25

1.5K 385 59
                                    

Milo memperhatikan Mauve yang meregangkan tangan lega. Setiap selesai ujian pasti Mauve melakukan gerakan itu. Terlihat jelas kelegaan seperti terbebas dari penjara. Milo tersenyum tanpa sadar.

"Lolo," panggil Mauve tiba-tiba menoleh ke belakang dan membuat Milo terperanjat kaget.

"Pulang boleh nebeng? Eh, ralat. Minta anter."

"Kenapa nggak pulang bareng Revan? Bukannya lo berangkat bareng tadi?"

"Lolo tahu?" Mata Mauve hampir lepas saking kagetnya.

"Semua anak sini kayaknya tahu."

Mauve menghela napas dan terlihat lesu. Dia melirik Revan yang tengah memasukkan peralatan tulis.

"Itu karena Lolo nggak jadi jemput gue." Sekali lagi Mauve menghela napas lalu menunduk dengan bibir cemberut.

"Kalian pacaran?"

"Hah?" Mauve teriak cukup keras hingga beberapa anak yang masih di dalam kelas menoleh ke arahnya. "Nggak mungkinlah." Mauve tertawa dengan pemikiran Milo. "Dia cuma kakak kelas yang dermawan aja mau nebengin gue. Iya, gitu."

"Oh. Lo hapal nomornya?"

"Nggak. Gue cuma hapal nomor gue, kok. Nomor bokap nyokap gue aja nggak hapal."

"Mau pulang bareng nggak?" Revan sudah berdiri di samping Mauve. Mauve dan Milo menengadah menatap Revan yang memasang wajah datar.

"Hah?" Otak Mauve ngeblank seketika.

"Pulang bareng nggak?" tanya ulang Revan masih dengan ekspresi datar sok cool.

"Tuh, kan, dia kakak kelas yang dermawan banget." Mauve menunjuk Revan sambil cengengesan.

Revan menoleh pada Milo lalu menoleh pada Mauve lagi. "Mau pulang sama aku atau Milo?"

"Aku sama Lolo aja."

"Ya udah. Nitip Vee ya. Tolong anter sampai rumah dengan selamat." Revan menepuk bahu Milo. Sementara Milo masih terdiam, bingung mencerna obrolan antara Mauve dan Revan.

"Cih, sok cool," cibir Mauve selepas Revan pergi.

"Kalian kayaknya deket banget," ucap Milo masih penasaran. Apalagi mendengar Revan menggunakan sapaan aku-kamu.

"Biasa aja. Gue kan maunya deket Lolo. Ayo kita pulang!" Mauve menggandeng tangan Milo.

"Kalau lo cuma mau ngisengin gue. Lebih baik kita jaga jarak."

"Ngisengin gimana?"

"Lo beneran suka sama gue?"

"Emang perasaan gue penting buat Lolo? Jangan-jangan Lolo mulai suka ya sama gue? Yeay... OTW punya pacar!" seru Mauve seringan kapas, menggoyang-goyangkan tangan Milo.

"Pulang, woi. Jangan pacaran di ruangan sepi!" seru Bimo mengingatkan mereka karena kelas sudah mulai sepi.

Milo menggendong tasnya dan membantu membawakan tas Mauve. Dia gelisah dengan perasaannya sendiri. Diam meski Mauve terus bicara. Bagaimana bisa dia menanyakan perasaan Mauve sementara dia sendiri bingung dengan perasaannya? Milo merasa malu sekali sampai tak berani bicara apapun lagi.

"Besok kalau gue udah bisa ngdance lagi. Lo mau ikut nemenin nggak? Sebenernya gue ada rekaman dance bareng tim. Tapi karena kaki gue cedera terpaksa ditunda."

"Iya."

"Beneran?"

"Iya. Makanya lo harus semangat!" ucap Milo yang menyadari ekspresi Mauve berubah. Dia seolah mengerti perasaan Mauve saat ini.

"Sebenernya gue takut."

"Kenapa?"

"Kaki yang pernah cedera pasti nggak akan sesempurna sebelumnya."

"Sempurna milik Tuhan. Lo hanya perlu berusaha dan berdoa. Lo nggak akan kecewa dengan hasilnya setelah berusaha."

"Apapun hasilnya?" tanya Mauve dan Milo mengangguk.

Milo percaya sesuatu yang diusahakan apapun hasilnya tak akan mengecewakannya. Kecuali dia belum mengusahakan dan hanya berdiam diri. Kalaupun hasilnya kurang memuaskan setidaknya dia sudah berusaha maksimal. Dia hanya perlu berusaha lagi agar lebih baik.

"Jadi Lolo udah suka ya sama gue?" tanya Mauve lagi setelah jeda hening cukup lama.

"Milo!" Shaleta memanggil Milo keras dan melambaikan tangan, berlari kecil mendekati Milo.

Senyum Shaleta terlampau manis, Milo pun terlular begitu saja. "Hai."

"Kalian mau pulang bareng?"

"Iya, dong. Kan aku OTW jadi pacar Milo." Mauve langsung menggandeng Milo tanpa malu.

Shaleta tertawa tanpa bisa ditahan. Menggelikan melihat orang yang tengah jatuh cinta. Tapi dia juga iri dengan kepercayaan diri Mauve. Tak sepertinya yang hanya bisa mencintai Him dalam diam.

"Gimana ujian tadi?" tanya Milo.

"Lumayan. Makasih ya udah dicariin buku yang aku cari. Berguna banget."

"Sama-sama." Milo mengangkuk pelan. "Kalau butuh bantuan bilang gue aja."

"Beres." Shaleta melihat kaki Mauve. "Kaki lo kenapa?"

"Keseleo."

"Get better, deh. Ya udah gue duluan ya." Shaleta lebih dulu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Lolo!" seru Mauve seraya menarik tangan Milo yang dia gandeng.

"Ya?" Milo menoleh ke samping.

"Leta udah jauh ngapain dilihatin terus, sih? Kan ada gue di sini." Mauve memasang wajah cemberut. Sama sekali tak berusaha menutupi perasaannya yang kesal.

"Iya gue tahu lo di sini. Mau sampai kapan lo pegang?" Milo melirik tangan yang digandeng Mauve.

"Sampai lo bilang lepasin."

"Ya udah lepasin!"

Mauve nyengir lalu senyum-senyum sendiri. "Lolo tahu nggak?"

"Kenapa sih lo suka banget nanya hal yang nggak jelas?"

"Biar Lolo kesel kan kalau Lolo kesel mukanya makin gemesin kayak sekarang."

"Mauve Baehati."

"Ya ampun Lolo. Lolo makin gemesin kalau manggil nama gue kayak gitu. Ah, gue kan makin suka jadinya. Moga aja besok gue masuk 10 besar. Kalau nggak, hilang sudah kesempatan lihat Lolo yang gemesin tiap saat." Mauve memukul-mukul lengan Milo dan memasang ekspresi sok imut, bikin Milo merinding bulu kuduknya.

"Udah, Vee, udah. Gue geli liat lo ngomong."

"Sekarang geli besok kangen, lho. Apalagi liburan nanti kan nggak ketemu lama. Pasti kangen berat sama gue yang bawel."

"Gue menantikan." Ya, Milo menantikan liburan yang tenang dan damai. Jauh dari kebisingan yang menjungkir balikkan emosinya hanya dalam waktu dekat. Bersama Mauve jadi sulit memahami diri sendiri. Terkadang jadi kesal tanpa sebab, kadang jadi seneng tiba-tiba, dan kadang mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya bukan urusannya.

***

Vote dan komentarnya ya, please.
Next next next!
See you next part.
Masih setia baca kan?

Taken SlowlyWhere stories live. Discover now