3

1.7K 375 16
                                    

Duduk berempat tapi Milo merasa seperti di planet lain. Mauve, Bimo, dan Saka ngobrol asyik sementara dia hanya diam tak bisa mengikuti arah obrolan mereka. Jika diperhatikan, Mauve tipe cewek yang mudah bergaul dengan lawan jenis. Mudah tertawa meski obrolannya terasa garing bagi Milo.

"Kemarin gue baru beli martabak, kakak gue dong langsung main ambil aja. Gue diemin, nggak tahu aja tuh martabak udah gue kasih saos cabe sama Bon Cabe. Puas gue lihat dia kepedesan sambil ngomel-ngomel," ucap Saka disusul tawa Mauve dan Bimo.

"Lo kelewat jahil," ucap Mauve masih dengan menahan tawa.

"Siapa suruh kemarin ngabisin puding gue di kulkas. Gue kerjain, deh."

Cowok dengan bekas luka di pelipis itu mengamati Mauve cukup lama hingga Bimo menyenggol lengannya. "Katanya nggak tertarik," bisik Bimo.

Milo menggelengkan kepalanya pelan lalu melihat ke arah Mauve lagi. "Apa sih yang lucu dari omongan Saka?" tanyanya pada Mauve.

Yang ditanya bingung, Mauve mengerutkan kening. Pertanyaan Milo sangatlah aneh. Jelas-jelas Saka tengah membahas hal yang sangat lucu. Mauve melirik Bimo dan Saka bergantian. Mengisyaratkan seolah dia bicara, "Temen lo kenapa sih?"

"Milo, lo bener-bener ya. Asli nggak tertolong," ucap Bimo disusul tawa Mauve dan Saka.

Milo kembali heran dengan apa yang ditertawakan mereka. "Gue ke kelas dulu."

"Tunggu! Gue temenin biar nggak dikira bucinnya Leta." Mauve nyengir, menggandeng tangan Milo sekaligus mengindari tatapan tajam cowok yang super wangi.

"Wah, wah, wah. Ada apa nih?" seru Bimo.

"Ada apa ya?" tanya balik Mauve dengan nada bercanda lalu menjulurkan lidahnya dan mengedipkan mata sebelah bersamaan

Milo yang ditempel Mauve hanya diam. Meski tahu banyak mata menatap ke arahnya, dia tetap diam tak menyingkirkan tangan Mauve. Pikirannya masih sibuk mengingat perkataan Shaleta yang sudah tahu perasaannya tapi memilih diam. Malu, kecewa, sekaligus lega. Tak ada lagi yang perlu dia tutup-tutupi tapi dia juga tak mau ditertawakan di belakang diam-diam karena perasaannya.

"Setelah hari ini, gue yakin pemikiran orang-orang yang mikir lo bucin sama Leta bakal lenyap."

"Apa semua orang mikir gitu soal gue sama Leta?"

"Yaiyalah. Lo bego apa kelewat polos, sih? Nggak sadar lo udah ngelakuin banyak hal buat Leta? Gue yang nggak kenal lo secara langsung aja tahu soal kalian berdua. Masa lo nggak sadar sih?"

"Lo tuh udah kaya pacar Leta yang nempel di mana ada Leta pasti ada lo. Leta butuh apa pasti lo usahain. Lo tuh terkenal romantis. Masa sih lo nggak tahu?"

"Lo mata-matain gue?" Milo menatap Mauve.

"Gue kan fan lo garis keras." Mauve mengerutkan hidung hingga terlihat sangat menggemaskan. Milo langsung membuang muka.

"Apa sih yang lo suka dari gue?" tanya Milo.

"Rahasia. Lo inget-inget aja sendiri," jawab Mauve sembari menggoyangkan tangannya yang menggenggam tangan Milo.

Milo hanya melirik sekilas tanpa ingin melepas meski rasanya canggung. Ini pertama kalinya ada cewek yang menggemgang tangannya lebih dulu. Bahkan dia belum pernah bergandengan tangan dengan cewek sebelum ini jika diingat-ingat.

"Kenapa?" tanya Mauve.

"Apanya yang kenapa?"

"Ngelamun."

"Nggak."

"Jelas-jelas ngelamun. Lo nggak sadar kan gue bawa ke mana?"

Milo melihat ke sekeliling, dia ada di ruang musik. "Gue mau ke kelas. Kenapa ke sini?"

"Siapa suruh lo ngelamun. Lo bisa main piano nggak?"

"Nggak."

"Masa sih? Bohong dosa lo. Jangan nambah-nambahin dosa kecil. Tar lama-lama jadi bukit dosanya."

Milo mendekati piano di pojok ruangan. Dia meraba tuts hitam putih lalu menekan asal. Lama-lama jarinya mulai menari di atas tuts piano menghasilkan alunan musik yang sendu.

"Ih, lagu lo merana banget sih. Bisa nggak yang kedengeran happy gitu," protes Mauve.

"Bawel!" Milo menghentikan gerakan jari jemari, bangkit dari posisinya, dan berjalan keluar dengan satu tangan di dalam saku celana.

Di belakangnya Mauve senyum-senyum memperhatikan punggung lebar yang berbentuk segitiga ke arah pinggang. Mauve menebak Milo suka berolahraga.

***
Hubungannya dengan Leta jadi canggung, Milo hanya berdiam diri di kelas di hari pertama. Mendengarkan Mauve yang terus bicara dan hiperaktif. Bukan niat ingin mendengarkan tapi terdengar karena cewek penyuka warna ungu itu ngobrol dengan teman-temannya cukup keras.

Milo kaget saat Mauve mundur menabraknya. "Sorry, sorry," ucap Mauve lalu kembali ngobrol seru dengan teman-temannya.

Alis Milo bertaut memperhatikan Mauve yang seperti tak punya lelah. Terus bicara dan bergerak, melihatnya saja Milo jadi menghela napas berat.

Milo kembali membaca komik One Piece di portal online melalui ponsenya. Selain hobi mengoleksi hadiah paket Happy Meals Mc. D, Milo juga penyuka One Piece. Terlihat dari case ponselnya yang bergambar Luffy, pin di tasnya yang bergambar topi milik Luffy, dan masih banyak lagi.

"Milo."

"Hm."

"Milo," panggil Mauve lagi karena Milo tetap menatap ponselnya.

"Apa, sih?" Milo akhirnya menoleh.

"Pulang sekolah temenin gue, yuk!"

Seketika Milo menaikkan sebelah alisnya. Sungguh keanehan luar biasa baginya. Kepercayaan tinggi tingkat nasional, pikir Milo. Baru mengenal hari pertama tapi sudah berani mengajaknya. Ingin sekali Milo menanyakan kewarasan Mauve tapi dia masih menjaga perasaan cewek di hadapannya.

"Gimana? Mau nggak?"

"Nggak."

"Lo mau pergi sama Leta? Yakin?"

"Nggak."

"Ya udah temenin gue aja."

"Lo gue kasih hati jangan minta jantung," ucap Milo dengan tatapan tajam.

"Serius lo ngasih gue hati? Gue nggak akan mint jantung kalau udah dikasih hati lo, sumpah!"

"Nggak lucu."

"Ya elah, kaku bener kaya tiang listrik."

Milo tak lagi menanggapi. Cukup sudah dia menuruti Mauve yang baru saja dia kenal belum sampai 24 jam. Dia benar-benar tak bisa dekat dengan cewek macam bola bekel seperti Mauve. Memusingkan hidupnya yang tenang.

Bahkan dia jadi makan pisang sisa roti pisang Mauve. Dia juga bergandengan tangan. Milo memandang telapak tangannya yang dibolak-balik. Dia jadi merinding berpikir Mauve punya mantra sihir. Jika mengingat hal itu sungguh sebuah ketidakmungkinan tapi telah terjadi.

"Kenapa tangan lo?"

"Lo bisa nggak diam 5 menit aja?" Milo menatap tajam Mauve tapi yang ditatap justru nyengir.

"Nggak bisa."

"Ngomong aja nih sama penggaris." Milo memberikan penggaris miliknya.

Diabaikan Milo tak membuat Mauve sakit hati. Jika dia jadi Milo mungkin akan melakukan hal yang sama. Hanya saja dia memang sengaja melakukan hal itu agar Milo mengingatnya. Jadi dia tetap tersenyum sembari menatap Milo terang-terangan. Senyum-senyum meski tahu Milo risih oleh tatapannya.

***

Tunggu part selanjutnya ya.
Bakal update seminggu 2x.
Masih mau tahu lanjutannya kan?

Taken SlowlyWhere stories live. Discover now