31. Spread

971 224 54
                                    

Tempat dimana kamu berdiri, adalah tempat yang kamu benci.

Definisi mirisnya kehidupan.

---- Menos ----

---- Menos ----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. pinterest


Minggu kedua dibulan Februari. Apa yang baru saja terjadi di hari Selasa kemarin, berdampak banyak bagi si Rabu.

 
Melangkahkan kaki menyusuri koridor, Jiyeon dapat mendengar bisikan-bisikan para murid yang membicarakan satu topik yang sama. Kematian Hwang Hyunseok, pemilik perusahaan-perusahaan besar yang adalah ayahanda dari Hwang Hyunjin.

 
Ditemukan tewas mengenaskan, rupanya mampu menjadi pusat empati masyarakat. Antara benar-benar kasihan, atau cuma miris karena sang putra memiliki garis takdir yang suram.

Semakin jauh tungkai melangkah, semakin besar bisikan yang Jiyeon dengar. Bukan, mereka bukan sedang membicarakannya. Buah bibir yang lebih hangat adalah fakta bahwa Ayah Hyunjin dibunuh oleh Pamannya Han Jisung, seorang asisten pembunuh bayaran amatir.

  
"Ish, gak nyangka gua sama pembunuhnya."


"Kasihan Hyunjin. Salah apalah dia sampai ayahnya harus mati kayak begitu."
 
  
"Emang udah bagus deh gak deket-deket si cacat itu."

  
"Satu keluarganya gak ada yang bener."

Jiyeon menggelengkan kepalanya cepat. Kalimat-kalimat itu membuat Jiyeon panas sendiri. Mereka tidak tahu apa-apa soal Jisung, untuk apa membicarakannya seperti itu?

 
Gadis itu mempercepat langkahnya. Begitu memasuki kelas, ia sudah disuguhi pemandangan yang tidak jauh beda dengan di koridor, menggosip perkara antara Hyunjin dan Jisung. Entah mengapa, begitu eksistensi Jiyeon tertangkap oleh seluruh murid, keadaan langsung hening. Seluruh netra yang ada tertuju padanya.

 
"Yeon, untung lu gak mati juga," Shuhua menyeringai tipis, menciptakan senyuman tertahan dari beberapa murid. Jiyeon menarik napasnya kesal. Apa sih yang mengganggu otak mereka ini? 


Gadis berkuncir kuda itu tidak menggubris. Ia segera menuju bangkunya. Hari ini, Hyunjin tidak masuk, Jinyoung juga. Pria Bae itu pasti menemani sahabat kecilnya. Yeji yang biasanya selalu datang lebih dulu darinya pun masih belum terlihat batang hidungnya. 

 
Sementara Jisung, bangku pria itu juga terlihat kosong. Bahkan saat ini Jiyeon tidak tahu pria itu ada dimana. Renjun bilang, bukan saat yang tepat untuk mendatangi rumah Jisung. Jiyeon paham, namun sisi lain dari dirinya tidak bisa meninggalkan Jisung begitu saja

 
Beberapa sekon kemudian, sang ketua kelas datang, memberikan pengumuman penting bagi kelas, "Hari ini kita dapat dispensasi menghadiri penghormatan mendiang Ayah Hyunjin."


---- Menos ----

Suasana di rumah duka begitu hening. Latar belakang kematian ayah Hyunjin berdampak pada atmosfer yang ada. Tiap-tiap murid bergantian memberikan penghormatan. Sebelum gilirannya, Jiyeon menatap Hyunjin yang tengah berdiri disamping peti sang ayah berbalut setelan jas berwarna hitam.

 
Laki-laki itu terlihat sangat kacau. Matanya bengkak, hidungnya samar-samar memerah, tatapan matanya kosong. Jangan lupakan perban putih menyelimuti telapak tangannya. Pemuda itu nampak sangat terpukul.

 
Bahkan tiba giliran Jiyeon memberikan penghormatan, pria tidak memberikan reaksi apapun. Gadis Hong itu jadi iba sendiri.

 
"Terimakasih sudah datang.", baru saja Jiyeon keluar dari bangunan itu, Jinyoung sudah menyambutnya. Bajunya juga senada dengan Hyunjin.

 
Jiyeon sempat terdiam. Kepalanya yang semula menunduk kini mendongak, "Bagaimana kasusnya?"


Yang ditanya menghembuskan napas sebentar, "Sepertinya memang benar Paman Jisung pembunuhnya. Tapi belum ada perkembangan secara hukum pula. Anak itu juga masih enggan untuk ditanya-tanyain."


Jiyeon mengangguk samar. Sedikit pun ia tidak akan menyangka, betapa sempit siklus kehidupannya. Tali merah yang terhubung seakan berputar-putar diantara mereka.

MENOS [ HAN JISUNG ] [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang