10

1.4K 362 24
                                    

Pandangan Milo masih tertuju pada Mauve yang antusias bercerita. Senyumnya terkadang terukir meski tipis. Bukan maksud hati ingin memanfaatkan Mauve untuk melupakan Shaleta. Hanya saja bersama Mauve memang bisa mengalihkan dunianya yang sebelumnya hanya terisi Shaleta.

"Enak nggak?" tanya Mauve setelah cerita panjanb lebar tentanb dia yang bisa masak berbagai macam jajanan.

"Enak," jawab Milo tak mau bohong dengan menjawab lumayan kali ini. "Makasih buat makanannya."

"Kita kan masak bareng buat apa bilang makasih."

Milo kembali tersenyum.

"Lo kalau senyum cakep banget. Serius, deh!"

"Banyak yang bilang," ucap Milo santai lalu tertawa singkat, tanpa sadar mengusap puncak kepala Mauve. "Kenapa lo nggak les masak aja daripada ngdance?"

"Karena ngdance itu dunia gue. Awal karena hobi tapi ternyata menghasilkan. Gimana gue nggak makin suka?" Mata Mauve melebar penuh binar bahagia saat menceritakan.

"Gue lihat lo bukan orang yang kekurangan." Milo meminum air mineralnya setelah menghabiskan satu porsi steak buatan mereka.

"Tapi keluarga gue bukan tipe yang ngasih semua cuma-cuma. Semacam reward gitu. Tapi lo tahu sendiri gue kan nggak pinter." Bibir Mauve manyun membayangkan betapa keras orang tuanya.

"Keren, dong."

Mauve berdecak. "Apanya yang keren? Gue jadi ke mana-mana naik motor. Kepanasanlah, kujananlah."

"Kenapa lo nggak berusaha?" Milo merapikan tempat makan yang sudah kosong.

"Males. Lagian nyokap bokap nggak ada yang maksa. Serah gue mau ngapain."

Milo hanya mengangguk. Susah bicara dengan orang yang beralasan malas. Mau bicara sampai mulut berbusa, Milo yakin Mauve tak akan berubah. Kecuali Mauve berubah karena paham dengan maksud orang tua cewek itu. Mauve harus sadar diri apa yang diri sendiri butuhkan.

Bagaimanapun masa depan orang berawal dari diri sendiri. Untuk apa memaksa seseorang yang tak menyukai belajar untuk belajar? Percuma hanya akan jadi angin lalu dan membuat orang itu tertekan tanpa menghasilkan sesuatu yang positif.

"Gue tanya satu hal. Apa cita-cita lo?" tanya Milo.

Mendadak Mauve terdiam, dia yang tadinya suka bicara bingung saat ditany seperti itu. Dia tak ada keinginan jadi apapun, hanya ingin hidup bebas tanpa tekanan. Mauve menggeleng.

Milo menghela napas. "Setidaknya lo cari dulu, apa cita-cita lo."

"Jadi... jadi apa ya?" Kepala Mauve mendadak pening ditanya cita-cita.

"Gue duluan," ucap Milo seraya bangkit.

"Tunggu! Cita-cita lo apa?"

Milo menoleh ke belakang. "Cita-cita gue nggak mau jadi peringkat 3 dari bawah," jawab Milo, menyindir Mauve lalu tersenyum menyeringai.

"Jahat!"

"Eh, tunggu!" seru Mauve mengejar Milo yang sudah lebih dulu pergi.

"Stop!" Milo menahan kening Mauve dengan jari telunjuknya. "Jangan ikutin gue!"

"Iya, iya." Mauve menurut kali ini karena ekspresi Milo sudah tak bersahabat. Sulit memahami Milo yang punya mood seperti roller coaster. Kadang bersahabat kadang seperti bintang yang sulit digapai.

Taken SlowlyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora