3. Sebelum turun hujan

168 25 10
                                    

Sore itu di tahun 2013, udara dingin menyelimuti desaku. Sebagian orang berlindung di dalam rumah, ada juga yang duduk di teras mereka sambil menikmati kopi dan teh.

Tidak sedikit orang takut akan turun hujan, sehingga mereka memilih untuk berdiam diri didalam rumah.

Langit kian mendung, angin semakin kencang dan udara semakin dingin. Aku menutup jendela kamarku dan membuka sedikit gordenku, agar sedikit cahaya redup masuk ke dalam celah kamarku.

Aku terdiam sambil membaca novel remaja saat itu, menikmati teh buatan ibuku. Tidak lama ibuku datang menghampiriku, memberitahuku bahwa ibu dan ayah dika bercerai, entah apa penyebabnya. Aku merasa kasihan padanya. Dika adalah anak tunggal dari pasangan ayah dan ibu yang berprofesi sebagai dokter.

Selama beberapa waktu ini aku merasa hubungan keluarga mereka biasa biasa saja tidak ada rumor apapun. Entah kenapa terdengar kabar yang membuat seketika semua orang terkejut.

Pikiranku langsung mengarah pada dika.
Bagaimana dia sekarang ? Dimana dia sekarang ? Sedihkah? Apakah dia ingin menangis?

"Bu, terus dika ada dimana ibu tau ngga ?" Tanyaku pada ibuku.

"Ada dirumahnya, cuma lagi ribut ributnya ibu ngga berani kesana" jawab ibuku sambil mengambil gelas tehku yang sudah habis.

Aku langsung bergegas menuju rumah dika, saat itu aku melihat ibunya dika membawa koper besar dan memasukan kedalam mobil. Aku melihat dika duduk didepan, tatapannya kosong, wajahnya pilu. Aku tau dia pasti sangat sedih sekali.

Saat itu umur kami memang sudah remaja. Saat itu kami berumur 17 tahun, aku mengerti apa yang dika rasakan, melihat dia tampak sedih seperti itu membuatku semakin sakit.

Dika menghampiriku dan mengulurkan tangannya.
"Pergi dulu ya" ujarnya dengan tatapan sedih yang mendalam

"Mau kemana?" Aku mulai mengeluarkan suara pilu

"Pergi sebentar" katanya lagi

Aku tidak sadarkan diri sehingga meneteskan air mata untuk pertama kalinya. Hatiku hancur saat tau orang yang selama ini ada didalam otakku akan pergi.

"Jangan nangis wey" ucapnya sambil menggodaku

"Siapa yang nangis" jawabku sambil mengusap air mataku

Kemudian ibu nya dia menghampiriku
"Reka, ibu sama dika mau ke luar kota dulu. Ibu ada kerjaan disana. Nanti kita balik lagi ko" kata ibu dika sambil mengelus rambutku.

"Tuh kan , ngga lama" kata dika

"Tapi kan kita mau ujian nasional, kenapa ngga nanti aja" kataku

Kemudian dika memberiku payung berwarna biru muda.

"Sana pulang, udah gerimis. Nanti kehujanan" ucap dika, wajahnya seperti tidak ada ekspresi. Aku mengerti dia pasti bingung, dia sangat sedih sekali. Namun dia tidak ingin orang mengetahuinya.

Kemudian aku mengambil payungnya, menatap lagi wajahnya. Ku perhatikan setiap inchi wajahnya, semakin membuat hatiku sakit. Sebenarnya aku ingin memeluk dia untuk perpisahan ini, namun aku enggan. Aku ingin sekali mengatakan perasaanku sebelum dia pergi. Tapi saat itu umurku masih 17 tahun, masih malu, masih tidak berani. Hingga akhirnya penyesalan itu datang dilain waktu.

Sore itu adalah perpisahan untuk kami, rintik gerimis yang menemani perpisahan kami. Kabut tipis yang menyelimuti kami dengan gulungan gulungan angin kecil. Mata sembabnya kini mulai terbasahi air hujan. Senyumnya menghilang, yang biasanya dia ceria, saat itu tampak redup.

Akhirnya kami berpisah seprti itu. Seperti ada yang belum selesai. Betul.. karena memang belum selesai.

Dika yang hidup bersamaku 14 tahun menghabiskan masa kecil bersama akhirnya pergi ke tempat yang jauh.

Persahabatan dan Cinta (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang