Namira tertawa pelan saat tangan satunya ditahan oleh Raya. Dan tawanya itu tak luput dari netra Andra yang memang sedari tadi memperhatikan Namira.

"Bentar ya, aku ambil dulu obatnya"

Namira mengangguk sambil membasuh lukanya dengan air. Dia menekan nekan kembali luka tersebut walaupun terasa sangat nyeri. Dia menghela nafas lalu membalikkan badan.

"Eh!" Namira membuatkan matanya terkejut saat melihat Andra berdiri di belakangan.

"Jangan di teken kayak gitu"

Tak

Andra meletakkan gelasnya lalu duduk kembali di kursinya tadi. Namira menghela nafas sambil menatap Andra yang terlihat acuh. Dia melirik lukanya dan sedikit tersentak saat Raya menepuk bahunya.

"Lengkap banget obatnya"

"Buat jaga jaga–" Raya mencari plaster dan berdecak sebal saat benda itu tidak ada. "–Plasternya habis Ra"

"Yaudah nggak papa"

"Raya! Kesini sebentar tolong ibu"

"Iya! Nanti aku beliin ya"

Namira mengangguk kemudian melanjutkan memotong bawang tadi walaupun agak kesulitan. "Perih"

"Hallo"

Namira menoleh kepada Andra yang pergi sambil menempelkan ponsel di telinga. Andra sangat sibuk akhir akhir ini. Atau sengaja menyibukkan dirinya sendiri mungkin.

Namira meletakkan pisaunya lalu membasuh lukanya kembali walaupun terasa semakin perih. Dia meniup niup kecil jarinya lalu terpekik saat Andra menarik tanganya dan mengelapnya dengan tisu.

Namira hanya diam saat Andra menempelkan plaster ke jarinya yang terluka lalu mengusapnya pelan. Cukup lama sampai Andra menatapnya tanpa melepaskan tanganya.

"Udah"

Namira buru buru menarik tanganya saat melihat Raya masuk. Andra sendiri membiarkannya lalu pergi dari dapur tanpa menghiraukan Raya yang menatapnya penuh selidik.

"Dari pak Andra ya?" tanya Raya sambil melirik jari Namira.

"Iya" Namira mengulum bibirnya saat Raya menatapnya sambil tersenyum tidak jelas. Dia menghela nafas lalu berjalan mendekati kulkas.

"Ekhem. Pasti bisa kan Ra?"

"Apa sih!"

•••••••••••••••

Namira menata bunga yang ada di pot sambil tersenyum puas. Dia sangat suka jika di beri tugas dari Arum untuk merawat bunga yang ada di pot apalagi ada beberapa bonsai yang menurutnya cantik dan lucu.

"Nanti kalau udah punya rumah sendiri harus beli bunga sama bonsai. Harus" gumamnya sambil tersenyum lalu menatap mobil Arshad yang masuk gerbang bertepatan dengan Andra yang keluar rumah.

Zena yang keluar dari mobil terlebih dahulu langsung tersenyum dan menghampiri Namira. "Bunda, Zena punya papa!"

Namira mengernyit bingung mendengar ucapan Zena. Tapi belum sempat dia bertanya Zena sudah berlari menghampiri Andra dengan seruan yang membuatnya terkejut.

"Papa!"

"Papa?" gumam Namira sambil menatap Zena dan Arshad.

Andra berjongkok lalu mengelus rambut Zena pelan. "Kenapa manggil om Andra papa hm?"

"Om Arshad kan papa Zena jadi om Andra juga papa Zena"

Andra menaikkan alisnya bingung dan menatap Andra yang menghampiri mereka. "Om Arshad?"

"Hu'um"

"Om Andra bukan papanya Zena" ujar Arshad membuat Zena mengerjab bingung.

"Tapi kan wajah papa sama om Andra sama jadi papa Zena ada dua" ucap Zena menatap jarinya lalu Arshad.

Arshad melirik Andra yang menatapnya seolah meminta penjelasan lalu dia berdiri sambil menepuk bahu Zena pelan. "Zena sama bunda dulu"

"Iya"

"Bisa jelasin apa yang Zena maksud tadi?"

Walaupun kelakuan Arshad terbilang brengsek tapi tetap saja dia takut dengan Andra yang notabene adalah kembarannya sendiri. Apalagi ini bukan masalah sepele. "Gue mau bilang sesuatu sama lo. Penting"

"Hm?"

Arshad menghela nafas lalu menoleh kearah mobil dimana Shasha yang masih enggan untuk turun. "Shasha!"

Andra semakin bingung kala melihat Shasha turun dari mobil dan berjalan mendekati Namira. "Lo kenal sama mamanya Zena?"

"Y–ya"

Namira memegang bahu Shasha yang terlihat gugup. Apa mungkin Shasha memberitahu Arshad. "Shasha"

"S–seharusnya aku nggak ketemu sama Arshad. Dia mau tanggung jawab Ra"

"Pak Arshad?"

"Dia ayah kandung Zena" Shasha menatap Arshad lalu memalingkan wajah saat Andra melihatnya.

"Lo mau bilang apa? Kenapa lo bawa mamanya Zena kesini?"

"Sebenarnya–" Arshad mengepalkan tanganya sambil menatap Andra dengan gugup. "–Gue dulu ngehamilin cewek"

Bugh

Andra menatap Arshad nyalang tanpa memperdulikan pekikan Namira dan Shasha. "Bangun!"

Andra melirik Zena yang dipeluk Namira lalu terkekeh pelan. "Jangan bilang kalau Zena itu anak lo"

"Ya–" Arshad memegang rahanganya sambil mengangguk. "–Zena anak gue sama Shasha"

Bugh

Bugh

"Namira" Shasha meremat lengan Namira yang menggeleng tidak tahu harus berbuat apa.

"Lo ngelakuin kesalahan fatal dan baru bilang sekarang?! Lo ngerusak cewek Arshad. Lo sama gue udah janji sama mama buat ngehargai cewek tapi lo malah ingkar janji karena kebejatan lo itu!" ucap Andra mencengkram baju Arshad yang hanya diam tanpa melawan.

Bugh

"Kapan lo ngelakuin hal brengsek itu!"

"Waktu gue izin ke desa sama yang lain" Arshad memejamkan matanya saat rahangnya benar benar terasa sangat sakit. Dia dulu memang belum kuat minum seperti sekarang.

"Apa yang mau lo lakuin sekarang?"

"Tanggung jawab"

"Tanggung jawab?–" Andra tertawa remeh lalu meninju kembali Arshad dengan keras. "–Lebih baik lo di penjara daripada tanggung jawab setelah sekian tahun lo buat mereka menderita karena kelakuan brengsek lo dulu"

"Andra kamu ngapain!"

Andra melepas cengkramannya lalu masuk ke dalam tanpa menghiraukan Arum yang menatapnya dan Arshad terkejut. Dia benar benar marah karena perbuatan bodoh Arshad yang sayangnya baru dia ketahui sekarang.

"Sshhh sayang udah nggak papa" Namira menenangkan Zena yang menangis di gendongan Shasha. Dia menggigit bibirnya lalu menatap Arshad yang bediri dibantu oleh Arum  dan Raya.

Andra sangat marah bahkan sebelum masuk tadi pria itu sempat meliriknya tanpa ekspresi apapun.

"Semoga semua baik baik aja"

~~~~~~~

TBC

Destiny And UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang