakukan apa pun.

"Angkasa, lo—" Ruri berdecak pelan saat ucapannya dipotong oleh tolakan pemuda yang ia sebut namanya.

"Ruri ... gue bisa bantu buat bertahan."

Ruri menoleh tak habis pikir pada Kakaknya yang bersuara. "Lo gak bisa bela diri," sangkalnya begitu pelan.

"Apa lo masih berpikir gue orang yang sama kayak di masa lalu?"

Bersambung ....

Sleep is A Curse [Completed] Onde as histórias ganham vida. Descobre agora