Andai Kyai Shihrazy bisa memilih takdir yang mengikat ketiganya, pria tinggi besar itu selalu ingin Najwa bertemu Sean lebih dulu. Bukan Gus Yasin.
Subuh datang lebih cepat jika tidak sedang ditunggu, Kyai Shihrazy meninggalkan Sean waktu ia masih tidur dengan posisi duduk di samping putrinya. Betapa haru pemandangan ini. Ya Allah, sungguh. Jika Kyai Shihrazy mampu, maka ia sangat ingin takdir semesta memutuskan agar Najwa dan Sean bertemu lebih awal. Tapi sayangnya, Allah tak pernah menghendaki hal itu.
***
Jari telunjuk yang terpasang pulse oxymetry putih itu bergerak lemah namun konstan, diikuti beberapa jemari lain. Kelopak matanya yang dalam mengejap beberapa kali, menyesuaikan cahaya. Sekali lagi, benar-benar sekali lagi, setelah proses kemoterapi yang menyakitkan itu, Najwa berhasil mengalahkan batas tubuhnya untuk sadar di bawah pengaruh obat-obatan kimia.
Kepalanya masih mati rasa, tapi kesadarannya hampir kembali. Dia menoleh. Rambut pirang ikal itu ... Kak Sean. Dalam keadaan antara sadar dan tidak. Najwa sempat mendengar suara Kangmas Yasin-nya. Tapi saat ia benar-benar sadar, yang ada di sana hanyalah Sean. Masih tidur dengan posisi paling tidak nyaman. Bau bunga bakung, Najwa menyukainya. Hidungnya perlahan sudah mulai bisa mencium normal kembali. Netranya melirik, seikat bakung putih segar diletakkan di meja samping ranjangnya.
Apakah itu dari Kak Sean?
Najwa sangat ingin menggerakkan tangannya dan berusaha membangunkan Kak Sean, mengucapkan terima kasih karena telah membawakan bunga kesukaannya. Tapi Najwa tak punya kendali atas tubuhnya sendiri.
Ia ingin memanggil Sean tapi suaranya hilang, seolah tiada. Najwa frustasi dan kembali pasrah memejamkan mata. Semoga besok kondisinya jauh lebih baik. Ingatannya bahkan tak yakin sejak kapankah ia terbaring di ruangan ini.
***
Gus Yasin sampai di apartemennya pukul sepuluh malam. Tak berminat menulis atau mengerjakan apapun, langsung saja merebahkan diri ke atas ranjang. Seluruh kenangan tentang Najwa seolah diputar ulang seperti kilas balik film yang begitu jelas.
Tentang gadis kecil umur enam tahun yang malu-malu menyapa dari balik kaki Ning Fatiyah saat mereka bertemu pertama kali.
Tentang gadis umur delapan tahun yang merajuk, marah-marah ketika disuruh tidur sendiri dan tidak boleh tidur di kamarnya lagi.
Tentang gadis umur sembilan tahun yang mengeluh panas ketika disuruh belajar memakai hijab-nya untuk pertama kali.
Tentang gadis remaja sebelas tahun yang menangis ketakutan, mengatakan haid pertamanya justru kepada Gus Yasin, bukan Ning Fatiyah.
Hubungan kita ternyata sedekat itu, Najwa?
Gus Yasin merasakan pening mendadak menyerang tanpa permisi. Bagaimana dia bisa menyembunyikan penyakitnya selama ini. Jelas sudah, selama tiga tahun di asrama, Najwa jarang sekali bertemu dengannya. Selama itu juga, gadis itu masih terlihat ceria. Kanker Angiosarkoma bukan penyakit kanker biasa. Itu kanker sangat langka yang hanya menyerang pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Jika pembuluh getah bening sudah terserang, hormon dan sistem imunnya tidak akan berproduksi dengan normal. Lebih mudah terserang penyakit.
Bekas-bekas memar di tangannya dulu itu, selang infus atau indikasi kankernya yang mulai menyebar?
Gus Yasin meninju tembok. Berteriak kalap. Menyalahkan dirinya. Menangis sekencang yang ia bisa. Ya Allah, hal sebesar ini dirahasiakan semua orang. Dan adik kecilnya itu, hanya ingin agar mereka menikah.
Kilas balik dalam benak Gus Yasin kembali terulang.
Tentang Najwa yang dulu waktu kecil bertanya, "Kangmas, bidadari itu apa?"
YOU ARE READING
𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔
Romance𝐒𝐞𝐧𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐒𝐚𝐣𝐚𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐆𝐮𝐬 𝐘𝐚𝐬𝐢𝐧 _______________________________ "Ini salah Gus, abdi ndalem tidak sepantasnya bersama putra seorang kyai." Hurrin membuat jarak cukup jauh, menjaga batasan non mahram dengan tetap ghadul bas...
🕋 ◇ Episode 48 ◇ 🕌
Start from the beginning
